KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007
Di ruang tunggu Bandar Udara Soekarno-Hatta, pekan lalu, saya berjumpa teman sekelas yang saat ini menjadi pejabat eselon satu di sebuah lembaga negara. Setelah berbincang hal-hal ringan, ia mulai "sedikit mengeluh" bahwa kebijakan negara yang mensyaratkan koordinasi pasti sulit dilaksanakan di negeri ini. Koordinasi kebijakan merupakan barang mahal di Indonesia.
Walau para ahli klimatologi telah mengingatkan, kemungkinan memburuknya pemanasan global pada tahun ini, pemerintah terkesan lamban sekali bertindak. Tidak tampak langkah antisipasi, apalagi adaptasi secara sistematis. Setelah kekeringan melanda dan mengancam penurunan produksi pangan, barulah para aktor mulai saling menyalahkan. Pertanian merasa dirugikan oleh besarnya laju penggundulan hutan, yang mencapai lima lapangan bola per menit.
Kehutanan tidak senang dengan laju konversi hutan menjadi perkebunan karena berkurangnya yurisdiksi yang menjadi kewenangannya. Pekerjaan Umum merasa tak mampu berbuat apa-apa ketika kekeringan melanda (Kompas 7/8/2007) walau telah berupaya membangun (dan memelihara) infrastruktur irigasi. Daftar saling tuding bisa diperpanjang lagi karena lemahnya saling percaya antarpemangku kepentingan.
Dampak pemanasan global
Pemanasan global telah menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau yang makin kacau sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian, serta persediaan pangan, menjadi sulit diprediksi secara baik.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), setiap kenaikan suhu udara 2 derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian China dan Banglades 30 persen pada tahun 2050.
Dalam laporan berjudul "Stern Review on the Economic of Climate Change", Nicholas Stern mengemukakan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan tentang dampak pemanasan global. Singkatnya, langkah untuk melaksanakan adaptasi pemanasan global saat ini pasti lebih murah daripada melakukan rehabilitasi dan menanggulangi bencana yang sesungguhnya.
Bagi Indonesia, fenomena kekeringan—terlepas apakah karena pemanasan global atau karena fenomena rutin tahunan— pasti akan berdampak pada produksi pangan, bahkan tingkat ketahanan pangan. Angka ramalan produksi 55,1 juta ton gabah kering giling (GKG) hanya menjadi pemanis belaka jika Indonesia tidak mampu meningkatkan efisiensi sistem produksi. Minimal mengantisipasi dan mengadaptasi pemanasan global.
Berita banjir di sentra produksi beras China perlu diwaspadai karena mengakibatkan penurunan volume persediaan beras di pasar global dan melonjaknya harga beras. Berdasarkan data Bank Dunia per Agustus 2007, harga beras dunia kualitas medium (Thailand patahan 25 persen) telah menembus 307 dollar AS per ton. Data ini merupakan suatu ancaman serius, jika Indonesia masih harus mengandalkan pemenuhan stok pangan dari pasar internasional.
Butuh banyak air
Sektor produksi pangan memang telah dikenal sebagai aktivitas ekonomi yang sangat banyak mengonsumsi air. Studi Lundqvist dan Falkenmark (2007) menyebutkan, untuk menghasilkan 1.000 kilokalori (kkal) pangan dari tanaman, diperlukan sekitar 0,5 meter kubik air. Untuk memproduksi 1.000 kkal pangan dari hewan, diperlukan rata-rata 4 meter kubik air, walaupun angka ini bervariasi menurut wilayah dan jenis produk yang dihasilkan.
Di sisi lain, sistem dan jaringan irigasi di Indonesia mengalami kendala serius karena kapasitas simpan air menurun drastis dan sangat mengkhawatirkan. Praktik kebiasaan pascapanen dengan membakar jerami dan sisa tanaman, penggunaan bahan kimia yang berlebihan turut memengaruhi kandungan bahan organik tanah. Kekeringan sedikit saja telah membuat tanah mudah pecah dan kerontang. Ditambah kualitas wilayah hulu sungai atau daerah tangkapan air yang kian buruk karena deforestasi, lengkaplah fenomena kekeringan sekarang ini.
Defisit air di beberapa waduk strategis dan bahkan di hampir segenap lahan pertanian yang ada memang akan sangat serius.
Dalam jangka pendek, upaya-upaya konkret seperti penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih harus menjadi prioritas pemerintah.
Dalam jangka menengah-panjang, langkah adaptasi kekeringan dan pemanasan global, perbaikan manajemen sistem irigasi, rehabilitasi sumber-sumber air secara berkelanjutan menjadi sangat penting. Langkah aksi yang lebih sistematis untuk mengurangi luas, intensitas, dan durasi musim kemarau di Indonesia masih diperlukan.
Pada masa lalu, Indonesia pernah menjadi role model negara-negara berkembang lain karena mampu mengembangkan padi gogo rancah, atau tanaman padi di lahan kering yang mengandalkan tadah hujan. Dengan teknologi dan pengembangan varietas baru yang lebih tahan musim kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, memang tidak mustahil bahwa suatu waktu, padi gogo akan menjadi alternatif.
Langkah adaptasi kekeringan seperti ini pasti lebih bermanfaat dibandingkan dengan, misalnya, mengandalkan keberhasilan benih padi hibrida impor asal China secara berlebihan.
Monday, August 13, 2007
Kekeringan dan Keterlambatan Adaptasi
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:56 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment