Wednesday, August 29, 2007

Fenomena Alam: "Nonton" Bareng Gerhana Bulan Total

KOMPAS - Rabu, 29 Agustus 2007

Yenti Aprianti
Dulu, banyak orang, terutama ibu hamil, bersembunyi di kolong tempat tidur atau di bawah meja saat gerhana bulan. Kini, orang justru menonton fenomena alam itu, seperti yang digelar Stasiun Pengamat Dirgantara di Sumedang, Jawa Barat, Selasa (28/8).
Acara nonton bareng gerhana bulan total di Stasiun Pengamat Dirgantara yang terletak di kawasan pertanian ubi Cilembu, Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, itu adalah yang kedua sejak Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu mengadakan acara nonton bareng untuk masyarakat pada tahun 2003. Pada tahun itu, planet Mars berada pada titik terdekat dengan Bumi.
Untuk mengajak masyarakat menikmati fenomena alam yang indah itu, sejak beberapa hari lalu Kepala SPD Bambang Suhandi sudah membuat pamflet sederhana. Ternyata animo masyarakat sangat luar biasa.
Baru saja difotokopi, pamflet itu sudah jadi rebutan warga. Malah, para tukang fotokopi itu dengan sukarela memperbanyak pamflet dan membagikannya kepada warga. Para pegawai SPD juga menyebarkan pamflet ke masjid-masjid dan sekolah di sekitar Jatinangor dan Sumedang.
Tak heran kalau sejak Selasa pagi banyak orang berdatangan ke SPD untuk minta izin nonton bareng gerhana bulan total bersama para pengamat benda angkasa dari Lapan. Mereka bukan hanya kalangan akademisi atau pencinta benda-benda angkasa, tetapi sebagian besar dari mereka justru para peternak sapi perah, petani ubi, dan penambal ban yang datang bersama keluarga.
"Selain mendapat pengetahuan tentang alam, masyarakat juga bisa rekreasi mengamati gerhana," kata Bambang tentang banyaknya masyarakat yang datang nonton bareng gerhana itu.
Penonton gerhana tak hanya datang dari sekitar lokasi SPD, tetapi juga dari Kota Bandung dan sekitarnya. Umumnya, mereka adalah masyarakat yang tidak kebagian mengantre di Observatorium Bosscha, Lembang.
SPD yang berdiri di atas lahan seluar 1,4 hektar itu mampu menampung sekitar 300 orang. Acara nonton bareng itu digelar pukul 17.00-20.00. SPD menyediakan 10 stafnya untuk melayani peserta mengamati gerhana lewat tiga kubah yang dilengkapi teropong.
Karena banyaknya peserta yang mengantre, setiap orang hanya bisa menikmati fenomena alam itu dua atau tiga menit. Pengunjung yang ingin memiliki gambar peristiwa gerhana bulan total juga bisa mengopi datanya pada flash disc.
Di tempat lain
Acara nonton bareng juga dilakukan 40-an murid dari SMP Sekolah Alam Dago Bandung di Bukit Dago, Bandung. Mereka bahkan sengaja berkemah di tempat yang tinggi dan lapang itu untuk bisa menyaksikan gerhana bulan total.
Mereka dipandu oleh komunitas astronomi amatir Langitselatan.com, yang beberapa anggotanya merupakan alumni Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung. Sekitar pukul 18.18 gerhana bulan sudah tampak berupa sabit bentuk merah. Keindahan alam tersebut tertutup sedikit awan sehingga anak-anak yang mengantre menggunakan teropong pun berseru, "Mana sih Bulannya?"
Sedetik kemudian, Nunu (12), siswa Sekolah Alam, pun berseru, "Wah, keren," ujarnya yang baru kali ini menyaksikan gerhana bulan total di arah timur.
Di Yogyakarta, masyarakat juga bisa menyaksikan gerhana bulan dengan jelas, mulai dari awal sampai akhir karena langit sejak Selasa siang hingga malam cukup cerah. Di dalam kota, pemandangan itu terhalang gedung-gedung, tetapi di sepanjang Jalan Solo, fenomena itu justru sangat jelas.
Banyak juga warga yang sengaja menyaksikan gerhana dari pelataran Candi Prambanan. Dari pelataran sebelah barat, misalnya, proses terjadinya gerhana terlihat sangat menarik dengan latar depan tiga candi—Brahma, Siwa, dan Wisnu—yang menjulang megah serta beberapa candi kecil dan bekas reruntuhan yang ada. Apalagi tubuh ketiganya tersinari terang lampu sorot berwarna kekuningan.
Di sini suasana masa silam masih terasa dengan terdengarnya bunyi kentungan dipukul bersahut-sahutan di kejauhan. Dalam kepercayaan Jawa masa lalu, memukul kentungan saat gerhana bulan sama dengan mengusir Batara Kala.
Gerhana, dalam tradisi Jawa dimaknai dengan dimakannya Bulan atau Matahari oleh Batara Kala (sang waktu). Itulah sebabnya banyak perempuan hamil sengaja bersembunyi saat terjadi gerhana supaya anak dalam kandungannya selamat.
Suasana lain di Prambanan adalah terdengarnya suara gamelan dipukul bersamaan dengan hilangnya bayangan gelap yang menutup permukaan Bulan, pukul 19.30. Ini tak terkait dengan tradisi dan kepercayaan Jawa, tetapi karena saat itu bersamaan dengan dimulainya pentas sendratari Ramayana yang digelar di kompleks taman wisata Candi Prambanan.
Suasana muram terjadi di Jayapura. Masyarakat yang semula sangat antusias untuk bisa menikmati gerhana harus kecewa. Awan tebal menghalangi sehingga fenomena alam itu sama sekali tak bisa dinikmati di wilayah itu. Padahal, "Papua merupakan salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan gerhana bulan kali ini," kata Pelaksana Harian Kepala Kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Jayapura Ahmad Mujahiddin. (WER/ROW)

0 comments: