Friday, August 03, 2007

Bahasa: Kanon, Kanun, dan Qanun

KOMPAS - Jumat, 03 Agustus 2007

JOS DANIEL PARERA

Pengenalan makna sebuah kata sering berlangsung secara primitif, tidak perlu buka-buka kamus. Saya berkenalan dengan makna kanon ketika belajar bernyanyi di sekolah rakyat alias sekolah dasar. Para murid diajarkan belajar menyanyi bersahut-sahutan. Guru mengajak murid membawakan "Burung Kakatua". Kelompok pertama membawakan larik pertama burung kakatua, hinggap di jendela. Saat mereka menyanyikan larik kedua nenek sudah tua, giginya tinggal dua, datang kelompok kedua membunyikan burung kakatua, hinggap di jendela. Begitu seterusnya hingga terdengar sahut-sahutan antara grup pertama dan grup kedua di sepanjang lagu. Guru mengatakan kita bernyanyi kanon.
Ketika tentara datang, kami ketakutan karena mendengar bunyi meriam latihan perang. Guru mengatakan itu namanya bunyi kanon. Ketika belajar agama, baru saya tahu ada kanon atau peraturan baku dari gereja yang harus ditaati oleh umatnya. Baru ketika saya belajar linguistik, saya mengenal hukum kanon dalam bunyi bahasa Indonesia. Setiap bunyi vokal pada awal kata bahasa Indonesia akan didahului atau disertai dengan bunyi hamzah, misalnya anjing, ikut, ombak, ukur, elok. Oleh karena itu, di depan kata-kata tersebut tidak perlu diberi huruf hamzah. Sifat kanon disebut kanonik (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Pertama, 1988) atau kanonis (KBBI Edisi Kedua, 1991).
Di samping kanon terdapat kata kanun yang berarti (1) undang-undang; peraturan; kitab undang-undang dan (2) hukum; kaidah [KBBI (1988) halaman 387; KBBI (1991) halaman 442]. Saya tidak tahu apakah ada hubungan antara kanon dan kanun karena keduanya masih mempunyai hubungan makna umum yang berarti ’peraturan, kaidah, undang-undang’ walaupun kata kanon lebih banyak dipakai dalam hukum Gereja Katolik.
Dalam bahasa Indonesia terdapat saling silang antara bunyi /o/ dan bunyi /u/. Simak misalnya korban dan kurban, fondasi dan fundasi, yang tidak bersifat fonemis. Variasi ini tidak bersifat eksklusif dan sudah menjadi kata umum milik bersama.
Satu peristiwa kebahasaan muncul ketika dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dipergunakan qanun Aceh. Dalam undang-undang tersebut qanun Aceh didefinisikan sebagai "peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh". Qanun yang ditulis dalam huruf q tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Indonesia semacam KUBI, KBBI, dan sejenisnya.
Pertanyaan yang muncul ialah apa alasan menuliskan kata qanun dengan huruf q. Apakah kata qanun hanya dipakai secara eksklusif untuk pemerintah Aceh? Padahal, makna kata kanun yang ditulis dengan huruf k sama dengan makna qanun yang ditulis dengan huruf q.
Peristiwa kebahasaan ini mengharuskan pula penyusun kamus bahasa Indonesia memasukkan kata qanun ke dalam entri kata-kata dengan huruf q karena entri ini belum ada. Atau, kembalikan saja penulisan qanun ke dalam kanun.

JOS DANIEL PARERA Munsyi

0 comments: