KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007
Irma Tambunan
Sepekan terjebak macet akibat longsor di jalan lintas timur Sumatera membuat orang sengsara. Selain lelah dan kurang tidur, sopir truk, sopir bus, dan penumpangnya juga kehabisan uang. Makan pun jadi susah. Belum lagi kerugian akibat rusaknya barang yang diangkut.
Saya terpaksa jual hape (telepon seluler) karena uang saku sudah habis. Jika tidak, bagaimana saya bayar ojek untuk mencari dan membeli makanan buat anak-anak," kata Safril, penumpang bus yang terjebak macet berhari-hari di Bukit Merdeka, Desa Suban, Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, di perbatasan Jambi-Riau.
Dengan uang itu, Safril nekat menyewa ojek menembus kemacetan secara bergantian dengan istri dan tiga anaknya. Hal itu ia lakukan bukan sekadar untuk mencari makan, tetapi juga karena punya urusan keluarga yang harus diselesaikan dengan cepat.
Apa yang dialami Safril, juga dirasakan oleh sopir truk dan penumpang angkutan selama hampir sepekan di sepanjang jalan mendekati Bukit Merdeka. Tak satu pun dari mereka yang menyangka kemacetan panjang bakal terjadi di bukit itu.
Sebenarnya, tiba di Bukit Merdeka merupakan puncak kelegaan dari pengemudi pada jalur lintas timur Sumatera, khususnya angkutan ekspedisi. Pasalnya, tanjakan yang cukup tinggi dan berliku di jalan sebelum Bukit Merdeka telah banyak menelan korban. Tak heran kalau banyak pengendara sampai harus berteriak "Merdeka" begitu sampai di puncak bukit itu.
Namun, selama hampir sepekan sejak Kamis (19/7) lalu, Bukit Merdeka menjadi tanah yang tidak membuat para pelintas jalur itu merdeka. Pasalnya, para pengendara yang mau lewat justru terjebak dalam antrean panjang berhari-hari.
Hal itu terjadi karena jalan yang sedang dilebarkan tersebut menjadi licin dan becek oleh longsoran tanah di sisi kanan kiri jalan karena hujan yang terus mengguyur. Kendaraan besar pun tak dapat melintas, malah beberapa tergelincir hingga terbalik. Akses jalan benar-benar terputus. Makin lama kendaraan yang terjebak macet makin banyak sehingga membentuk antrean panjang, baik dari arah Jambi maupun Riau.
Suasana di perbukitan yang biasanya senyap itu pun menjadi riuh dan sibuk. Anak-anak kecil dalam bus merengek minta cepat sampai di tujuan. Ada juga yang mengeluh kelaparan, sementara di lokasi itu tak ada penjual makanan. Sopir-sopir angkutan berebutan untuk lebih dulu melintas ketika bantuan alat berat datang menarik kendaraan mereka.
Bahkan, menurut cerita sopir yang sudah lima hari terjebak macet, seorang penumpang yang sedang hamil tua terpaksa dilarikan ke puskesmas di Desa Suban karena berteriak-teriak kesakitan. Di puskesmas itu bayi yang ia lahirkan meninggal sesaat kemudian.
"Kondisi sekarang sudah jauh mendingan. Hari-hari pertama ketika akses jalan terputus, kami sangat menderita. Belum lagi hujan masih deras," tutur Maman, sopir bus dari Jakarta.
Sejumlah pengendara truk yang mengangkut sayur dan buah-buahan mengeluh karena sebagian barang bawaan mereka telah membusuk. Ia bingung karena tak tahu harus berbuat apa untuk segera mengantar jeruk-jeruk itu sampai ke tujuan.
"Saya sudah tiga hari tidak bisa jalan. Macet total. Kalau tidak segera diatasi, barang bawaan kami pasti akan busuk semua," ujar Yunus, sopir truk pengangkut jeruk menuju Pekanbaru.
Seperti di tempat lain, kemacetan selalu memberikan berkah bagi warga sekitar. Mereka mengambil kesempatan dengan menjual nasi bungkus dan makanan ringan. Namun, harga yang ditawarkan, Rp 16.000 per bungkus, terlalu mahal bagi para sopir. Apalagi lauknya hanyalah telur goreng dan sambal.
Deny, sopir angkutan distribusi motor asal Jakarta, yang sudah lima hari terjebak macet, akhirnya berinisiatif memasak sendiri mi instan bersama sejumlah sopir truk lainnya. Caranya dengan membuat api dari kayu bakar, lalu meminjam panci kecil dari penduduk setempat.
"Walau hanya makan mi, itu sudah cukup mengisi perut yang kelaparan. Beli nasi bungkus harganya gila-gilaan. Uang kami sudah habis," tuturnya.
Warga setempat juga mengambil peluang dari musibah tersebut dengan menjadi tukang ojek musiman. Baihaki, salah seorang tukang ojek, mengaku mendapat Rp 25.000 untuk satu kali mengangkut penumpang yang ingin melewati timbunan tanah becek sepanjang 360 meter tersebut. Jika dalam sehari mengangkut 10 penumpang, Baihaki telah mendapat Rp 250.000.
Cuaca yang cerah pada Rabu sore hingga Kamis kemarin sangat mendukung pemadatan tanah di Bukit Merdeka. Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mendatangi lokasi musibah untuk memberikan bantuan pangan.
Sayang, bantuan tiba ketika semua derita nyaris berakhir. Cuaca yang bersahabat dalam dua hari terakhir membuat sebagian besar kendaraan sudah lolos dari kemacetan. Sejak Kamis pagi antrean kendaraan pun mulai berkurang.
Akan tetapi, derita selama sepekan terjebak macet di bukit sepi tentu tak terlupakan....
Friday, July 27, 2007
Jalan Terputus: "Hape" Pun Ikut Dijual di Bukit Merdeka
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:50 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment