KOMPAS - Selasa, 31 Juli 2007
Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007, akhirnya perjuangan masyarakat berhasil mendapatkan calon independen tanpa harus memohon-mohon dukungan partai politik. Keputusan tersebut sangat melegakan mengingat praktik politik pemilihan kepala daerah selama ini, dengan peran partai politik diibaratkan sekadar broker yang memperdagangkan kekuasaan politik.
Akibatnya, martabat partai rontok di mata masyarakat. Munculnya kandidat independen diharapkan mendorong kehadiran calon-calon pemimpin yang lebih mempunyai kepekaan dan komitmen pada kesulitan hidup masyarakat.
Bagi partai politik, calon independen harus dilihat sebagai tantangan bagi peningkatan kualitas kader dan konsolidasi organisasi. Partai politik tidak perlu terlalu khawatir calon independen akan menggerogoti ranah kewenangannya bila parpol melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
Tidak mudah bagi calon independen memenangi persaingan pemilihan kepala daerah karena mereka harus melawan mesin dan struktur politik yang sudah mapan. Namun, sebaliknya, kalau partai politik sekadar menjadi medan perebutan kekuasaan para elitenya, kandidat parpol dengan mudah akan tersisihkan.
Hal itu antara lain dapat dilihat pada hasil pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pilkada yang dilakukan secara serentak pada tanggal 11 Desember 2006, calon independen memenangi kursi gubernur dan delapan bupati/wali kota.
Oleh karena itu, DPR diharapkan segera membuat regulasi agar proses keikutsertaan kandidat independen dalam pilkada bisa segera dilaksanakan. Kekosongan hukum akan membuat keresahan daerah-daerah yang beberapa bulan ke depan akan menyelenggarakan pilkada.
Persoalan serius
Namun, persoalan lebih serius yang harus dicermati adalah stabilitas politik lokal. Struktur kekuasaan di daerah yang mirip dengan struktur kekuasaan di level nasional rentan terhadap konflik yang berkepanjangan antara eksekutif dan parlemen.
Hal itu disebabkan tidak ada jaminan terjadinya dukungan politik yang simetris antara kepala daerah dan DPRD. Oleh karena itu, menjelang penyusunan RUU Politik, debat publik tentang electoral threshold (ambang batas) mengenai eksistensi partai politik cukup memanas. Wacana tersebut bertujuan agar RUU politik dapat merumuskan regulasi yang dapat menghasilkan tiga variabel yang sulit dikombinasikan, yaitu (1) sistem presidensial yang kuat dan efektif, (2) sistem multipartai, serta (3) jaminan stabilitas politik.
Di tengah upaya membangun konstruksi kekuasaan dan kelembagaan yang tidak mudah tersebut, munculnya kandidat independen akan menambah besar kemungkinan ancaman kemacetan pemerintah daerah karena tanpa dukungan partai politik di parlemen tingkat lokal, kepala daerah terlalu mudah dijadikan bulan-bulanan anggota DPRD. Meski sejumlah kalangan menyatakan hal itu tidak perlu terlalu dirisaukan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mencegah krisis politik di daerah. Jalan keluar yang paling konstitusional adalah menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini dilakukan dalam skema negara kesatuan, sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Berarti, besaran (magnitude) kewenangan daerah berasal dan ditentukan oleh pusat. Konsekuensinya, bila diperlukan, pemerintah pusat dapat menarik kembali kewenangan yang diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, kalau UU No 32/2004 akan direvisi, sebaiknya disertai pula regulasi yang menegaskan bahwa kalau terjadi kemacetan pemerintahan di daerah, pemerintah pusat mempunyai kewenangan mengambil tindakan agar pemerintahan dapat berjalan kembali.
Dengan demikian, revisi UU No 32/2004 tidak sekadar memberikan peluang bagi calon independen, tetapi juga memberikan pasal yang dapat mencegah deadlock yang mengakibatkan pemerintahan daerah tidak berlangsung.
Dalam mengantisipasi krisis, pemerintah mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah kuasi federal, bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui Pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.
Namun, kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskresi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, presiden harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memerhatikan laporan gubernur. Ketiga, dapat dilakukan uji materi kepada Mahkamah Agung atas pernyataan presiden bahwa situasi dalam keadaan darurat. Bilamana Mahkamah Agung menolak, gubernur dan lembaga perwakilan di daerah (state) dapat berfungsi kembali.
Pengaturan yang rumit itu untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial itu.
Pandangan ini kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi dalam menyusun regulasi yang komprehensif. Dengan demikian, munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudkan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif, serta sistem kepartaian yang multipartai.
Tuesday, July 31, 2007
Calon Independen Vs Stabilitas Politik
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:15 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment