Saturday, August 25, 2007

Musik "Indie X-OVEr": Alternatif yang Asyik, yang Bisa Mengganggu

KOMPAS - Sabtu, 25 Agustus 2007

Ester Lince Napitupulu dan Irma Tambunan
"Jangan selesai dulu, please Min, satu lagu lagi," teriak Tata dari bawah panggung. Amin, vokalis Old Paper, tersenyum mendengar teriakan yang nyaris tenggelam di antara keriuhan anak muda malam itu. Amin, elok banget sore itu. Keyboard dia pukul-pukul dengan ujung kedua telunjuknya.
Dan ketukan keyboard-nya, segera mengentak kembali gairah semua yang hadir. Mereka berjingkrak, di atas panggung, di bawah panggung. Suasana pun menghangat.
Mau tahu tampang Amin? Ia pemuda kurus, ia berkacamata hitam agak longgar sehingga tiap kali ia menyempatkan diri menyentuh bagian kacamata itu supaya tidak jatuh. Sampai satu saat, menjelang akhir pertunjukan, kacamatanya terpental karena saking gilanya dia main. Keringat berlelehan di dada dan leher, tapi grup itu solid mendukung aksi panggungnya.
Duh, tapi gayanya selangit abiiss, sangat komunikatif. Bayangkan, di sela melodi, ia akan lari atau berjalan melayang ke tengah stage, lalu meliuk atau meregangkan tubuhnya ala model, sekadar menambah tekanan agar tema musiknya yang sebagian besar beraliran boggie-woggie yang lincah dan riang itu tetap terjaga.
Meski dibilang sebagai band indie baru (terbentuk tahun 2004 lalu), Old Paper yang diawaki Amin (vokal dan keyboard), Okie (bass), Onny (drum), dan Wicak (gitar) itu ternyata cepat kebanjiran penggemar. Irama musiknya—rasa rasta dan boggie-woggie—seperti candu yang membuat orang terus bergoyang dan membawa mereka larut ke masa jaya Elvis Presley.
Dan suasana semakin memanas ketika The Hydrant, band asal Bali, Changcuters dari Bandung, hingga The Upstairs dari Jakarta tampil dengan gaya masing-masing, mengangkat semangat kebebasan orang mengekspresikan kegembiraan mereka malam itu.
"Saya serasa menemukan kembali kerinduan yang pernah hidup tahun 1970-an dulu. Rock n’ roll telah bangkit!" kata Tantio Aji, dosen Seni Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Mau tahu bagaimana pembawaan Pak Dosen Tantio? "Ooo dia itu dosen indie. Kalau dia mengajar, celananya pendek. Warnanya merah, ijo, kuning norak gitu, tapi asyik," kata John Malau, mahasiswa IKJ, soal dosennya.
Malau dan teman-temannya akrab banget dengan Tantio karena ia kelewat eksentrik. Pergi ke Ancol pun Tantio cuma mengendarai sepeda onthel, yang dipinjam Malau keliling stan.
Puas menikmati musik, Tantio lalu sibuk mendokumentasikan band-band muda indie yang mulai kembali menggerakkan semangat rock n’ roll tersebut.
Band-band indie ini seakan memiliki karisma yang kuat. Meski lagu-lagu mereka terbilang baru ditampilkan di depan publik Jakarta, banyak anak muda yang ternyata dengan cepat dapat mengikuti lagu-lagu itu.
Vokalis The Hydrant, Marshelo, menyanyikan satu lagu, lalu melangkah ke arah penonton. Semuanya pun ikut bernyanyi, "Sisir Opa...sisir opa".
Meski liriknya terdengar aneh (karena lagu ini dibuat ketika Marshelo, vokalis The Hydrant, kehilangan sisir pemberian kakeknya), ternyata orang-orang nyaman saja menyanyikannya.
Band-band indie muda ini kebanyakan tampil dengan gaya yang nyeleneh, nyentrik, unik, dan dengan kostum-kostum yang tak biasa.
Banyak juga kostumnya bergaya tempo dulu. Amin, sang vokalis Old Paper tadi, tampil dengan kemeja penuh gambar Marlyn Monroe dan celana panjang bermotif kotak-kotak hitam putih, lengkap dengan rambut berjambul. Gerakan-gerakan yang bebas dan cengar-cengirnya selalu memancing penonton tertawa hingga akhirnya mereka pun ikut berjingkrak-jingkrak.
Seluruh personel Changcuters malah tampak kembaran dengan busana yang mereka sebut: ala street fashion. Atasannya hitam, sepatu putih semua. "Yang lain ingin gaya beda-beda. Kalau kami, maunya seragam, tidak masalah juga kan," ujar Qibil, gitaris Changcuters.
Bagi mereka, semangat kebebasan bukan berarti harus selalu tampil beda. Namun, yang terpenting, ketika di atas pentas, mereka mampu membangkitkan semangat dan komunikatif dengan anak-anak muda di sekitar panggung.
Antusiasme anak muda begitu terlihat pada Urbanfest 2007, yang dibuka di Pantai Carnaval Ancol, Jakarta, Jumat (24/8).
Karnaval yang menandai pembukaan kegiatan tersebut menampilkan semua kekhasan semangat kota, yakni orang-orang berpakaian aneh, busana tari modern, pemain sirkus, tukang sapu, mbok jamu, sampai gaya kebarat-baratan.
Sebanyak 12 grup X-over indie band, hari pertama kemarin tampil dengan diselingi fashion show, harajuku, dan cosplay di atas dua panggung. Kawasan itu juga dipenuhi dengan berbagai macam kontes, kompetisi, pameran, atraksi, dan pemutaran film. Seluruh pengunjung kebanyakan anak muda, tampil juga dengan gaya-gaya ala mereka sendiri.
Semangat kebebasan begitu tampak di sana. Anak muda yang ingin menyalurkan energinya berteriak-teriak, bisa ikut euro bungy. Penggemar utak-atik motor, memperlombakan modifbike. Kontes ini kebanjiran peserta sampai-sampai ruang yang disediakan tak muat lagi oleh padatnya motor dalam berbagai kategori lomba. Setiap motor itu penuh modifikasi dan pernak-pernik.
Semua band yang tampil hingga Jumat tengah malam seolah sepakat, Urbanfest menjadi ajang ekspresi alternatif tadi.
Beberapa band, di akhir penampilan mereka, dengan terus terang berterima kasih pada forum musik itu dan forum seperti ini mesti diadakan saban tahun.
Band yang telah tampil pada hari pertama Urbanfest dan akan disusul Sabtu dan Minggu besok sebagian besar memang berangkat dari berbagai keterbatasan. Karena itu, mereka berani memilih sekadar sebagai musik alternatif di tengah kuatnya mainstream lagu pop, rock, dangdut, dan genre apa saja yang telanjur mendominasi.
"Tidak mudah menikmati musik mereka. Namun, kalau teliti, ya kita bisa menemukan yang bagus. Kami juga mengamati kok mana-mana grup yang bagus. Pasti akan kami minta tampil lagi di Ancol," kata Anom Hamengkubudi, staf Taman Impian Jaya Ancol.
Apa boleh buat, ketika semangat kebebasan itu terus mengalir, makin terasa bahwa ruang bagi musik yang "hanya alternatif" itu makin santer juga pengaruhnya. Gejala seperti itu mudah ditandai, yaitu kian laris, tetapi juga kian sulitnya mencipta karya-karya segar yang orisinal. Mesin kreativitas lalu cenderung mekanis. Di situlah, bayangan kemapanan harus dihindari.
"Awal tahun 2000-an belum banyak anak muda suka rock n’ roll. Itu lebih dianggap masa lalu. Tapi, sekarang seperti mulai demam musik ini lagi." tutur Tantio Aji. (HRD)

0 comments: