Tuesday, July 10, 2007

ANALISIS POLITIK: Mengejar Pujian

KOMPAS - Selasa, 10 Juli 2007

SUKARDI RINAKIT

Dua jam lebih kami duduk minum kopi, di sudut kota Hilversum, Belanda. Lelaki di depan saya itu adalah Prof Salim Said, duta besar kita untuk Ceko. Ia menanyakan persoalan politik yang sedang hangat di Tanah Air, lengkap dengan konfigurasi politiknya. Kami lalu mendiskusikan masalah itu dengan santun. Tanpa kritik, apalagi celaan.
Diskusi yang hangat dan netral, dengan sudut pandang prospektif-optimistis itu, meleleh perlahan saat saya masuk kamar hotel yang hangat. Telepon genggam yang tertinggal ternyata dipenuhi layanan pesan singkat (SMS) dari Jakarta. Pengirimnya macam-macam: jenderal, mantan menteri, tokoh partai, pengamat, aktivis, wartawan, anggota parlemen, dan lain-lain.
Merasa berkuasa
Bunyi SMS itu macam-macam, yang pasti, semua bernada pesimistis dan kesal dengan berlarut-larutnya masalah interpelasi Iran. Seorang anggota DPR, misalnya, dengan kecewa mengirim pesan, Presiden ternyata bukan sedang rapat konsultasi dengan DPR, tetapi pidato menyambut kemerdekaan Amerika Serikat di depan pimpinan DPR. Pengamat yang kritis umumnya berkomentar sama.
Seorang wartawan mengabarkan, Mbah Tardjo (Soetardjo Soerjogoeritno) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan walkout dari rapat konsultasi dengan Presiden. Ketika ditanya, Mbah Tardjo menjawab, "Saya kurang sehat. Kuping saya sakit!" Membaca SMS itu saya tersenyum.
Relasi Presiden dan DPR yang kurang mulus, khususnya setelah dipicu ketidakhadiran Presiden dalam interpelasi DPR menyangkut dukungan Indonesia terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1747 tentang Perluasan Sanksi terhadap Iran, terasa melelahkan. Drama politik tanpa skrip yang berjalan selama sebulan lebih itu menyita energi Presiden dan DPR.
Akibatnya, hak rakyat untuk hidup layak sebagiannya terambil secara paksa oleh pusaran arus hubungan panas mereka. Upaya mengurangi kemiskinan, pengangguran, mahalnya harga beras dan minyak goreng tersendat. Karena itu, jika elite peduli kepada rakyat dan tidak ingin membuat mereka tambah pesimistis, ketegangan politik karena interpelasi Iran harus segera diakhiri.
Presiden tak perlu memanggul waham merasa berkuasa karena dipilih langsung oleh 63 persen suara pada pemilu lalu. Memang tidak ada legitimasi sehebat ini. Namun, legitimasi itu bukan untuk sekadar menahan langkah Presiden datang ke parlemen. Sebaliknya, anggota DPR tidak perlu dikerangkeng oleh waham merasa berkuasa karena menjadi wakil rakyat. Posisi eksekutif dan legislatif adalah sejajar. DPR tidak perlu merasa "dikecilkan" oleh Presiden.
Sejauh ini harus jujur diakui, posisi sejajar kedua lembaga itu ternyata bukan menjadikan fungsi check and balances bekerja dengan baik, tetapi justru membuat mereka terserang penyakit angkuh. Presiden tahan gengsi untuk hadir di interpelasi; DPR karena merasa diremehkan Presiden, sikapnya menjadi mengeras.
Mengejar pujian
Keberadaan Presiden ataupun DPR adalah untuk kepentingan rakyat. Waham merasa berkuasa di setiap tarikan napas mereka sebaiknya ditekan sekecil mungkin. Di masa depan sebaiknya Presiden hadir jika diundang DPR untuk memberi penjelasan. Dengan begitu, masalah bisa cepat tuntas. Jika DPR terkesan mengada-ada, rakyat akan menghabisinya. Emosi rakyat jangan dibiarkan tak terkendali, hanya karena waham para pemimpinnya.
Jika emosi itu berlarut-larut dan menjadi akut, kemungkinan besar akan mengalir mengikuti pola ngalah-ngalih-ngamuk. Artinya, selama ini rakyat ngalah (mengalah) terhadap apa pun yang dilakukan elite politik terhadap mereka. Bahkan, mereka tidak keberatan untuk ngalih (menyingkir), termasuk mengungsi, agar tidak mengganggu ruang gerak elite. Namun kalau terus ditekan, akan tiba saatnya mereka ngamuk (mengamuk). Ibarat banteng terluka, ia akan menyeruduk siapa saja.
Oleh karena itu, agar gelombang gejolak sosial tidak terjadi, elite politik sebaiknya tidak hanya mengejar pujian kalau memang tulus bekerja untuk rakyat. Mereka harus bisa seperti ibu-ibu Jepang yang dengan sepenuh hati mempersiapkan masa depan anak-anak mereka melalui pendidikan. Daoed Joesoef menyebut mereka sebagai nurani cahaya di tengah pekatnya kegelapan. Sekecil apa pun nurani cahaya itu, ia tetap bermakna besar dan menggetarkan (Kompas, 7/7).
Politisi sebaiknya tidak ribut berlarut-larut seperti sekarang. Ketegangan politik sebulan lebih, apa pun alasannya, sudah lebih dari cukup. Khusus untuk Presiden dan orang-orang di lingkaran dalam Presiden, sebaiknya jangan terus-menerus terjebak pada politik pencitraan diri. Sampai saya gagap saat ditanya seorang petugas cleaning service tentang alasan Presiden naik kereta api ekonomi double-track Jakarta-Serpong.
"Mungkin Presiden ingin tahu denyut nadi dan penderitaan rakyat," jawab saya. Namun anak itu membantah dengan sopan, jika itu alasannya mengapa Presiden tak mau menemui korban lumpur Lapindo di Pasar Porong agar bisa benar-benar merasakan penderitaan pengungsi. "Jangan-jangan sekadar mburu aleman (mengejar pujian)," komentarnya. Saya pun terkesiap.
Sukardi Rinakit, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

0 comments: