KOMPAS - Jumat, 03 Agustus 2007
Sikap Pemerintah dan DPR Sama
Jakarta, Kompas - Pemerintah menilai yang paling tepat menampung ketentuan calon perseorangan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, adalah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh sebab itu, menurut Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis (3/8), sebelum perubahan terhadap UU No 32/2004 dilakukan dan berlaku, tak ada calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada dapat berjalan dengan calon berasal dari partai politik atau gabungan partai.
Sikap pemerintah itu sama dengan putusan pimpinan DPR dalam rapat konsultasi. Bahkan, Dewan memutuskan akan membuat Rancangan Undang-Undang inisiatif perubahan UU No 32/2004 secara terbatas dan akan selesai sebelum 2008 (Kompas, 2/8).
Sesuai mekanisme, kalau DPR mengajukan inisiatif, harus diawali rapat Badan Musyawarah untuk memutuskan panitia atau komisi yang membuat draf RUU. Draf itu juga harus diawali dengan kajian akademik atau usulan dari masyarakat. Kalau RUU dari pemerintah, juga harus diawali pertemuan interdepartemen, kajian akademik, pembentukan tim penyusun draf RUU, dan diserahkan kepada Presiden untuk disampaikan ke DPR.
Tidak ganggu pilkada
Menurut Hatta, pembahasan revisi UU Pemerintahan Daerah oleh pemerintah dan DPR tidak mengganggu pelaksanaan pilkada dalam waktu dekat ini. Pilkada di sejumlah daerah dapat terus berjalan, tentu saja tanpa calon perseorangan.
Hatta mengakui, pengaturan calon perseorangan bisa pula dalam undang-undang bidang politik yang kini dibahas di DPR. "Tetapi, idealnya dituangkan dalam revisi UU No 32/2004. Karena itu, sampai ada perubahan undang-undang itu, tak ada calon independen karena dasar hukumnya tidak ada," ujarnya.
Pemerintah, diakui Hatta, tak dalam posisi menolak putusan MK. "Memang pertama kali yang baik dilakukan adalah konsultasi dengan DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU)," ujarnya.
Menurut Hatta, tidak pas jika KPU mengembangkan aturan calon perubahan. Juga tidak mungkin dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) karena DPR tak merekomendasikan, terutama dari sisi kegentingan memaksanya.
Batas waktu revisi
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi menyayangkan putusan MK yang tidak memberikan masa transisi dalam pemberlakuan calon perseorangan dalam pilkada, sehingga membuat DPR dan pemerintah kelabakan serta memunculkan harapan segera daerah.
Meski Lemhannas belum mengkaji, Muladi menyatakan, putusan MK soal calon perseorangan memberikan perkembangan yang positif kepada demokrasi Indonesia. Partai politik kini perlu melakukan koreksi kepada kinerjanya.
"Parpol penting, tetapi ada kelemahan, sehingga muncul calon independen. Selain itu, juga adanya keinginan persamaan perlakuan dengan Aceh dalam hal calon independen," ujar Muladi.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan mengingatkan, rapat pimpinan DPR harus ditindaklanjuti dengan pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KPU, dan DPR, terutama untuk membahas revisi terbatas UU Pemerintahan Daerah. Itu diperlukan sebagai political will tentang nasib pilkada yang akan dilaksanakan pascaputusan MK.
Sikap pemerintah dan DPR itu juga untuk menghindarkan konflik antara kehendak masyarakat yang merasa bisa mengusulkan calon perseorangan dan KPU daerah yang tidak dapat menerima pendaftaran karena belum ada pengaturannya. Hal lain yang perlu disepakati adalah substansi UU No 32/2004 yang akan direvisi dan kerangka waktu untuk menghindari kesan DPR dan pemerintah mengulur-ulur waktu.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto di Jakarta, Kamis, juga mengingatkan pentingnya batas waktu penyelesaian revisi UU No 32/2004. Andai disepakati revisi terbatas UU butuh tiga bulan, harus dipastikan nasib daerah yang tahapan pilkadanya kini sudah berjalan tetapi belum sampai tahap pemungutan suara.
Didik pun menyoroti mekanisme pencalonan perseorangan dalam pilkada. Unsur keadilan dengan persyaratan calon dari partai atau gabungan parpol harus diperhatikan. "Dukungan 15 persen suara jika melalui parpol itu bisa setara 7-8 persen jumlah penduduk," sebutnya.
Sebaliknya, Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad meminta ada persamaan persyaratan pencalonan dalam pilkada bagi calon dari partai dan perseorangan.
KPU DKI digugat
Secara terpisah, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmadja dan Biem Benjamin, bersama Mukhlis Abdullah dan Bob Ronaldi Randilawe, Kamis, menggugat KPU DKI Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatan, mereka minta pengadilan memerintahkan KPU DKI Jakarta menunda pilkada yang kini memasuki masa akhir kampanye. Dengan demikian, ada waktu bagi KPU untuk menyesuaikan diri dengan pencalonan perseorangan.
Firman Wijaya, kuasa hukum penggugat, menuturkan, gugatan itu diajukan karena KPU DKI Jakarta dinilai tidak punya itikad mematuhi putusan MK. Ini terlihat dari keputusan KPU DKI Jakarta untuk terus melaksanakan pilkada.
Atas gugatan itu, Ketua KPU DKI Juri Ardiantoro berkata, "Biarlah pengadilan yang membuktikan siapa yang benar dalam perkara ini." (har/mzw/vin/doe
/dwa/dik/mhf/nwo/ana)
Friday, August 03, 2007
Hanya Ada Calon Parpol Sebelum Revisi UU
Posted by RaharjoSugengUtomo at 10:49 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment