Monday, August 13, 2007

Suvenir Binu-Ananda: Kemerdekaan dengan Lagu Perjuangan

KOMPAS - Senin, 13 Agustus 2007

Ninok Leksono

Generasi awal Republik pastilah tak asing dengan penggalan lirik di atas. Ya, itulah petikan lagu Melati di Tapal Batas ciptaan komponis pahlawan nasional Ismail Marzuki.
Mendengarnya bersama dengan lagu Gugur Bunga, atau Sepasang Mata Bola, ingatan orang pun akan dibawa terbang ke periode revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan pada paruh kedua tahun 1940-an.
Itulah era heroisme, dan itulah era lagu-lagu perjuangan Ismail Marzuki. Setelah banyak dinyanyikan oleh penyanyi dengan berbagai latar belakang, pada awal Agustus ini tiba giliran soprano Binu D Sukaman, yang bersama pianis ternama Ananda Sukarlan, menghadirkan melodi indah era perjuangan dalam sebuah album CD yang nostalgik.
Diantar oleh mantan wartawan Linda Djalil, album Tembang Puitik Indonesia ini diluncurkan secara sederhana di Financial Club Jakarta, 6 Agustus petang, dan kemudian sejumlah lagunya diperdengarkan secara hidup di depan publik dalam konser di Erasmus Huis Jakarta, 8 Agustus malam. Binu dan Andy—panggilan akrab Ananda— sudah setahun terakhir memikirkan untuk mendokumentasikan musik "langka" Indonesia ini. Ketika munculnya berbareng dengan Bulan Kemerdekaan, hasilnya adalah suvenir yang menggugah rasa cinta Tanah Air.
Album ini dapat dipandang sebagai penghormatan untuk dua unsur penting. Pertama untuk musik seni, nyanyian, atau lagu seni khas Indonesia, dan kedua untuk para penciptanya. Kedua seniman melalui alunan vokal dan denting piano menyampaikan hormat kepada Ismail Marzuki, Mochtar Embut, dan dari era lebih kemudian juga Trisutji Kamal. Seiring dengan itu, mereka juga tidak melupakan Usmar Ismail, WS Rendra, dan Ilham Malayu yang menuliskan lirik lagu yang mereka rekam.
Musik nasional
Terngiang pertanyaan wartawan yang hadir Senin petang itu, album Binu-Andy ini sekilas membawa pertanyaan tentang apakah lagu-lagu yang ada di dalamnya merupakan musik Indonesia?
Andy menyinggung bahwa di bagian dunia lain ada komposer Sibelius yang menghasilkan musik nasional Finlandia, atau Smetana dengan Moldau (nama sungai besar yang melewati Praha) yang menghadirkan Bohemia (yang kemudian menjadi Cekoslovakia). Bisa pula ditambahkan Tchaikovsky yang menghadirkan suasana khas Rusia, atau Verdi yang Italia.
Memang lagu-lagu di album Binu sebagian besar menggunakan simbol dan notasi musik diatonik Barat. Akan tetapi, kalau menyimak lirik Melati di Tapal Batas di atas, tak diragukan lagi itu merupakan musik nasional Indonesia.
Kedua artis sendiri, tanpa banyak merisaukan masalah kenasionalan, menilai karya oleh komposer Indonesia yang mereka rekam bermutu tinggi. Selain musiknya, mereka juga ingin memperkenalkan puisinya.
"Itu sebabnya lagu-lagu ini harus dinyanyikan oleh penyanyi Indonesia," ujar Andy. Ia menambahkan, "Kalau oleh penyanyi Barat, pastilah efek bunyi yang diharapkan dari pelafalan oleh lidah asli sulit dicapai."
Ekspresi oleh pemusik/komposer lokal ini pula yang dicapai mendiang Yazeed Djamin tatkala ia menggubah variasi Sepasang Mata Bola. Lagu asli ciptaan Ismail Marzuki yang menggunakan notasi Barat itu dapat dihadirkan kembali oleh Yazeed sebagai karya musik Indonesia berlatar belakang epik kuat.
Dewasa ini, perihal apakah satu musik memancarkan aura nasional atau tidak sudah tidak lagi terlalu dipermasalahkan di era globalisasi (Michael Beckerman, "Music and Nationality in the Global Age", IHT, 11/8/2004) Meski demikian, sentimen kebangsaan juga terbukti tak mudah lekang.
Selain karakter tersebut bisa lahir tanpa pretensi, seperti bahwa karya Bartok serta-merta menghadirkan Hongaria, Vaughn Williams Inggris, dan Aaron Copland Amerika Serikat, ternyata karakter itu sendiri bisa bertumbuh.
Bagi Ananda, puisi karya Ilham Malayu yang ia angkat dalam komposisi—misalnya Kama—telah menantangnya ke ranah baru. Seperti diakuinya, sebelum bertemu dengan puisi Ilham, ia hanya mendasarkan komposisinya pada puisi Walt Whitman, Robert Frost, atau Lord Byron. Namun, melalui karya Ilham, Andy bisa "menemukan" karakter musik baru yang mengandung unsur "kejawaan". Ananda yang sudah 20 tahun tinggal di Eropa mengakui keindonesiaannya jarang terkomunikasikan. Namun, melalui karya Ilham, dan berikutnya melalui karya-karya puncak Sapardi Djoko Damono, ia dapat mengekspresikan lagi keindonesiaan yang ada dalam dirinya.
Karakter keindonesiaan lewat musik membesarkan hati karena—seperti diusulkan oleh seorang wartawan yang hadir petang itu—album Binu-Ananda ini juga bisa dibawa ke mancanegara, didengarkan oleh warga asing.
Bobot keindonesiaan melalui musik tadi juga cocok dengan tradisi yang diyakini oleh komposer besar Italia, Giuseppe Verdi, yang mengatakan, "Tiada hal yang dapat membungkam suara bangsa." (Verdi with a Vengeance, W Berger, 2000).
Binu dan Ananda memang belum sempat menggali karya musik yang selama ini dinilai berkarakter Indonesia dan yang beraura perjuangan seperti yang banyak diekspresikan melalui karya-karya dalam khazanah musik seriosa Indonesia.
Namun, sebagai prakarsa awal, Binu dan Ananda—yang masing-masing telah mengembara jauh dalam repertoar musik vokal dan piano—telah mengirimkan pesan kuat akan komitmen mereka terhadap musik Indonesia.
Terhadap tafsiran atau pendekatan Suvernir Tembang Puitik Indonesia atas karya pencipta tahun 1940-an, 1960-an, dan 1980-an yang mungkin dirasa tidak konvensional, misalnya terhadap lagu Gugur Bunga, hal itu kembali terpulang kepada kedua seniman dan para pendengarnya, karena di dalamnya ada soal cita rasa, dan tentang selera—kata peribahasa non est disputandum (tidak untuk diperdebatkan). Toh, di luar Gugur Bunga masih ada Cita Ria dan Melati di Tapal Batas.

0 comments: