Tuesday, August 14, 2007

Selamat Datang "Bonyok"!

KOMPAS - Selasa, 14 Agustus 2007

Apa hikmah terbesar dari Pilgub DKI yang baru lalu? Ia menoreh sejarah fenomenal: jumlah golput diperkirakan lebih dari 30 persen dari total suara pemilih.
Golput bukan lagi oknum yang suka dikambinghitamkan penguasa. Menyitir bunyi sebuah iklan yang dulu pernah ngetop, "Ini Golput Baru, Ini Baru Golput!"
Oleh Orde Baru golput dilawan dengan konsep "massa mengambang" yang benar-benar "ngambang".
Pada era reformasi ancaman golput berusaha keras ditangkal gubernur lama yang ngotot membuat aturan hari pencoblosan 8 Agustus mesti diliburkan. Untung saya anggota golput "pesantren" (pelibur santai tetapi keren).
Namun, rencana liburan saya terganggu saat kartu pemilih diantar ke rumah. Saking kagetnya waktu menyimak kartu itu saya bilang, "Masya Allah!"
Nama saya saja sudah salah tulis. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran saya enggak ada yang benar dan usia saya dicatut dua tahun lebih tua. Lebih gawat lagi alamat rumah lain banget.
Ada tiga kartu pemilih lain yang juga diantar—yang bukan untuk anggota keluarga saya— dua milik tetangga sebelah rumah dan satu milik pembantu yang sudah keluar tahun 2005.
Padahal, seperti halnya politisi, golput juga masuk kategori "indie" alias independen. Ingat, menurut UUD 1945 setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih (atau tidak) dan hak untuk dipilih (atau tidak).
Saya ngakak sendirian sambil berpikir jangan-jangan inilah yang ditengarai sebagai "upaya terakhir" untuk memengaruhi warga. Ya, namanya juga usaha.
Tak salah saya memilih menjadi golput daripada dikadalin calon gubernur dan antek-anteknya. Kalau di KTP ada kolom "Aliran Politik", saya tanpa ragu-ragu akan mengisinya dengan kata pamungkas "golput", kalau perlu dengan huruf besar.
Lagi pula jadi "golput" (golongan putih) itu enak dan perlu asal jangan diubah jadi "moncong putih". Warna hijau sudah banyak yang punya, misalnya "baju ijo" atau partai-partai Islam.
Warna merah pada zaman sekarang ini menimbulkan kesan garang—misalnya metromini—dan telah melenceng dari makna Sang Saka Merah Putih yang berani dan suci. Warna biru sebenarnya menyejukkan, tetapi sudah diklaim partai-partai yang nasibnya "mengharubirukan".
Lagi pula putih itu warna yang bersih. Minum air putih itu sehat dan kelompok Air Putih tak mau ikutan heboh meributkan jumlah kuplet Indonesia Raya.
Kalau lagi masuk angin, saya senang memoleskan minyak kayu putih di perut, punggung, dan leher. Perempuan berkulit putih tak kalah seksi dibandingkan dengan yang kuning langsat atau yang hitam manis.
Lebih dari itu di dalam demokrasi golput merupakan kritik terhadap kekuasaan yang nyaris tak berbuat apa-apa. Rakyat jadi golput karena nasibnya ibarat pasangan jablai (jarang dibelai) politisi pilihannya.
Jumlah golput di DKI membesar karena warga sudah terbiasa kecewa sejak Bang Ali tak lagi jadi gubernur. Para pengganti Bang Ali dipaksa jadi gubernur oleh Pak Harto walau tak mampu.
Dulu ada guyon amat terkenal yang menceritakan para dokter Singapura terkejut saat mengoperasi kepala gubernur yang mengalami kecelakaan. Soalnya, dia "tidak ada otaknya".
Ali Sadikin jenderal Marinir yang tegap, ganteng, tegas, dan pas dipanggil dengan sapaan bang. Dan Ali merupakan nama khas Betawi yang mungkin dibawa warga keturunan Arab di kota ini, misalnya Pak Ali Alatas yang Betawi tulen.
Waktu SD saya biasa punya teman bernama Ali, Bakar, Hanafi, atau Hasan. Saat SMA ada kawan namanya Ali Smith yang jago main basket meskipun tinggi badannya 1,60 meter-an doang.
Nah, seumur-umur tinggal di sini saya enggak pernah dengar panggilan bang untuk orang-orang non-Betawi yang namanya banyak huruf o. Namun, saya bangga Sekjen PBB bernama "Bang Ki-moon" karena paling tidak bisa dipelesetkan jadi "Bang Kimun" dari Kwitang.
Lebih membanggakan lagi ada Bang Sarkosih yang anak Pasar Rumput. Ya, kini dia jadi Presiden Perancis Nicolas Sarkozy.
Dulu Bang Nolly (nama asli Tjokropranolo) jadi gubernur ia mengenalkan slogan "religius sosialistis". Padahal, Jakarta penuh steambath, ada kasinonya, dan enggak punya potongan jadi ibu kota sebuah negara sosialis.
Banyak warga yang enggak ngeh ada gubernur yang huruf belakang namanya o menyebut diri dan istrinya pasangan mimi mintuno. Sohib saya orang Betawi nanya, "Apaan sih ntuh? Emangnya gubernurnye mimisan?"
Usul saya sejak sekarang, Fauzi Bowo tak usah sok akrab minta disapa dengan Bang Foke segala. Apalagi Wakil Gubernur Prijanto masa dipanggil Bang Pri atau Bang Janto?
Istri-istri mereka juga enggak perlu lagi disapa dengan tambahan mpok. Telinga saya agak gatal mendengar sebutan Mpok Sri (Ny Sri Hartati Fauzi Bowo) atau Mpok Wid (Ny Widya Astuti Endang Prijanto).
Kalau mau egaliter pada zaman reformasi ini sebutan cing atau jek bisa jadi lebih pas. Jika mau lebih gaul, gubernur/wakil serta pasangan disapa bonyok (bokap-nyokap) alias bapak dan ibu.
"Kami ucapkan selamat datang untuk bonyok Fauzi Bowo dan bonyok Prijanto!" kata sang MC. Celakanya, jika mereka gagal memenuhi janji-janji kampanye, gelar itu jadi senjata makan tuan.
Sohib saya yang anak Betawi, Bang Thalib, kalau sewot suka bilang, "Bodong lu! Monyong lu!" Kalau nanti kecewa kepada gubernur dan wakilnya kelak ia pasti nyapnyap, "Bonyok lu!"

0 comments: