Tuesday, July 17, 2007

ANALISIS POLITIK: Nasib Kerja Sama Pertahanan RI-Singapura

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

J KRISTIADI

Diplomacy is to do and say the nastiest thing in the nicest way.(Isaac Goldberg, 1887-1938; The Reflex, Oktober, 1927)

Perjanjian kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) yang paralel dengan perjanjian ekstradisi atau Extradition Treaty (ET) telah ditandatangani pada bulan April 2007, tetapi hingga kini masih belum jelas nasibnya.
Perjanjian sebagai kelanjutan kerja sama yang telah dilakukan sejak tahun 1995 dan berakhir tahun 2003, yang diharapkan saling menguntungkan, ternyata menimbulkan kegundahan baik masyarakat maupun para anggota DPR.
Hal itu disebabkan pada awalnya pemerintah dianggap kurang transparan dan terlambat memberikan penjelasan kepada masyarakat serta naskah asli kepada DPR, meskipun perjanjian telah ditandatangani beberapa minggu sebelumnya.
Berbagai kalangan juga meragukan keuntungan yang diperoleh dari perjanjian itu.
Memang pemerintah menyebutkan beberapa hal yang dianggap menguntungkan, antara lain (1) kesediaan Singapura membiayai 90 persen pembangunan fasilitas kawasan latihan tempur, di Baturaja (Sumsel) dan kawasan latihan perang udara di Seabu (Pekanbaru), dan setelah 20 tahun menjadi milik Indonesia; (2) akses TNI menggunakan fasilitas kawasan latihan perang maupun peralatan militer Singapura, seperti simulator tempur milik Singapura; (3) Indonesia menjadi penentu kapan waktu dan dengan siapa Singapura berlatih; (4) memberikan kerangka hukum yang lebih pasti dan mempertegas batas wilayah latihan perang Singapura; (5) Indonesia berhak menggunakan wilayah udara dan laut Singapura; (6) semua personel militer Singapura yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia harus tunduk kepada hukum Indonesia.
Namun, masyarakat belum yakin mengenai keuntungan tersebut dengan alasan: (1) akses Indonesia terhadap fasilitas dan sarana serta prasarana serta teknologi Singapura tidak jelas atau sangat terbatas; (2) meragukan apakah Indonesia benar-benar dapat menjadi penentu mengenai kapan dan siapa yang akan diajak berlatih mengingat investasi Indonesia kalah besar; (3) Singapura berhak mengajak pihak ketiga melakukan latihan; (4) Singapura tidak mau melibatkan TNI dengan alasan keterlibatan TNI akan memengaruhi jenis latihan dan mengubah substansi perjanjian pertahanan.
Selain itu, masih banyak ganjalan yang disebabkan kedua negara belum menyusun secara bersama-sama implementing arrangement (pengaturan pelaksanaan) sebagaimana diamanatkan pasal 6 perjanjian tersebut.
Pertama, Singapura belum bersedia mengatur secara bersama wilayah latihan tempur untuk AL Singapura yang berada antara Kepulauan Anambas dan Natuna Besar, Kepulauan Riau (disebut Area Bravo).
Singapura juga minta frekuensi latihan 15 hari per bulan. Bahkan, pada awal Mei 2007, Singapura telah mengajukan standar prosedur operasi (SPO) kepada Indonesia di Area Bravo tanpa melibatkan TNI dan Departemen Pertahanan.
Sementara Menhan RI menyatakan latihan cukup empat sampai enam kali per tahun, mengingat pertimbangan lingkungan dan nasib nelayan serta keamanan bersama. Pemerintah RI juga minta diatur batas Area Bravo untuk TNI AL dan Angkatan Laut Singapura mengingat area ini meliputi perairan blok migas PARI yang terletak di antara Pulau Natuna Besar sampai Kepulauan Anambas dan juga Pulau Kayu Ara di Selat Karimata.
Kedua, Singapura minta menggelar 25 kapal dari sekitar 30 kapal yang dimiliki Singapura, serta 20 pesawat dalam sekali latihan. Singapura minta supaya Indonesia mengakui hak tradisional Singapura atas wilayah Laut China Selatan sebagai daerah latihan militer. Sementara pihak Indonesia menolak karena dalam UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of Sea (Konvensi Hukum Laut PBB) tahun 1982, area tersebut termasuk wilayah Indonesia. Selain itu, mengingat area itu wilayah Indonesia, latihan militer harus melibatkan TNI, sebagaimana penggunaan latihan daerah lain yang disebut Alpha I dan Alpha II.
Ketiga, mekanisme pengaturan waktu penembakan rudal dan meriam di lingkungan nelayan dan penduduk pada umumnya, serta dampaknya terhadap lingkungan sumber kandungan daya mineral di area latihan perang.
Keempat, perlu kesepakatan mengenai tata cara, jadwal latihan dan mobilitas pasukan, penentuan batas wilayah latihan, ketinggian pesawat, peluru yang digunakan, pembangunan radar, pembuangan limbah rudal, jenis dan jumlah kapal, detail akses TNI ke peralatan tempur Singapura, dan lain sebagainya.
Hubungan yang hambar
Permasalahan teknis dan detail tersebut mungkin tidak terlalu sulit untuk diatasi kalau hubungan kedua negara masih mesra sebagaimana terjadi pada akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an.
Namun, hubungan bilateral telah berubah menjadi hambar setelah krisis ekonomi 1997 karena kalangan masyarakat dan Pemerintah Indonesia mempunyai persepsi Singapura mendapatkan keuntungan dari krisis tersebut.
Selain itu, berbagai macam persoalan muncul pula baik pada tataran masyarakat maupun pemerintah. Misalnya saja, pada level sosial, masyarakat Indonesia merasa terganggu terhadap perlakuan para majikan Singapura yang dianggap sewenang- wenang kepada TKW dari Indonesia. Sebaliknya, masyarakat dan Pemerintah Singapura juga jengkel, antara lain dengan ekspor asap dari Indonesia yang sangat mengganggu.
Pada tingkat yang lebih serius, Pemerintah Singapura pernah merasa terganggu dengan ucapan mantan Presiden BJ Habibie yang menyatakan bahwa Singapura hanya sebagai red dot (noktah merah) di lautan biru (The Asian Wall Streets Journal, 4 Agustus 1998).
Sementara Pemerintah Indonesia merasa kurang mendapat respons yang semestinya pada saat membicarakan masalah ekstradisi bagi para koruptor yang berdiam di Singapura.

0 comments: