Tuesday, July 17, 2007

Singapura Pertahankan Prinsip

KOMPAS - Selasa, 17 Juli 2007

DCA Harus Sesuai Kepentingan RI

Singapura, Senin - Singapura akan mencoba bersabar dan akomodatif atas keinginan Indonesia untuk mengubah perjanjian kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement atau DCA). Namun, Indonesia diminta tidak melakukan perubahan substansial atau mendasar, atau perjanjian ekstradisi batal sekalian.
Demikian diutarakan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo di depan Parlemen, Senin (16/7) di Singapura.
Perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty/ET) terkait dengan DCA. ET hanya efektif jika DCA juga disepakati kedua negara. Perjanjian ekstradisi masih harus menunggu ratifikasi parlemen dari kedua negara. Parlemen Singapura relatif dengan mudah meratifikasi perjanjian ekstradisi, sedangkan DPR RI masih harus menunggu penyerahan naskah DCA dan perjanjian ekstradisi dari pemerintah untuk dibahas.
Masalah muncul karena DPR mengindikasikan penolakan untuk meratifikasi ET. Alasannya, ET tidak seimbang karena terkait dengan DCA yang juga tidak berimbang.
Anggota Komisi I DPR, Yuddy Chrisnandi (Fraksi Partai Golkar, Jabar VII), mengatakan, DCA "memanjakan" Singapura dan mengganggu kegiatan warga RI, di wilayah yang menjadi lokasi latihan militer Singapura. "Pemerintah tidak perlu malu merevisi perjanjian dan tak perlu malu untuk mengakui ketidakcermatannya," kata Yuddy.
Ekstradisi mandul
Perjanjian ekstradisi juga dinilai mandul karena tak menjanjikan apa-apa soal pemulangan para koruptor WNI, yang berlindung di Singapura. Peneliti dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, mengatakan, salah besar jika pemerintah berharap akan ada ekstradisi atas para koruptor atau Singapura mengembalikan aset dan uang "panas" dengan imbalan DCA. "Masalah seperti itu sama sekali tak memiliki dasar hukum dalam kedua perjanjian," kata Andi.
"Saya melihat cara berpikir pemerintah salah karena persepsi Singapura tidak seperti itu. Sejauh yang saya tahu, pemahaman Singapura adalah perjanjian itu sekadar politis ketimbang operasional," kata Andi.
Menurut Andi, permintaan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong memaralelkan kedua perjanjian, saat bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Oktober 2005, hanya sebatas menunjukkan bahwa kedua negara berhubungan baik.
Andi juga melihat ketidaksiapan RI, khususnya di tingkat bawah. "Juga tampak jelas bahwa Departemen Luar Negeri RI tidak siap dan baru dilibatkan pada putaran (perundingan) yang keempat atau kelima soal DCA dan ET. Kesepakatan di antara kedua kepala negara terlalu tiba-tiba walau hal itu tetap merupakan inisiatif Singapura," ujar Andi.
Andi memastikan, siasat "uang untuk ruang" hanya sebatas terkait uang dalam bentuk pembangunan sejumlah fasilitas latihan militer di wilayah Indonesia untuk dimanfaatkan bersama. Uang merujuk pada ekstradisi koruptor dan pengembalian asetnya. Ruang merujuk pada penyerahan wilayah RI untuk pelatihan militer Singapura.
Karena itulah RI minta Singapura mengakui ada koruptor WNI yang tinggal di Singapura. Ini penting untuk mengikat Singapura soal ekstradisi. Hal itu tak mau diakui oleh Singapura.
Tak serahkan ke DPR
Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan, Pemerintah RI bahkan tidak akan menyerahkan perjanjian DCA dan ET ke DPR untuk dibahas, sebelum isi DCA sesuai dengan kepentingan nasional.
Menlu Yeo mengatakan Singapura masih menunggu respons RI soal usulan tentang bagaimana perbedaan bisa diatasi. "Menuntut perubahan substansial atau memasukkan elemen baru dalam sebuah perjanjian (DCA) yang sudah ditandatangani, berarti sama saja dengan belum adanya perjanjian," katanya. Dia juga menekankan perubahan mendasar pada DCA, seperti keinginan RI, berarti seluruh perjanjian tidak berlaku.
Yeo mengatakan, sikap seperti ini menunjukkan bahwa tetap tidak ada kejelasan meski sebuah perjanjian sudah ditandatangani.
Menhan Singapura Teo Chee Hean juga mengatakan, Indonesia seharusnya mempersoalkan isi DCA, pada saat negosiasi berlangsung, bukan setelah DCA ditandatangani.
Kedua menteri Singapura itu sudah mengajukan sikap baru soal penyelesaian perbedaan yang muncul. Namun, isi sikap baru itu tidak diperinci.(AFP/AP/REUTERS/MON/ DWA/INU/JOS)

0 comments: