Friday, July 27, 2007

BAHASA: Bergegas Pelan

KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007

Begini terbaca dalam sebuah profil sebuah penerbitan terkemuka di Jakarta: "Speed is our strategy." Pesatnya perkembangan teknologi dalam berbagai bidang, termasuk yang terkait dengan komunikasi dan informasi, membuat orang makin menyadari betapa cepat perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Irama hidup berderap makin cepat. Waktu seperti lebih pendek. Time flies, kata orang Inggris.
Cepatnya waktu di masa kini dan tekanan masa depan telah menciptakan apa yang oleh Steffan Linder sebut "kelaparan waktu". Gejala ini antara lain merupakan dampak adagium "waktu adalah uang" ciptaan Ben Franklin (1748). Penggunaan waktu yang tak mendatangkan duit dianggap kerugian. Karena itu, dalam menjalani hidup, orang merasa seperti harus berpacu dengan waktu. Agar memperoleh waktu lebih banyak, kita mempercepat kegiatan kita. Itu tak membantu. Kita masih terus kekurangan waktu, demikian Eberle dalam Sacred Time and The Search for Meaning (2003).
Sudah lama orang belajar berbagai metode, teknik, dan peranti bagaimana mengelola dan mengontrol waktu. Namun, empu manajemen Stephen Covey dalam First Things First (1994) memberi kesaksian, kebanyakan orang yang berkonsultasi kepadanya mengeluh kekurangan waktu. Refleksi atas gelepar kehidupan masa kini pun memberi kita kesan bahwa bertindak cepat rupanya telah menjadi kebijaksanaan masa kini. Siapa cepat dia dapat. Kini bukan lagi zaman orang berlanggam hidup alon-alon asal klakon yang berarti 'tidak apa bekerja pelan sebab yang penting niat terwujud'. Memang pemecahan persoalan hidup yang kita hadapi tak bisa ditunda-tunda lagi, seperti kemiskinan, korupsi, politik tanpa prinsip, karut-marut pendidikan, perdagangan narkoba, perusakan lingkungan, dan 1.001 problem yang lain. Jadi, tindakan cepat tampaknya memang keharusan.
Sementara itu, pengalaman juga bertutur bahwa niat untuk serba cepat sering membuat orang tak cermat. Langkahnya cenderung tergopoh-gopoh, pertimbangannya ceroboh. Orang Jawa juga suka mengingatkan jangan kita kebat kliwat. Dalam bahasa percakapan masa kini, mungkin padanannya, ngebut luput.
Di sini kita berhadapan dengan dua sikap yang tampak bertentangan. Yang satu mendorong bertindak cepat. Yang lain mengeremnya. Namun, kedua sikap ini sebetulnya tidak kontradiktoris, melainkan saling melengkapi. Dalam hal ini kita dapat belajar dari Kaisar Romawi I, Augutus, yang menurut sejarawan Suetonius (c.69-c.150) sering berucap "Festina lente". Ungkapan itu berarti 'bergegaslah, tetapi pelahan'. Terjemahan bebasnya adalah "cepatlah, tetapi hati-hati", begitu menurut Marwoto dan H Witdarmono dalam Proverbia Latina (2004). Tindakan kita harus cepat sekaligus hati-hati. Betapa tepat!
Ya, seperti ditulis oleh Sarwono Poesposapoetro dalam Kamus Peribahasa (1991), pada dasarnya peribahasa merupakan kalimat singkat yang mengkristalkan pengalaman mendalam dan panjang. Semacam filsafat mini. Tak mengherankan bahwa peribahasa terkadang mencerahkan.
Alfons Taryadi Pengamat Bahasa

0 comments: