Friday, July 20, 2007

Kesejahteraan: Hidup Guru yang Terus Pinjam Sana-sini

KOMPAS - Jumat, 20 Juli 2007

Terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru…. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…. Engkau patriot pahlawan bangsa…, tanpa tanda jasa….

Syair lagu Himne Guru itu menggambarkan para guru untuk pasrah menerima nasib, bekerja tanpa berharap penghargaan yang layak. Padahal, nasib para guru kontrak dan guru bantu sekolah adalah yang paling mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Tak terkecuali nasib Lusi Rahmawati, seorang guru kontrak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gelam I, Desa Karundang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kabupaten Serang, Banten. Dalam satu bulan, perempuan berusia sekitar 32 tahun itu hanya menerima honor Rp 300.000.
Honor sebesar itu hanya cukup untuk ongkos dari rumah ke sekolah pergi pulang. Maklum, jarak rumah tinggal dengan tempat tugas guru kontrak itu sekitar 12 kilometer. Untuk menuju sekolah, ia harus tiga kali naik mobil angkutan umum dengan tarif Rp 6.000 untuk satu kali jalan. Jika dihitung, Lusi membutuhkan uang sekitar Rp 288.000 untuk ongkos transportasi per bulan (24 hari).
Agar lebih hemat, kadang-kadang guru lulusan madrasah aliyah negeri (MAN) itu menyewa tukang ojek untuk mengantar dan menjemputnya dari sekolah. Rata-rata tarif yang diminta tukang ojek Rp 7.000 per hari. Atau jika dibayar borongan selama satu bulan sekaligus, tarif antar-jemput ojek yang harus dibayar sekitar Rp 150.000.
Sisa uang honor milik ibu dua anak ini paling banyak hanya Rp 150.000 per bulan. Uang sebesar itu tetap saja tidak cukup menambah penghasilan suami, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sihabudin, sang suami, juga bekerja sebagai guru. Saat ini ia mengajar di SDN Banjarsari III, Kecamatan Cipocok Jaya, Serang. Dengan status guru bantu sekolah, sejak tahun 2007 ia mendapatkan honor Rp 710.000 per bulan.
Namun, sebelumnya, sejak diangkat sebagai guru bantu pada tahun 2003, ia hanya menerima honor Rp 460.000 per bulan. Bahkan saat masih menjadi guru kontrak dari tahun 1995-2003, pria lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu hanya menerima Rp 100.000 per bulan.
"Gaji saya dengan gaji istri hanya pas-pasan untuk hidup sehari-hari. Bahkan akhir-akhir ini, setelah harga-harga naik, kami kekurangan. Beberapa barang saya gadaikan ke orang lain, tanpa tempo," tutur Sihabudin.
Dalam satu hari pasangan guru tersebut harus mengeluarkan uang minimal Rp 20.000 atau Rp 600.000 untuk membeli beras, sayur, dan lauk-pauk sekadarnya. Itu belum termasuk untuk membayar listrik yang rata-rata Rp 50.000 per bulan serta kebutuhan lain, yaitu minyak tanah, minyak sayur, sabun, pasta gigi, dan kebutuhan rumah tangga lain.
Pada tahun ajaran baru seperti sekarang, Sihabudin dan Lusi hanya mampu membelikan satu setel baju seragam merah putih dan satu setel seragam Pramuka untuk anak bungsunya, Edi yang masuk sekolah dasar.
"Edi sampai ngambek karena cuma dibelikan satu setel seragam. Dia tidak bisa ganti baju selama empat hari berturut-turut," kata Sihabudin.
Untuk menambah penghasilan, guru kelas VI SDN Banjarsari III itu menjadi tukang pijat. Dia rela dipanggil untuk memijat meski harus menempuh jarak hingga belasan kilometer di daerah pantai utara Banten. Biasanya, Sihabudin mendapat upah Rp 20.000 untuk satu pasien pijat dan setiap minggu ia mendapat 3-4 pasien.
Sejak menikah pada tahun 1997, pasangan guru itu pun belum memiliki rumah sendiri. Selama 1997-2005 mereka tinggal di rumah dinas SDN Gelam I. Adapun sejak 2005 hingga sekarang mereka tinggal di rumah dinas guru SDN Banjarsari III.
Luas rumah dinas guru sekitar 2,5 meter x 5 meter, yang terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan depan yang seharusnya untuk ruang tamu dijadikan kamar tidur. Di rumah ini hanya ada satu tempat tidur untuk empat anggota keluarga. Ruang belakang dimanfaatkan sebagai dapur.
Tetap kurang
Nasib Kasniah, guru bantu SDN Kragilan VI, Serang, juga tak berbeda dengan pasangan Sihabudin dan Lusi. Sejak suaminya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 1990, guru lulusan sekolah pendidikan guru (SPG) itu menjadi tulang punggung keluarga. Dengan mengandalkan gaji guru, ia harus menghidupi suami dan tiga anak. Suaminya hanya bisa bekerja serabutan.
"Waktu suami terkena PHK saya masih guru kontrak di TK, dengan gaji cuma Rp 10.000-Rp 20.000 per bulan. Baru tahun 2003 saya diangkat sebagai guru bantu di SDN Kragilan VI dengan gaji Rp 460.000. Pada 2007 gaji naik menjadi Rp 710.000," tutur perempuan yang menjadi guru sejak 1985 tersebut.
Dalam sehari ia harus mengeluarkan uang minimal Rp 30.000 untuk uang transpor mengajar dan uang transpor kedua anaknya ke sekolah. Itu belum ditambah untuk kebutuhan makan dan minum, listrik, dan kebutuhan lainnya.
Bahkan untuk membayar uang daftar ulang sekolah kedua anaknya, ia terpaksa meminjam kepada orang lain. Namun, tetap saja kurang untuk bayar sekolah. "Anak saya yang pertama hanya sekolah sampai SMA. Kemarin anak saya yang ketiga masuk SMP harus bayar Rp 315.000, sedangkan anak yang di SMK Rp 650.000. Terpaksa pinjam sana-sini untuk menutupi karena kebutuhan sekolah, seperti alat tulis dan sepatu, juga masih harus dipikirkan," katanya.
Sihabudin, Lusi, dan Kasniah hanyalah tiga dari puluhan ribu guru berstatus kontrak dan guru bantu sekolah di Banten. Mereka sama-sama kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, hanya mengandalkan uang honor mengajar yang jauh di bawah nilai upah minimum kabupaten Serang, sebesar Rp 869.000 per bulan. (anita yossihara)

0 comments: