KOMPAS - Rabu, 15 Agustus 2007
Antony Lee
Matahari bersinar terik ketika Suwardi (55) mengibarkan bendera merah, pertanda kereta api harus berhenti di Kilometer 27 plus 900 meter di Kramat, Grobogan, Jawa Tengah, Selasa (14/8). Daerah ini merupakan lokasi tergulingnya KA Gumarang akibat relnya digergaji.
Ketika KA tersebut berhenti, ia lantas naik ke lokomotif dan mengibarkan bendera hijau. KA sudah dapat berjalan kembali meski dengan kecepatan 5 kilometer per jam. Setelah lepas dari Km 27 plus 350 meter, Suwardi turun dan KA melaju dengan kecepatan normal.
Rel yang tengah diperbaiki belum dapat menahan beban seperti biasanya. Dalam kondisi normal, rel dapat dilalui kereta api dengan kecepatan hingga 100 kilometer per jam. Ini menjadi tugas tambahan Suwardi.
Ia kemudian mendatangi rekan-rekannya yang sedang mengencangkan penambat bantalan dan rel. Ayah lima anak itu lalu kembali ke pekerjaan utamanya sebagai petugas perbaikan rel. Ia biasanya bekerja dari pukul 07.00 hingga 14.00. Namun, kecelakaan KA Gumarang membuat ia dan tujuh rekannya lembur mulai dari subuh hingga malam hari.
"Kemarin, setelah KA terguling, kami bekerja dari pukul 23.00 sampai besok sorenya, sekitar pukul 17.00," ujarnya.
Sehari-hari Suwardi dan tujuh petugas jalan dan rel di Distrik 43B Gubug mengamati dan memperbaiki rel yang goyang ataupun sedikit miring. Mereka acap mendapatkan informasi rel rusak dari atasannya atau kerap pula dari petugas pengawas rel yang menyusuri rel beberapa kali sehari.
Berbekal alat penggaruk, waterpas, dongkrak, dan ganto (semacam pacul kecil), mereka setiap hari menggunakan sepeda motor mendatangi lokasi yang relnya terganggu. Kerap mereka berjalan beberapa kilometer jika lokasi itu tak bisa dilalui sepeda motor. Istirahat dan berteduh di bawah pepohonan sambil menikmati nasi dengan lauk seadanya menjadi keseharian mereka.
Pekerjaan ini memang tak ringan. Mereka harus siap bekerja di bawah terik matahari atau tiba-tiba dipanggil saat larut malam. Namun, beratnya pekerjaan ini belum diikuti upah memadai. Suwardi yang sudah bekerja di PT KA sejak 1973 mendapat gaji pokok Rp 1 juta per bulan. Dengan berbagai tunjangan, ia bisa mendapat Rp 1,9 juta per bulan.
Uang ini digunakan untuk biaya hidup dan pendidikan anaknya. Dua anaknya kuliah. Untung baginya, istrinya membantu dengan berjualan mi ayam. "Selepas bekerja, saya menggarap sawah," ujar lulusan SD ini.
Biaya hidup yang tinggi juga membuat petugas lainnya, Sunardi (53), memutar otak. Ia memelihara dan menjual kambing untuk mencukupi biaya pendidikan anaknya yang sudah memasuki semester enam di IKIP PGRI Tuban, Jawa Timur. Sunardi memilih tinggal di bedeng alat-alat di Karangawen di Demak. Dua minggu sekali ia pulang ke rumahnya di Rembang.
"Saya hidup hemat karena harus membiayai istri yang ada di Rembang dan anak saya di Tuban," ujar laki-laki bergaji pokok Rp 1 juta per bulan itu.
Ini tidak mengherankan karena untuk uang kos dan makan anaknya, ia mengirimkan uang Rp 400.000 per bulan. Belum lagi untuk biaya anak keduanya yang duduk di kelas III SMP. Kesulitan dialami Sunardi setiap memasuki semester baru karena ia harus membayar uang kuliah Rp 600.000.
Untuk itu, ia menjual kambing yang sudah dipeliharanya. Kambing ini dia beli ketika masih kecil. "Istri saya yang memelihara. Kalau sudah dekat bayaran kuliah, kambing saya jual, lumayan bisa untuk bayaran. Bulan berikutnya kami membeli kambing lagi," ujar Sunardi sambil tertawa.
Namun, Subaidi (30) tidak seberuntung dua rekannya. Ia sudah lima tahun bekerja sebagai petugas honorer jalan dan rel. Upahnya Rp 650.000 per bulan. Uang ini digunakan untuk membiayai keluarga.
"Kontrak kerja saya sudah empat kali diperpanjang. Enggak tahu bagaimana nasib saya nanti," ujar tamatan SMA ini.
Subaidi masih tinggal bersama orangtua karena belum mampu mandiri dengan upah itu. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh pabrik dan mencoba menjadi pegawai honorer setelah ada lowongan pekerjaan sebagai petugas perbaikan jalan dan rel.
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, sudah sepatutnya petugas yang berkonsentrasi mengurusi persoalan keamanan perjalanan KA tak lagi khawatir soal cara mencukupi kebutuhan hidup. "Ini berbahaya karena selain berpikir mengenai keselamatan orang lain, mereka sibuk memikirkan keselamatan pribadi," ujarnya.
PT KA, katanya, harus berani meningkatkan kesejahteraan para petugas di lapangan dan berkaitan erat dengan keselamatan penumpang. Kesejahteraan yang minim bisa membuat pegawai tidak fokus dan dapat membuka peluang tidak jujur.
Namun, hal ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Prasarana KA, termasuk perawatan, seharusnya ditanggung pemerintah, dapat melalui badan usaha. Menurut dia, kesejahteraan petugas ini harus menjadi lebih baik. Jangan sampai keselamatan penumpang ditangani pekerja yang "keselamatan" biaya hidupnya sendiri belum terjamin.
Dalam kaitan itu, pakar transportasi dari Universitas Gadjah Mada, Danang Parikesit, menyatakan, pengawasan memadai terhadap jalur KA memang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintah harus menganggarkan secara khusus dana untuk pengamanan dan pemeliharaan jalur KA. Apalagi saat ini banyak rel kereta api renta. "Anggaran khusus pengamanan kereta belum ada," ujar Danang.
Jika sistem pengamanan dan pemeliharaan infrastruktur rel KA tidak segera diperbaiki, menurut Danang, hal itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Itu karena berdasarkan UU Perkeretaapian yang baru, pihak swasta bisa masuk menjadi operator KA. Pemerintah akan kena tuntutan jika KA swasta anjlok akibat rel rusak karena faktor kelalaian. (RWN)
Wednesday, August 15, 2007
Kehidupan: Menjaga Keselamatan, tetapi Hidup Serba Susah
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:00 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment