Thursday, August 16, 2007

Cerita TKI di Korea: "Ngapain" Pulang, Saya Sudah Digaji Rp 10 Juta

KOMPAS - Kamis, 16 Agustus 2007

tjahja gunawan

Pada bulan Februari 2008, masa kontrak Syarif (29), salah seorang tenaga kerja Indonesia di Ansan, Korea Selatan, sudah tiga tahun dan akan segera jatuh tempo. Namun, ia tidak mau pulang.
Syarif tidak akan pulang ke kampung halamannya di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, jika tidak ada jaminan dari Pemerintah Indonesia terhadap dirinya untuk bisa kembali lagi bekerja di Korea Selatan.
"Loh ngapain pulang, saya sekarang sudah mendapat gaji 1 juta won per bulan (sekitar Rp 10 juta). Pulang ke kampung, belum tentu saya mendapat pekerjaan, malah mungkin nganggur. Mendingan di sini (Korsel), perusahaan sudah percaya sama saya. Kerja sudah enak, saya bisa nabung dan kirim uang ke Indramayu," ujar Syarif, ketika ditemui Kompas di sebuah Warung Indonesia di daerah Ansan, awal Agustus lalu.
Lain cerita Syarif, lain pula penuturan pasangan suami istri Udin-Ny Markesot (bukan nama sebenarnya). Keduanya sudah tinggal di Suwon sekitar 10 tahun. Dua sejoli yang sudah memiliki satu anak ini termasuk TKI yang sudah melewati masa tinggal di Korsel (overstay).
Anehnya, kedua warga Indonesia ini tidak dideportasi oleh Pemerintah Korea. Warga Indonesia khususnya TKI yang bekerja di Korea dikenal sebagai orang yang gampang diatur, tidak neko-neko, dan tidak malas seperti halnya tenaga kerja asal negara lain.
"Makanya, setiap ada operasi dari imigrasi Korsel, kami selalu ’dilindungi’ karena orang Korsel mengetahui benar karakter orang Indonesia," ujar Udin.
Namun, adakalanya para TKI ini justru kesal dengan ulah oknum pejabat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul terutama yang menangani paspor.
Para TKI ini sering dijadikan obyek oleh mereka yang ingin mencari keuntungan tambahan. "Masak pengurusan perpanjangan paspor di KBRI resminya 30.000 won bisa melonjak hingga 200.000 won. Untungnya pejabat tersebut sekarang sudah dipindahkan," ungkap Udin.
Tutup mata
Sebaliknya, petugas imigrasi di Korea justru sering "tutup mata" terhadap sejumlah TKI yang overstay. Meski secara administratif suami-istri itu bermasalah, mereka masih tetap bekerja di perusahaan kabel di Suwon.
"Malah kalau ada operasi ke pabrik, misalnya, TKI yang overstay diminta petugas imigrasi untuk keluar lebih dulu agar tidak terkena operasi," kata Udin.
Ia menyimpulkan, perusahaan dan Pemerintah Korea sebenarnya sangat membutuhkan tenaga kerja manual yang terampil, tetapi mereka juga membutuhkan pekerja yang baik dan bisa diatur.
"Masalah TKI sering terjadi pada saat pengiriman dari Indonesia karena banyaknya pungutan dan birokrasi di dalam negeri," ungkap Udin.
Sementara Syarif yang bekerja di Ansan datang ke Korsel tahun 2004 dan termasuk salah satu TKI yang mengikuti sistem government to government (G to G), yakni mekanisme pengiriman TKI yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara penempatan TKI, yakni Pemerintah Korsel.
Saat ini Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengirim sejumlah TKI lalu diterima oleh Pemerintah Korsel.
Selanjutnya, Pemerintah Korea menawarkan dan menyalurkan TKI kepada perusahaan Korea yang membutuhkan. Sebelumnya, pengiriman TKI dilakukan perusahaan swasta, tetapi sering menimbulkan banyak masalah.
Kuota TKI
Ditemui di sela-sela kegiatan Promosi Investasi yang diselenggarakan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Seoul, Korsel, 6-7 Agustus 2007, Duta Besar Indonesia untuk Korsel Jakob Tobing menjelaskan, kuota TKI yang bisa bekerja di Korea jumlahnya 9.000 orang, tetapi kuota tersebut belum bisa dipenuhi seluruhnya. Pasalnya, masih ada beberapa persoalan dalam proses persiapan dan pengiriman TKI dari Indonesia.
Salah satu persoalan adalah sogok-menyogok. Seperti dituturkan Syarif, temannya dari Indramayu yang sudah memiliki paspor, visa, dan tiket pesawat nyaris tidak bisa berangkat ke Korea karena ada TKI lain yang berani menyogok petugas hingga Rp 40 juta agar bisa bekerja di Negeri Ginseng ini.
Jakob Tobing bisa memahami kondisi TKI seperti itu, namun yang ditangani KBRI di Seoul lebih pada manajemen kedatangan TKI. Di Korsel TKI lebih dihargai, tetapi di negeri sendiri mereka justru disia-siakan. Bahkan, para TKI sering dijadikan obyek pungutan liar oleh sejumlah petugas, padahal mereka termasuk kelompok "pahlawan devisa". Duh, malangnya nasib TKI.

1 comments:

Unknown said...

Iku .masih ana bae ora Di apus apa us ke it jam an yuyani