KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007
BUDIARTO SHAMBAZY
Menurut BPS, penduduk RI 206 juta (2000) dan per 2007 yang bekerja 97,5 juta orang. Pepatah bilang 97 persen rakyat banting tulang tiap hari tanpa bosan.
Alhasil, di negeri ini ada 94,5 juta orang yang kerja pontang-panting sejak matahari terbit sampai tenggelam. Bagi Anda, "bekerja adalah kemuliaan".
Nah, sisa 3 persen jumlahnya 2,9 juta orang. Mereka tak perlu kerja sampai keringatan seperti orang habis mandi uap karena kaya berkat warisan.
Namun, dari 2,9 juta itu 10 persen, atau 290.000, jadi anggota the ruling elite alias pengendali kekuasaan. Mereka menguasai lebih dari 70 persen uang sampai saham, mal sampai hotel, dan tambang minyak sampai hak pengusahaan hutan.
Mereka ingin terlihat sibuk seperti bajaj kosong muatan. Kalau ke mana-mana mereka dikawal "kutukupret" setia yang jumlahnya mencapai puluhan.
Mereka gemar memamerkan simbol-simbol kekuasaan. Pelat nomor mobil mereka pun dipasangi lambang kehormatan DPR supaya enggak ditilang polisi setiap kali masuk ke jalur three in one.
Mereka suka busung dada karena waktu balita kurang mendapat perhatian. Oleh sebab itu, ketika berkuasa, mereka tetap seperti anak balita yang suka melompat-lompat di Istana Hoya sambil menggenggam mainan.
Ketika remaja, mereka tak mau kalah dari "Ali Topan Anak Jalanan". Saat menginjak usia muda, mereka telanjur "jadi tua sebelum matang"; dan waktu jadi pejabat, mereka jadi "dewasa yang kekanak-kanakan".
Tak mengherankan mereka doyan mengarang cerita yang bukan-bukan alias penuh "perkibulan". Mereka masuk golongan "kolektor dongeng" yang sering lupa membedakan mana yang bohong dan mana yang cerita beneran.
Setelah berkuasa mereka kayak Tarzan keluar dari hutan yang tergiur kemewahan hidup ala kota metropolitan. Makanya mereka jadi manusia yang tak tahan godaan.
Dulu, dengan modal koneksi, mereka "menerobos" masuk ke sekolah-sekolah top walaupun tak lulus ujian. Oleh sebab itu, jika ditanyai KPK kenapa jumlah hartanya naik drastis setelah jadi pejabat, mereka menjawab dengan gelagapan.
Mereka the wrong man in the right place karena, kalau bekerja, enggak pernah betahan. Jadi sarjana, tetapi tak suka buku; jadi pejabat, tetapi enggan melayani rakyat. Jadi penyanyi pun gagal karena suara macam kaleng rombengan.
Maka, satu-satunya pilihan, ya, jadi politisi, pekerjaan yang sebetulnya menuntut pengabdian. Sayangnya, tugas mulia itu bagi mereka, ya, lebih kurang mirip dengan profesi dramawan.
Mereka terkatrol ke puncak-puncak kekuasaan seperti halnya mobil yang lagi didongkrak sehabis mengalami pecah ban. Ketika kampanye, mereka terbiasa mengeluarkan ilmu "akan" ini dan itu yang jelas-jelas enggak mungkin diterapkan.
Supaya tampak pintar, mereka dibantu para ilmuwan oplosan. Dana kampanye tak berhenti mengalir bukan dari kocek sendiri, melainkan hasil pengemisan dari kiri dan kanan.
Ketika kampanye, mereka berjanji mau memperbaiki nasib rakyat pedesaan. Setelah terpilih, yang dikerjakan malah yang bukan-bukan, misalnya mau membuat gratis biaya pendidikan.
Itulah akibat dari hobi mereka doyan tebar pesona "kapan saja, di mana saja, dan siapa saja" yang didengang-dengungkan iklan sebuah merek minuman ringan. Mereka bahkan mendadak nonton pertandingan timnas PSSI hanya karena takut kalah saingan.
Itulah profil politisi kelas murahan. Dalam bahasa Latin poli artinya ’banyak’ dan tics artinya ’serangga pengisap darah’ yang berwajah mengerikan.
Politisi di sini tak ubahnya bintang film Hollywood yang ulahnya suka menghebohkan. Misalnya saja artis cantik, seksi, dan muda belia yang bernama Lindsay Lohan. Ia ditangkap polisi karena menyetir mobil sembari bermabuk-mabukan. Padahal, ia baru saja keluar dari pusat rehabilitasi untuk para alkoholik kambuhan.
Politisi di sini pun tak ubahnya berkelakuan mirip Nona Lohan. Kok enggak kapok melakukan studi banding ke luar negeri walaupun sering ketahuan mereka cuma sekadar jalan-jalan?
Rossi O’Donnel dan Donald Trump selama berhari-hari bertikai di media seperti kucing sedang cakar-cakaran. Di sini mereka tak sampai seperti kucing, tetapi saling lapor ke kepolisian.
Mereka meributkan masa lalu, bukannya merancang masa depan. Mereka lupa ada banjir di Morowali, malah terlibat blame game alias permainan saling menyalahkan.
Paris Hilton bilang, "Setiap perempuan harus punya empat binatang peliharaan. Sebuah mantel bulu cerpelai di lemarinya, sebuah mobil Jaguar di garasinya, seekor ’macan’ di tempat tidurnya, dan seorang ’serigala’ yang membayar semua tagihannya."
Di sini politisi "harus punya Jaguar dan, kalau marah, seperti macan". Saya enggak tahu persis apakah mereka bayar sendiri tagihannya atau punya binatang peliharaan.
Banyak bintang Hollywood yang kawin-cerai. Politisi di sini... ah, Anda lebih tahu kan?
Rakyat Amerika Serikat (AS) tak bosan disuguhi video Britney Spears, Paris Hilton, atau Pamela Anderson yang beradegan "menyeramkan". Anda ingat video politisi Golkar yang "menegangkan"?
Video-video itu makanan empuk rakyat AS yang haus hiburan. Di sini video begituan jadi komoditas yang menguak kebohongan publik atau alat untuk menjatuhkan.
Bintang Hollywood memang glitterati alias "kaum gemerlapan" yang suka "buka-bukaan". Ayo, beranikah Anda ikut buka-bukaan?
Ih, mana tahan....
Saturday, August 04, 2007
POLITIKA: "Glitterati" Buka-bukaan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 10:33 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment