KOMPAS - Selasa, 22 Mei 2007
Kebetulan menarik Pak Harto lengser ing keprabon sehari setelah Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional) 20 Mei 1998. Pak Harto mundur sembilan tahun lalu, perayaan Harkitnas tahun ini pas yang ke-99 tahun.
Angka "999" menarik bagi yang gemar jampi-jampi, meski saya hafalnya ia nama restoran China. Apapun, 999 masih lebih baik daripada "666" si "angka setan" menurut versi film The Omen (1976).
Setiap Harkitnas siapa pun terpaksa ngelamun tentang apa makna kata bangkit? Bagi si Anu ia bisa berarti bangun dari tidur, sadar bahwa hidup tak seindah mimpi, dan kerja banting tulang agar tak tertidur lagi.
Tentu saja ada orang seperti si Polan yang betah tinggal di "Pulau Kapuk" walau Matahari sudah parkir di ubun-ubun. Ia gemar dihanyutkan mimpi yang full colour dan senang jadi penganggur.
Namun, ada Badu yang terpaksa tidur melulu karena penyakitnya tak kunjung sembuh. Jangankan ngantor, ke kamar mandi saja harus dipapah.
Terakhir ada si Oyot yang dikira tertidur pulas. Selidik punya selidik ternyata ia sudah telanjur jadi almarhum karena tutup usia dalam tidurnya—kematian yang konon paling nikmat.
Indonesia pernah mendapat peluang bangkit setelah Pak Harto tumbang sembilan tahun lalu lewat hingar-bingar reformasi. Tetapi yang bangkit malah sisa-sisa Orde Baru—ingat sisa-sisa G30S/PKI?
Kebangkitan lain sempat pula datang menyusul tumbangnya Orde Lama. Namun, kata "orde" tak ubahnya nama sedan buatan Jepang yang diimbuhi kata "new" tiap beberapa tahun meski kualitasnya mirip.
Kebangkitan yang paling terkenal terjadi 17 Agustus 1945. Bangsa dan negara besar untuk pertama kali merdeka di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh pandai, sederhana, dan tanpa pamrih.
Namun, "ibu dari segala kebangkitan" tak pelak lagi Harkitnas—bayi nasionalisme yang lahir lewat rahim Budi Utomo (Budut) tahun 1908. Budut itu adalah babak akhir perjuangan pra-nasionalistis di berbagai daerah sekaligus mengawali ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
Peristiwa itu penting bukan hanya karena mengorganisasi perjuangan, tetapi juga mengukuhkan keberagaman dan menyalurkan berbagai aliran politik tradisional untuk belajar mengelola negara modern.
Oke Budut didirikan kaum priyayi Jawa dan Madura, tapi tokoh-tokoh daerah berdatangan juga. Wahidin Sudirohusodo sebagai bidan memaksa tiap peserta berbicara dalam bahasa Indonesia sebagai lingua franca.
Tak lama lahirlah Sarekat Islam 1912 pimpinan HOS Cokroaminoto yang anggotanya lebih dari 400.000 tahun 1919. Di tahun yang sama Muhammadiyah berdiri—NU tahun 1926—dan Douwes Dekker membentuk Indische Partij.
Dua tahun kemudian Hendricus Sneevliet membentuk ISDV yang menjadi cikal-bakal PKI yang terbentuk 1924. Mereka memberontak di Silungkang (Sumatera Barat) tahun 1927 antara lain karena menentang parlemen Volksraad (1918-1921) yang boneka Belanda.
Budut jadi inspirator bagi Bung Karno memulai perjuangan lewat Bandung Studie-Club dan Sutono di Surabaya melalui Indonesische Studieclub. Hatta-Sjahrir pulang membidani Perhimpunan Indonesia, dari Timur Tengah berdatangan para pelajar yang bermodalkan pemikiran Islam modernis.
Pembentukan Budut juga diinspirasi Kongres Nasional India 1885, perjuangan bangsa Filipino melawan Spanyol-Amerika Serikat 1898-1902, kemenangan Jepang dari Rusia tahun 1904-1905, dan sukses Kemal Ataturk menjadikan Turki negara sekuler.
Pada masa Budut muncul slogan-slogan kemerdekaan seperti "los van Nederland" (merdeka dari Belanda) atau "nationale bevrijding" (pembebasan nasional). Soewardi Suryaningrat pun berani menulis artikel "Als Ik Nederlander Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), sindiran pedas untuk Belanda.
Fakta menunjukkan segenap aliran politik multi-agama dan etnis berjuang bersama. Ini hal pokok yang harus digarisbawahi agar generasi anak-anak kita paham, tak ada yang berhak mengklaim golongan mereka sendirilah yang berjuang.
Anak-anak kita juga perlu diajari bahwa kebangkitan Orde Baru 1965 dan reformasi 1998 melenceng jauh dari cita-cita Harkitnas. Dulu emas sekarang loyang, dulu intan mutu manikam kini mutiara palsu.
Warisan pertama Harkitnas adalah semangat anti-penjajahan dan betapa enggak enaknya dijajah bangsa sendiri. Mendingan dijajah Belanda sampai tahun 1970-an, siapa tahu timnas PSSI lolos ke Piala Dunia 1974.
Nasionalisme ala Indonesia merupakan warisan kedua Harkitnas. Sekarang yang merebak justru kepicikan suku atau etnis yang jadi permainan licik untuk mengangkat saudara sekampung sebagai orang lingkar dalam.
Warisan ketiga Harkitnas jelas keberagaman, bukan "kesegaraman". Entah sudah berapa puluh kali terjadi serangan fisik terhadap agama lain yang dibiarkan saja oleh aparat.
Warisan keempat Harkitnas adalah kepemimpinan yang jujur. Saya cuma berani mengatakan, suka atau tidak Pak Amien Rais paling tidak telah jujur mengakui salah dan siap masuk bui karena menerima dana nonbudgeter dari Departamen Kelautan dan Perikanan.
Warisan kelima Harkitnas adalah pendidikan yang berbudi luhur. Jika masih ada, Budut mungkin akan mengajari Kejaksaan Agung bahwa sumber radikalisme di negara ini adalah kemiskinan, bukan buku-buku pelajaran SD dan SMP.
Jadi apa makna bangkit tadi? Menurut Anda Indonesia pasca reformasi adalah Anu, Polan, Badu, atau Oyot?
Tuesday, May 22, 2007
Anu, Polan, Badu, Oyot?
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:27 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment