KOMPAS - Senin, 27 Agustus 2007
FAISAL BASRI
Salah satu maslahat paling nyata dari perekonomian dunia yang semakin terintegrasi ialah kecenderungan laju inflasi yang menurun tajam di seluruh kawasan dunia tanpa kecuali. Dalam satu dekade terakhir, laju inflasi di negara maju rata-rata hanya di bawah 2 persen, sementara di negara berkembang berkisar 3-4 persen. Proses konvergensi tingkat harga-harga umum ini dipicu oleh liberalisasi perdagangan dunia yang ditopang oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi.
Jika perekonomian suatu negara semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia, negara itu akan menikmati laju inflasi yang rendah pula. Tentu saja dengan syarat bahwa negara itu memiliki kelengkapan kelembagaan pasar (market institutions) yang memadai, serta mata rantai distribusi yang efisien.
Laju inflasi di Indonesia selalu relatif jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi negara berkembang. Perekonomian Indonesia seakan sudah terbiasa dengan suhu tinggi. Niscaya ada masalah struktural yang selama ini terus menggelayuti perekonomian Indonesia, baik dari sisi permintaan (aggregate demand) maupun sisi penawaran (aggregate supply)
Inflasi sebagai fenomena moneter bersumber dari sisi permintaan yang besarannya tercermin pada angka inflasi inti, yakni yang tidak memasukkan kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Apabila kita membandingkan angka inflasi inti Indonesia dengan negara tetangga di Asia Timur, tampak kebijakan moneter di Indonesia kurang efektif dalam meredam kenaikan harga.
Bisa disimpulkan, persoalan struktural yang membuat laju inflasi di Indonesia relatif tinggi terletak pada pengelolaan kebijakan moneter. Harus ada terobosan yang signifikan agar perekonomian Indonesia tak lagi bersuhu tinggi, yang membuat daya saing kian melorot.
Dalam beberapa bulan terakhir ada kecenderungan angka inflasi inti mulai turun di bawah 6 persen. Namun, justru kembali terjadi kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang paling dirasakan masyarakat berpendapatan rendah adalah minyak tanah, minyak goreng, beras, dan gula putih.
Murni kesalahan pemerintah
Gejolak harga minyak tanah murni merupakan kesalahan pemerintah, yakni karena sosialisasi yang kurang, buruknya kualitas kompor gas yang dibagikan, dan tabung gas yang tersedia cuma ukuran 3 kilogram. Lalu banyak instansi pemerintah yang terlibat dan berjalan sendiri-sendiri sehingga program konversi kacau balau.
Untuk kasus minyak goreng berbagai kebijakan pemerintah selama ini terbukti mandul. Peningkatan pungutan ekspor dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen tidak bisa menurunkan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di dalam negeri karena harga CPO di pasar internasional naik jauh lebih cepat. Mengatasi itu, kenaikan pungutan ekspor setidaknya harus proporsional dengan kenaikan harga CPO di pasar internasional. Namun, pilihan itu secara empiris akan menimbulkan dampak negatif, yang pada akhirnya akan menghasilkan dampak neto yang merugikan bagi perekonomian?
Apabila ingin melindungi rakyat miskin, masukkan saja minyak goreng dalam paket raskin (beras untuk orang miskin). Kalau pilihan ini yang ditempuh, bagaimana dengan gula putih yang harganya juga mulai merangkak naik? Bagaimana dengan kebutuhan pokok lainnya?
Hal itu menandakan, persoalan lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok tidak bisa lagi ditangani secara ad hoc dan reaktif. Bukankah gejolak kenaikan harga barang yang "itu-itu" juga telah berlangsung berkali-kali. Bahkan, belakangan ini dengan frekuensi yang kian kerap, menandakan ada masalah struktural yang tetap melekat.
Jadi, fenomena kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok bukanlah persoalan temporer sebagaimana diutarakan sementara pejabat tinggi. Tidak bisa juga dikatakan, kenaikan harga barang tertentu masih wajar. Selain ada yang dirugikan, ada juga yang diuntungkan, sebagaimana dikatakan Wakil Presiden (Kompas, 22 Agustus, hal 1 dan 15).
Gejolak harga beberapa komoditas akan selalu terjadi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Semua itu tidak muncul seketika. Kebanyakan bisa diprediksi sehingga kita bisa mengantisipasinya jauh-jauh hari. Untuk itu, pemerintah harus membangun kemampuan intelijen pasar yang lebih tangguh.
Pada waktu bersamaan, kita dituntut memperkokoh kelembagaan pasar (market institutions). Selama ini pemerintah terlalu terbuai melakukan liberalisasi pasar, tetapi minim membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung bagi kesejahteraan rakyat.
Pasar membutuhkan fungsi pengaturan dan stabilisasi agar tidak bertindak liar atau kerap bergejolak. Mekanisme pasar yang hanya menekankan pada fungsi liberalisasi pasar tak akan pernah menyentuh kepentingan rakyat yang lemah.
Oleh karena itu, mekanisme pasar harus selalu dilengkapi dengan fungsi legitimasi pasar sehingga memenuhi sense of justice dan sense of equity. Dengan begitu, keberlangsungan pasar bisa terjamin bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kalau negara libertarian saja sudah lebih peduli terhadap dimensi keadilan dan kemanusiaan, seharusnya kita, yang berdasarkan konstitusi menganut sistem pasar sosial, jauh lebih peduli lagi.
Monday, August 27, 2007
ANALISIS EKONOMI: Lonjakan Harga Kebutuhan Pokok
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:00 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment