Monday, August 27, 2007

Uang Pengganti: Tak Mungkin Dibungakan Kejagung

KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007

Jakarta, Kompas - Ahli hukum pidana Andi Hamzah di Jakarta, Minggu (26/8), menegaskan, sebaiknya masyarakat menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sehingga masalah uang pengganti menjadi lebih jelas. Itu karena tidak mungkin Kejaksaan Agung berani membungakan uang tersebut.
"Soal uang pengganti memang sulit. Tetapi, kalau Jaksa Agung berjanji akan transparan, saya yakin itu akan dilakukannya," kata guru besar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, itu.
Andi yakin, Kejagung tak berani membungakan uang yang diperoleh dari terpidana perkara korupsi, sesuai putusan pengadilan. "Tak ada yang berani membungakan, apalagi didepositokan. Itu kan harus atas nama orang, bukan instansi," katanya.
Andi yang menjadi jaksa pada tahun 1954-1993 mengungkapkan, kejaksaan negeri (kejari) selalu langsung menyetorkan uang denda ke kejaksaan tinggi melalui kantor pos, satu hari setelah menerima uang itu. Setelah itu, laporan uang denda akan diberikan setiap bulan.
"Uang denda diterima Kejari kalau putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Uang pengganti pasti juga melalui prosedur yang sama. Jaksa tidak mungkin punya rekening sendiri," katanya.
Kelemahan kejaksaan
Secara terpisah, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Jakarta mengakui, perbedaan data uang pengganti kasus korupsi merupakan salah satu kelemahan di kejaksaan. Masalah itu sudah dituntaskan pada Rapat Koordinasi Kejaksaan Se-Indonesia di Bandung, Desember 2006.
"Waktu saya menjabat Jaksa Agung, saya sudah periksa. Saat rakor itu kan ada komisi, termasuk Komisi Uang Pengganti. Persoalan perbedaan data sudah tuntas," kata Abdul Rahman Saleh kepada Kompas, Minggu.
Cara penanganannya, kata Abdul Rahman, adalah dengan memisahkan secara tegas antara data uang pengganti yang perkaranya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan yang berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999. Berdasarkan UU No 31/1999, tidak ada alasan untuk tak membayar uang pengganti bagi terpidana. Pilihannya membayar atau masuk penjara sebagai penggantinya.
Abdul Rahman mengakui, saat itu terungkap adanya perbedaan data uang pengganti yang ditangani kejaksaan. "Perbedaan itu terjadi karena catatan uang pengganti ini terus berjalan, selalu bertambah setiap ada terpidana yang membayar dan tiap kali ada putusan baru," ujarnya.
Menurut Abdul Rahman, kemungkinan beda perhitungan juga terjadi apabila ada dua pihak yang menyetorkan uang pengganti, yakni melalui jaksa dan langsung oleh terpidana. Bisa jadi uang pengganti yang disetorkan langsung oleh terpidana itu tidak tercatat di kejaksaan.
Abdul Rahman menegaskan, ia tahu persis tak ada yang berani mengorupsi uang pengganti di kejaksaan. Sebagai jaksa agung, ia digantikan Hendarman Supandji pada Mei 2007.
Disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, 13 Agustus 2007, keseluruhan uang pengganti yang ditangani kejaksaan Rp 10,704 triliun dan 5.500 dollar AS. Dari jumlah itu, Rp 2,568 triliun sudah dibayar terpidana, Rp 1,114 triliun dijalani dengan penjara, dan Rp 78,530 miliar dilimpahkan ke Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara. Belum tertagih Rp 6,969 triliun dan 5.500 dollar AS.
Depkeu juga terbuka
Guru besar hukum pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji, menyarankan, tak hanya Kejagung yang membuka diri. Departemen Keuangan juga disarankan untuk transparan, membuka data uang pengganti yang selama ini dikatakan Kejaksaan Agung sudah disetorkan.
Menurut Indriyanto, keterbukaan dari pihak yang berhubungan dengan uang pengganti perkara korupsi ini sebagai bentuk akuntabilitas publik.
"Kejaksaan dan Depkeu dapat mencocokkan uang pengganti yang sudah dibayar dengan jumlah yang belum tertagih. Pencocokan menggunakan bukti setor dan bukti terima," kata Indriyanto. Perhitungan uang yang disetorkan ke negara mungkin saja berbeda sebab ada kesalahan pengelompokan. (SIE/IDR)

0 comments: