Friday, July 13, 2007

Tip menghadapi karyawan 'Camper'

Anthony Dio Martin
Director HR Excellency

Tanya:
Bapak Antony Dio Martin,
salam antusias selalu.
Saya A (Branch Manager PT AAA Securities) yang bulan lalu mengikuti smart business forum yg diadakan oleh Smart FM di Medan, juga mengikuti seminar Bapak di Hotel Soechi Internasional, Medan. Juga pembaca setia rubrik Motivasi ini. Ada rencana dibukukan Pak?
Sehubungan dengan training berkala yang diadakan oleh perusahaan kami, saya telah mengusulkan kepada divisi HRD di Jakarta untuk mengundang Bapak sebagai trainer dalam acara training kami. Divisi HRD merespons dengan baik usulan tersebut, dan mudah-mudahan kerjasamanya dapat terlaksana.
Tapi kali ini, saya ingin berkonsultasi dengan Bapak, bagaimana menghadapi karyawan kami yang merasa diri paling hebat sehingga dia merasa tidak perlu untuk belajar apa pun lagi (dianjurkan mengikuti seminar tidak bersedia dengan berbagai alasan), keras kepala, merasa paling benar sendiri, trampil menggunakan emotional blackmail terhadap rekan kerja dan cukup efektif mempengaruhi beberapa karyawan dengan karakter sejenis, dan telah berumur di atas 40-an. Mungkin bapak bisa membantu memberikan saran. Terima kasih.

Salam,
A (identitas ada pada penulis kolom -Redaksi)

Jawaban
Salam antusias selalu Bapak A,
Paul Stoltz, pernah menulis tentang Adversity Quotient, yakni kecerdasan seseorang untuk terus mendaki puncak sukses, serta mengatasi tantangan atau rintangan di depan matanya. Dalam bukunya yang cukup fenomenal ini, Paul membagi manusia menjadi tiga jenis berdasarkan semangat mereka untuk meraih impian dan menggapai kesuksesan yang lebih berarti dalam hidup mereka.

Ke-3 jenis manusia ini adalah, pertama, Quitter, yakni manusia yang takut mengambil risiko. Ia tidak mau mengambil langkah apapun. Saat melihat kesulitan dan tantangan, nyalinya ciut. Dengan tidak melakukan apapun, dia tetap aman tetapi dia tidak akan pernah menjadi siapapun. Celakanya, dia seringkali menertawakan dan mengomentari orang lain yang berusaha.

Kedua, Camper, yakni manusia yang di awal-awal hidupnya masih berusaha, tetapi setelah melalui perjalanan waktu, dia terjebak di dalam comfort zone serta tidak berusaha lagi. Setelah berhenti dan merasa nyaman dalam posisinya, terkadang dia memberikan pengaruh buruk kepada orang lain yang masih mau mencoba.

Ketiga, Climber, tipe inilah yang paling berhasil. Dia tidak mudah terlena, dan masih mau berusaha meningkatkan diri serta menggapai cita-cita yang lebih tinggi.
Bapak A, kalau membaca pertanyaan Anda, tampaknya karyawan yang Anda sebutkan tersebut tergolong bisa kita kategorikan dalam tipe Camper menurut Paul Stoltz. Di satu sisi, mungkin memang karyawan ini memiliki sesuatu kemampuan, yang membuatnya merasa diri hebat. Tetapi di sisi lain, seperti yang Anda katakan, dia tidak mau berusaha lagi untuk belajar. Malahan dia menggunakan emotional blackmail serta mempengaruhi karyawan yang lain, secara negatif. Dengan memahami tipe karyawan tersebut, maka langkah kita berikutnya, apakah yang bisa menjadi respon Anda terhadapnya.

Beberapa saran
Ada beberapa saran. Pertama, pahamilah apa sebenarnya yang mungkin menjadi Unmet Emotional Needs si karyawan senior ini. Apa yang mungkin menjadi penyebab sikap dan tindakannya. Secara psikologis, manusia, meskipun unik biasanya cenderung predictable. Apalagi, jika sebelumnya sikapnya termasuk baik dan tahun-tahun belakangan ini, baru dia bersikap demikian.
Mungkin Anda bisa mencari latar penyebab sikapnya yang demikian. Misalkan, apakah karena merasa sakit hati, apakah tidak cocok dengan style pemimpin sekarang, apakah ada problem interpersonal, apakah dia merasa kurang diperhatikan dengan kepemimpinan sekarang, masalah keluarga dan personal?
Cari tahu, latar kebutuhan ini dan cobalah mendekati dari sisi ini. Pemahaman ini bisa membantu membuka pintu masuk untuk memahami latar belakang emosional yang mungkin membuatnya menjadi negatif di kantor.
Kedua, jangan langsung berkonfrontasi dengan tipe orang ini, sebelum Anda mengumpulkan cukup bukti. Ada baiknya, melalui berbagai sumber dan orang-orang di sekitar, usahakan untuk mengevaluasi lebih detil mengenai berbagai perilakunya yang bisa 'membahayakan' ketenangan organisasi. Bukti dan data detil ini penting sebagai bahan bagi Anda membahasnya dengan dirinya. Kalau tidak, dengan mudah dia bisa mengelak dan mengatakan, "Nggak kok Pak. Saya merasa tidak seperti yang Bapak bilang"
Ketiga, jika Anda berada pada posisi yang tepat, jangan takut pula untuk bicara blak-blakan dengan orang yang demikian. Apalagi, Anda sudah punya cukup bukti bahwa sikapnya memang meracuni organisasi.
Terkadang, kesungkanan kita berbicara, bisa menjadi ongkos yang semakin besar di masa depan bagi produktivitas tim kerja. Jangan-jangan selama ini, tidak pernah ada yang memberikan umpan balik kepadanya. Karena itu, jika memungkinkan, lakukan pembicaraan personal dengan fokus pada perilakunya, tetapi jangan membuat label selama pembicaraan ini.
danya label, sering membuat orang menjadi defensif. Fokus pada perilaku serta dampak yang terjadi. Ajak dia untuk melihatnya. Tegaskan pula apa harapan perilaku yang diinginkan. Lantas, berikan waktu baginya untuk berubah.
Keempat, seperti dikatakan oleh dua praktisi manajemen terkemuka yang mendapat penghargaan di Amerika, yakni Robert Mager dan Peter Pipe yang juga penulis Analysing Performance Problem. Intinya, jangan memberikan reward pada perilaku yang negatif. Banyak atasan atau management yang keliru bertindak, yang justru seakan-akan memberi 'hadiah' kepada sikap mereka yang negarif.
Ada yang bahkan dipromosikan, dengan harapan mereka bisa berubah. Selama sikap mereka belum membaik, lebih baik organisasi tegas 'menghukum' perilaku mereka dengan tidak memberian reward apapun. Juga, selama perilaku mereka belum membaik, lebih baik dibatasi kekuasaan maupun otoritasnya. Khususnya, lingkaran pengaruhnya perlu dibatasi.
Dengan demikian, kita mengkomunikasikan kepada karyawan bahwa kita tidak mentolerir perilaku negatif yang mereka tunjukkan. Seperti dikatakan oleh Robert Pipe dan Peter Pipe lagi, "Don't reward unwanted behavior and punish the desired behavior shown by our employee". Jangan-jangan dia terus-menerus bersikap demikian karena merasa mendapat 'hadiah' dari lingkungan sekitarnya. Komunikasikan secara konsisten, "No better performance and positive attitude, no reward".

0 comments: