Saturday, July 21, 2007

POLITIKA: Masih soal Tetris Lagi

KOMPAS - Sabtu, 21 Juli 2007

BUDIARTO SHAMBAZY

Persaingan di Asia semakin ketat karena Australia—kini anggota Zona Asia— menggunduli Thailand 4-0 di partai Grup A Piala Asia 2007. China tersingkir dari Grup C setelah dipecundangi Uzbekistan 0-3.
Timnas RI baru lolos ke putaran final Piala Asia 2007 atau setengah abad setelah turnamen dimulai. Menang pun baru satu kali, atas Bahrain 2-1, selebihnya kalah dan seri.
Di daftar peringkat FIFA edisi Kamis (19/7) timnas di urutan 127 dari 200 negara. Thailand di peringkat 107 dan Vietnam 117.
"Prestasi" timnas di Piala Asia 2007 mendapat kartu kuning terbanyak, yakni 15 buah. Adapun 15 negara peserta lainnya diganjar tak lebih dari sepuluh kartu kuning.
Rekor itu pertanda kebiasaan bermain kasar untuk menutupi kelemahan teknis. Logikanya, pemain tampil kasar karena mutu wasit liga buruk dan PSSI mencla-mencle dalam menegakkan aturan.
Pertandingan kasar membuat penonton emoh ke stadion, kecuali yang doyan rusuh. Liga yang kacau-balau awal dari prestasi timnas yang pas-pasan.
Pada masa lalu stamina kurang masih bisa disiasati, misalnya dengan peranan libero kelas Iswadi Idris atau Ronny Pattinarasani. Mereka pandai memainkan possession football, mengatur tempo, melancarkan serangan balik, dan melapisi pertahanan.
Mereka memainkan anti-football, tapi tak kasar dan sering menang. Setelah mereka, masih ada Rully Nere, Zulkarnaen Lubis, atau Fahri Huseini.
Tak ada lagi playmaker di tim asuhan Ivan Kolev. Penyerang tajam yang oportunistis, seperti Risdianto, Dede Sulaiman, Ricky Yakob, atau Widodo C Putra, jarang ada.
Sulit mengharapkan lahirnya timnas "serba bintang" yang nyaris lolos ke Olimpiade 1976—Malaysia lebih dulu ke Olimpiade 1972. Singapura mematok target lolos ke Piala Dunia 2010, timnas sulit jadi juara SEA Games Bangkok, Desember 2007.
Jangan perlakukan pemain nasional seperti serdadu Amerika Serikat yang dianggap "pahlawan" di Irak. Mereka pantang dikritik dan dijadikan alat pengobar nasionalisme sempit.
Ribuan anak bercita-cita mengenakan seragam merah-putih dengan lambang Garuda di dada kiri. Jadi pemain nasional kebanggaan besar yang menuntut tugas dan tanggung jawab berat.
Mereka tak punya pilihan kecuali "mati di lapangan" tanpa perlu diperintah. Mereka tak cuma dipuji, tapi boleh dikritik—apalagi kalau bermain kasar karena membuat malu.
Di lain pihak, mental mereka terbeban berat karena harus menang. Sementara masa depan atlet nasional nyaris tak pernah mendapatkan perhatian sekalipun kini didukung sorak-sorai yang memekakkan telinga.
Februari lalu mantan petinju Rachman Kili-kili bunuh diri di Talang Betutu, Palembang, karena depresi diabaikan pemerintah. Dua tahun lalu mantan petinju Ellyas Pical ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba di Jakarta Barat.
Pesenam Syaiful Nazar selama 12 tahun merebut 18 emas, 6 perak, dan 2 perunggu. Sebagian besar medali itu dijual untuk bertahan hidup.
Enceng Durachman, pembalap sepeda legendaris penyumbang emas dua kali SEA Games, hidup pas-pasan. Tati Sumirah, pebulu tangkis pahlawan Piala Uber, mengatakan, "Saya pikir saat dapat penghargaan kami dapat rezeki, tetapi enggak. Saya terima semua apa adanya."
Almarhum Gurnam Singh, perebut perak lari 10 km Asian Games 1962, hidup menggelandang sejak tahun 1990-an. Ia pernah jadi penjual tikar dan air.
Saking sebalnya, Iswadi dan para pemain pernah mengancam mogok main sebelum timnas bertanding melawan Korea Utara tahun 1976. Ronny terpaksa melego apa saja untuk menyelamatkan kedua putranya dari jeratan narkoba.
Mereka sering jadi pahlawan yang "habis manis sepah dibuang". Ponaryo Astaman dan rekan-rekannya harus paham "masa keemasan" pada hari-hari yang lalu hanya jadi alat persaingan tebar pesona belaka.
Perjalanan mereka masih panjang. Menurut saya, Pelatih Kolev dan para pemain jangan dibongkar pasang—pengurus PSSI yang layak digonta-ganti atau dirampingkan.
PSSI justru jadi bagian dari benang kusut persepakbolaan, bukan bagian dari solusi. Animo penonton yang membeludak di Stadion Utama Gelora Bung Karno berbanding terbalik dengan tekad PSSI bekerja serius.
Masyarakat tidak takut lagi datang ke stadion karena penonton mulai rasional. Perasaan senang dan tenang menyembul menyaksikan pendukung Persija Jakarta atau Arema Malang yang makin tahun makin tampil simpatik.
Akan tiba waktunya para penonton remaja tidak lagi fanatik buta membela Italia atau Manchester United. Dulu penggemar pernah memasang poster Anjas Asmara, meneriakkan keras "Kadir...Kadir!", atau berdecak kagum menyaksikan sundulan Jacob Sihasale.
Pahlawan banyak di antara kita, tetapi sayangnya pencoleng lihai lebih banyak lagi. Pahlawan tak pernah menampakkan wajahnya, pencoleng lihai nongol melulu di media massa.
Ingin tahu kenapa, Selasa lalu saya mengaku lebih senang ketiban balok tetris daripada ke Senayan? Soalnya kalau menonton, saya lebih sering ketiban sial.
Saya empat kali terkena lemparan batu dan beberapa kali nyaris dihantam tas plastik berisi air seni. Waktu timnas melawan Korea Selatan masih ada pembakar loket tiket, pelempar batu dan kantong air seni, serta perobek poster bertuliskan "Korea-Indonesia Friendship".
Namun, terima kasih telah jadi penonton yang tahu diri. Semoga lain kali saya tak ketiban sial, berani ke Senayan, dan ogah main tetris lagi.

0 comments: