Tuesday, July 24, 2007

Mengelola Golput Jakarta

KOMPAS - Selasa, 24 Juli 2007

Potensi golput dalam Pilkada Jakarta 2007 bisa mencapai 65 persen! Inilah salah satu hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang dilansir akhir pekan lalu. Ada baiknya kita tak serta-merta terkejut dengan angka yang dahsyat ini.
Angka itu dihasilkan dari penggabungan tiga kantong golput potensial di Jakarta. Mereka yang pada saat survei diadakan (14-16 Juli 2007) tidak terdaftar sebagai pemilih, 33 persen. Mereka yang terdaftar tapi ragu-ragu bahwa pilkada akan memperbaiki keadaan, 13 persen. Mereka yang tak tahu apakah terdaftar atau tidak serta tak yakin bahwa pilkada akan memperbaiki keadaan, 19 persen.
Walhasil, angka itu hanya menggambarkan "potensi golput" secara kasar dan sangat awal. Pengayaan informasi selama masa kampanye—yang dimulai enam hari setelah survei diadakan—bisa saja mengubah keyakinan 32 persen calon pemilih.
Karena itu, sangat boleh jadi, jumlah golput tak sebesar ramalan Lembaga Survei Indonesia. Tetapi, bagaimanapun, persoalan golput Jakarta tetap memerlukan perlakuan layak. Kelayakan inilah yang kerap terganggu oleh dua kemungkinan sikap ekstrem: patriotisasi berlebihan dan pengabaian semena-mena.
Menjadi hak
Di masa Orde Baru, memilih adalah kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban ini kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi. Menjadi golput pun merupakan patriotisme politik. Sebuah perlawanan bermakna.
Selepas Orde Baru, memilih tak lagi menjadi kewajiban, melainkan hak. Dalam konteks ini, menjadi golput pun menjadi hal biasa. Memilih atau tak memilih sama nilainya manakala dilakukan secara bertanggung jawab. Patriotisasi golput menjadi tak lagi relevan.
Celakanya, patriotisasi berlebihan inilah yang masih kerap ditemui. Golput digeneralisasi sebagai perlawanan-padu. Golput disemati identitas politik bahkan ideologi yang patriotik: pelawan kezaliman.
Patriotisasi berlebihan semacam ini mengidap masalah. Golput tidaklah mewakili sebuah kalangan atau kelompok politik homogen. Dalam konteks "memilih sebagai hak", golput mewakili sebuah spektrum luas dan beragam.
Ada golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah.
Ada juga golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
Ada pula golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan.
Sekalipun jumlahnya terbatas, ada pula golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Maka, memosisikannya sebagai sebuah gerakan politik yang homogen dan padu adalah berlebihan. Sikap ini hanya menggelar panggung bagi para pahlawan kesiangan.
Bersikap sebaliknya, mengabaikan golput seolah sama sekali bukan faktor politik, juga sama bermasalahnya. Menggeneralisasi golput semata sebagai kegenitan politik dan mengabaikannya bukanlah tindakan bijak. Menyeragamkannya sebagai ekspresi kalangan tak berkesadaran politik juga sama tak layaknya.
Gejala penting
Bagaimanapun, golput tak jatuh dari langit. Dalam batas tertentu, golput mewakili sebuah gejala politik penting (turunnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi, pemilu, partai, atau tokoh/kandidat), atau menggarisbawahi terjadinya kekeliruan penting seperti ketidakmampuan lembaga statistik, pemerintah, dan komisi pemilu dalam melakukan pendataan pemilih dan/atau sosialisasi tentang hal-ihwal pemilihan.
Kehadiran dan penguatan golput, apalagi jika jumlahnya makin signifikan, selayaknya diperlakukan sebagai alarm.
Dalam rentang waktu 2005-2007, umumnya pilkada di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota memang ditandai oleh tingkat partisipasi yang relatif lebih rendah dibandingkan pemilu 2004 (legislatif dan presiden).
Angka rata-rata golput pilkada mencapai 27 persen. Dalam pilkada kabupaten, rata-rata golput 25 persen. Dalam pilkada kota dan provinsi rata-ratanya mencapai 34-35 persen.
Ancaman golput yang relatif tinggi semacam itu menjadi salah satu tantangan Pilkada Jakarta 2007.
KPUD, partai-partai, para kandidat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat selayaknya menyikapinya sebagai salah satu tantangan yang perlu jawaban layak dan segera. Ancaman golput yang tinggi semestinya mendorong berbagai kalangan itu untuk melipatgandakan kerja.
KPUD mesti memperbaiki kerjanya untuk mempersempit kemungkinan kebocoran dan pencederaan hak-hak pemilih. Partai dan kandidat mesti mendekatkan isu dan program yang mereka tawarkan pada persoalan sehari-hari masyarakat dan pada pembelaan konkret hajat hidup orang banyak.
Kalangan LSM juga selayaknya tergerak ikut memfasilitasi terbangunnya pemilih maupun golput yang bertanggung jawab.
Yang penting disadari para pemilih dan calon golput Jakarta, ketika pencoblosan dilakukan pada 8 Agustus, pekerjaan sebagai warga Jakarta bukannya berakhir, tapi baru saja dimulai.
Terlepas dari besaran golput kelak, yang justru kerap absen dalam proses selepas pilkada adalah warga negara yang terus terjaga. Selayaknya hal ini tak terjadi di Jakarta.
EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

0 comments: