Thursday, July 19, 2007

Kehidupan: Gemerlap Dunia Hiburan Malam

KOMPAS - Kamis, 19 Juli 2007

R Adhi Kusumaputra dan Pascal S Bin Saju

Suara house music berdentam keras. Ruang diskotek di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, Sabtu (14/7) dini hari, disesaki pengunjung. Asap rokok, narkoba, dan minuman beralkohol menjadi bagian dari dunia hiburan malam.
Perempuan-perempuan berpakaian seksi berseliweran, menunggu tamu yang datang. Di diskotek itu sebagian perempuan berasal dari kota-kota di Jawa Barat, bahkan dari Kalimantan.
Di antara ingar-bingar house music yang memodifikasi lagu-lagu Jablai hingga SMS dan remang-remangnya ruang diskotek, beberapa pria terang- terangan menawarkan obat- obatan terlarang kepada pengunjung. Perilaku itu tentunya sangat ironis, mengingat di dekat pintu masuk terpampang spanduk bertulisan antinarkoba.
"Hampir semua perempuan di sini suka menggunakan inex, menemani tamu," ungkap Miki (bukan nama sebenarnya), seorang pekerja malam.
Perempuan berusia 19 tahun itu mengaku baru delapan bulan tinggal di Jakarta. "Saya pernah sekali pakai inex (sebutan lain ekstasi), tapi kapok. Setelah pakai inex, saya tidak bisa kerja selama dua hari," papar Miki yang kos di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat.
Perempuan asal Kalimantan itu sempat bekerja di diskotek di kota asalnya, Pontianak, sebelum bersama dua temannya datang ke Jakarta.
Kirim uang
Meski mengaku dirinya sebagai anak bandel, Miki tetap mengirim uang kepada orangtuanya di Pontianak sekitar Rp 500.000 setiap bulan. "Ibuku setiap hari membawa cangkul," ujarnya seraya menceritakan pekerjaan sang ibu. Ia menambahkan, "Tapi, ibu tidak tahu saya bekerja di diskotek. Ibu hanya tahu saya bekerja di Jakarta."
Setiap bulan Miki mengaku mendapat sekitar Rp 2 juta dari pengelola diskotek. Namun, penghasilan paling besar tentu saja adalah tip yang diperoleh dari tamu yang ditemani. Baginya tak ada hari libur. Setiap hari ia bekerja mulai dari pukul 19.00 sampai pukul 07.00. "Tamu banyak datang pada Rabu malam, Jumat malam, dan Sabtu malam. Pada hari-hari itu saya bisa menemani empat sampai lima tamu semalam," ucapnya.
Miki mengaku belum ada pilihan bekerja di tempat lain. "Saya hanya lulusan SMA di daerah. Paling-paling gaji saya di bawah satu juta atau sekitar satu juta (rupiah) kalau bekerja di kantoran," katanya. Dunia malam memberinya banyak uang.
Heppy (18), pekerja malam lainnya, mengaku bahwa ia adalah putri seorang polisi di Bandung. Awalnya, ia bekerja sebagai penari di diskotek di kota tersebut. Tentunya, tidak diketahui orangtuanya. Setiap kali menari, dari tamu-tamu yang royal, ia mendapat tip sedikitnya Rp 250.000. Digabung dengan upah dari pengelola diskotek, ia mendapatkan uang Rp 350.000 semalam. Ayah dan ibunya hanya tahu ia bekerja di sebuah restoran.
Meski bekerja di diskotek menemani tamu, Heppy mengaku tidak pernah mencoba ekstasi. Ia tidak ingin menanggung efek samping dari penggunaan ekstasi, seperti fisik terlihat kusut, wajah pucat, dan mungkin juga perasaan paranoid. Hal-hal itu dapat mengundang kecurigaan orangtua.
"Apalagi ayah saya seorang polisi, bisa mampus saya," ujar Heppy, yang tinggal di mes di Mangga Besar.
Terjerat kemiskinan
Ada berapa banyak perempuan muda seperti Miki dan Heppy di Jakarta? Mereka bekerja hanya saat matahari sudah tenggelam, di tengah ingar-bingar house music, asap rokok, narkoba, alkohol, bertemu dengan lelaki hidung belang. Mereka tidur saat matahari terang benderang. Begitulah setiap hari, entah sampai kapan mereka bertahan.
Sebagian terlahir dari keluarga yang sejak kecil dijerat kemiskinan, tak sedikit berasal dari keluarga terpelajar, tetapi kurang mendapat perhatian orangtua. Ada yang pernah mencoba ekstasi, tapi kapok. Ada yang sama sekali tidak mau menyentuhnya karena tahu dampak buruk yang dibawanya. Namun, siapa yang bisa menjamin mereka mampu bertahan dari godaan itu?
Di tengah situasi orang sulit mencari pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, perempuan seperti Miki dan Heppy berpikir pragmatis. Dalam situasi biaya pendidikan semakin mahal dan orangtua tak mampu menyekolahkan anak ke pendidikan tinggi, banyak anak muda frustrasi dan mencari jalan pintas.
"Kalau orangtua mampu membiayai kuliah, mungkin jalan hidup saya berbeda. Mungkin saya tidak terjerumus ke dunia ini," kata Miki.
Namun, Miki tak mampu mengubah jalan hidupnya. Ayahnya sudah sakit-sakitan, hanya di rumah. Ibunya setiap hari membawa cangkul dan menggali pasir untuk dijual dengan pendapatannya tak seberapa. Lalu Miki mengenal dunia hiburan malam yang membuatnya mengerti betapa mudahnya memperoleh uang dari tamu royal.
Dunia malam yang gemerlap tetap berdenyut di berbagai diskotek di Jakarta. Pengojek dan sopir taksi menunggu kecipratan rezeki, menunggu sampai bubaran diskotek. Sampai perempuan-perempuan itu kembali ke mes atau rumah kos.
Miki sepintas masih sempat menonton berita pagi di televisi yang mengulas biaya pendidikan yang membubung tinggi dan harga susu yang tak terbeli. Lalu ia terlelap sampai petang hari dan bersiap berdandan untuk bekerja lagi malam hingga menjelang pagi. Dan, berharap mendapat banyak tamu yang memberinya rezeki untuk hari ini.

0 comments: