Saturday, August 04, 2007

Amandemen Belum Pas

KOMPAS - Sabtu, 04 Agustus 2007

Parpol Besar Cenderung Tak Mendukung

Jakarta, Kompas - Langkah Partai Amanat Nasional yang mencabut dukungannya atas upaya perubahan UUD 1945 perlu diusung oleh partai politik lainnya. Upaya perubahan konstitusi dinilai belum waktunya karena masih banyak aturan konstitusi hasil amandemen sebelumnya yang belum diterapkan.
Peneliti senior CSIS, J Kristiadi, mengemukakan hal itu pada Jumat (3/8). "Jangan lagi diulangi kesalahan sebelumnya, di mana langkah amandemen terjadi karena terlalu reaktif terhadap suatu kejadian, misalnya Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945 soal penerimaan duta besar asing harus disetujui DPR. Hal itu kan muncul karena Pak Mantiri ditolak di Australia," ujar Kristiadi.
Kristiadi juga menilai keinginan amandemen Pasal 22 UUD 1945 kali ini, terkait dengan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lebih dimotivasi kepentingan subyektif dan agenda pihak-pihak di DPD sendiri.
Secara terpisah, Gubernur Lemhannas Muladi menyatakan telah memberi masukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hal itu. Menurut kajian Lemhannas, amandemen sebaiknya dilakukan setelah Pemilihan Umum 2009.
"Kita masih punya banyak masalah pelik yang harus diselesaikan lebih dahulu. Setiap kali sidang MPR biasanya menimbulkan implikasi politik dan sosial yang meluas," ujar Muladi.
DPD optimistis
Berdasarkan rekapitulasi terakhir, anggota MPR yang memberi dukungan pada Perubahan Pasal 22D UUD berjumlah 216 orang. Kekurangan ini terjadi karena sepuluh anggota F-PAN menarik dukungannya. Penarikan dukungan sebelumnya juga dilakukan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Sekjen Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan yang juga Ketua F-PAN di DPR menegaskan, fraksinya sejak awal mendukung penguatan DPD. F-PAN menarik dukungan karena melihat peta politik. "Kami sudah hitung-hitung. F-PG tidak dukung, F-PDIP juga tidak, F-PPP juga tidak, F-PD juga tidak. Kalau sidang pun, tidak akan ada putusan," ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, merasa prihatin dengan kondisi ini. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan partai tidak otonom dan cenderung melihat gerak partai lain dalam menentukan sikap. "Partai dan fraksi mengooptasi kebebasan individu di persidangan," ujarnya.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan, mayoritas rakyat menghendaki penguatan DPD. "Rasionalitas elite berbeda dengan rasionalitas publik," ujar peneliti LSI, Isra Ramli. Ia mengatakan, bila mengingkari aspirasi rakyat, partai bisa mengalami delegitimasi. (SUT/DWA/mam)

0 comments: