Tuesday, July 24, 2007

"Six Feet Under"

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Wajar para ilmuwan di Komisi Pemilihan Umum mengaku berjasa dan minta keringanan hukuman dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2004 tak gampang karena undang-undangnya rumit, melibatkan logistik bagi lebih dari 100 juta pemilih, dan prosesnya lama.
Permintaan itu bukan hal aneh karena setiap orang berhak melakukannya. Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti dan dua anggota KPU, Chusnul Mar’iyah dan Valina Singka, menemui Presiden Yudhoyono; Juni lalu mereka menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Betapa beruntungnya mereka punya akses ke ring satu, tak seperti narapidana lain. Status mereka sederajat dengan terpidana Tommy Soeharto, yang juga minta keringanan dan "diganjar" remisi demi remisi.
Berbeda misalnya dengan Badu atau Polan yang dipenjara karena mencuri ayam tetangga. Jangankan minta keringanan, mimpi bertemu RI-1 dan RI-2 pun mereka tak akan berani.
Ilmuwan KPU yang dipenjara karena korupsi, Ketua Nazaruddin Sjamsuddin dan para anggota Mulyana W Kusumah, Daan Dimara, Rusadi Kantaprawira, serta Safder Yusaac. Ramlan, Chusnul, Valina, dan puluhan karyawan KPU jelas tak korupsi.
Makanya aneh mengapa KPU sebagai lembaga—bukan terpidana—yang minta keringanan hukuman? Ramlan menjawab, "Yang berhak teman-teman kami di tahanan. Tetapi, karena ada kendala, antara lain soal waktu, kami memberikan bantuan dan dukungan."
Alasan itu masuk akal walau soal waktu bukanlah dalih yang tepat dalam proses hukum di sini yang biasa bertele-tele. Namun, ia secara tak langsung bisa ditafsirkan semua orang KPU ternyata ikut korupsi.
Praktik korupsi yang melibatkan pejabat belakangan ini makin tak beradab, makin tak masuk akal sehat, dan makin merajalela. Jika diibaratkan penyakit, korupsi bagai pasien yang sudah berbulan-bulan dirawat intensif di unit gawat darurat.
Pemberantasan korupsi juga terbukti tebang pilih. Jadi, siapa pun tak pantas lagi bermain di wilayah abu-abu dengan alasan konyol yang tak kenal logika hukum, terlalu mengada-ada, dan terkesan dicari-cari.
Ramlan, Valina, dan Chusnul tak perlu mencampuri urusan hukuman penjara Nazaruddin dan rekan-rekannya. Pemilu/Pilpres 2009 semakin dekat, lebih baik mereka konsentrasi mempersiapkan gawe nasional itu.
Jantung rakyat sempat deg-degan ketika persiapan logistik Pemilu 2004 kacau-balau sehingga pelaksanaannya nyaris tertunda. KPU sebaiknya belajar agar berbagai kesalahan tak terulang lagi daripada menepuk dada merasa berjasa.
Ramlan, Valina, dan Chusnul tak perlu ikut merasa berdosa gara-gara ulah Nazaruddin dan yang lain-lain. Solider kepada teman boleh, tapi bukan untuk hal-hal yang buruk.
Ambil perumpamaan Pemerintah RI mau ikut-ikutan berperan aktif dalam konflik internal di Irak setelah Presiden AS George W Bush berkunjung ke sini. Sejak awal RI menentang serbuan AS ke negara yang berdaulat itu, lalu kenapa mau kecipratan kesalahan Bush?
"Pengakuan dosa" KPU ini juga mengandung bahaya. Misalnya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri divonis penjara karena aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Lalu DKP sebagai lembaga juga minta keringanan dari Kepala Negara.
Maka, Departemen X tak mau kalah mau membela menterinya, begitu juga Komisi Y yang solider kepada ketuanya, atau Badan Z yang mau membela kepala badan. Tujuannya minta keringanan, yang terjadi malah peristiwa "ringan dan lucu" yang membuat rakyat terbahak-bahak.
Lebih lucu lagi rakyat bengong menyaksikan logika yang tak lagi menghargai hukum sebab-akibat ini. Seorang pejabat tak perlu takut vonis berat pengadilan karena korupsi, toh ia akan dibela mati-matian oleh instansi tempatnya bekerja.
Instansinya akan mencatat jasa-jasa sang pejabat. Itu pekerjaan mudah karena setiap pejabat merasa sudah berjasa kepada bangsa dan negara ini. Dengan modal itu ia bisa minta keringanan hukuman dari pejabat yang lebih tinggi.
Ia diberikan keringanan dan hitung punya hitung hukuman penjaranya tak berat dibandingkan hasil korupsi yang dipetiknya. "Ah, kalau untung banyak kayak begini, ya saya korupsi saja lagi," pikir si pejabat.
Sekarang saja sudah ada permintaan "perlakuan khusus" terhadap kepala daerah dalam pemeriksaan kasus korupsi. Salah satu perlakuan khusus, jika gubernur dimintai keterangan, aparat penegak hukum harus minta izin khusus dari Kepala Negara.
Di republik ini memang banyak orang berjasa. Mau mengurus KTP atau SIM, Anda mesti siapkan uang jasa.
Ingin bisnis lancar, tanam jasa dulu untuk keluarga penguasa.
Saking besar jasanya, anak dan istri penguasa Orde Baru menerima Mahaputra.
Mereka yang berjasa malah meninggalkan wasiat, kalau meninggal jangan dimakamkan di Kalibata. Berjasa atau tak berjasa, semua tak ada gunanya setelah manusia dikebumikan di bawah tanah.
Di bawah tanah, six feet under. Di bawah tanah tak ada keringanan hukuman, tak ada grasi, tak ada remisi.
Bahkan tak ada siapa-siapa. Semua gelap gulita.

0 comments: