KOMPAS - Kamis, 26 Juli 2007
Andy Riza Hidayat
Berbuat jujur memang tidak mudah karena tak selamanya kejujuran berujung manis. Kejujuran kerap membentur tembok besar yang akhirnya hanya menyisakan kepahitan.
Gambaran itu tergurat di raut wajah belasan guru dari 27 guru anggota Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang menghadapi pemberhentian dan pengurangan jam mengajar. Ternyata melaporkan dan menolak terlibat kecurangan justru mengantarkan mereka sebagai pecundang.
Dina Andriani Siregar (26) salah satu dari belasan guru yang mendatangi Kantor Kompas, Senin (23/7) sore. Kepedihan Dina terasa lebih dalam daripada para guru lain. Guru muda lulusan Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan (Unimed), Sumatera Utara, itu tak bisa mengajar untuk tahun ajaran 2007-2008.
Ia lebih muda dari guru yang lain. Maklum, baru satu setengah tahun mengajar di Yayasan Perguruan Methodist Tanjung Morawa, Deli Serdang. Pemberhentian dirinya dari kegiatan mengajar yang tanpa ada alasan itu tak bisa diterima Dina.
Sebagai guru muda, Dina sudah sekuat tenaga berusaha menjadi guru yang baik sesuai ilmu yang diperoleh di kampus. Kenyataan bicara lain. Sekolah tidak lagi memakainya sebagai tenaga pengajar. Lebih pahit lagi, pengumuman itu disampaikan menjelang tahun ajaran baru.
Perempuan lajang itu pun tak sempat melamar pekerjaan ke tempat lain. Namun, niatnya menjadi guru tetap terjaga. Dua lamaran telah dilayangkan ke lembaga pendidikan lain.
Dina dan 26 guru itu adalah yang melaporkan kecurangan dan menolak terlibat kecurangan selama ujian nasional, April lalu. Kecurangan yang diduga kuat dilakukan secara sistematis terbukti ada di Medan dan daerah lain di Sumut.
Tolak
Dina mengingat-ingat kesalahan yang mungkin pernah dibuatnya. Sambil menggeleng- gelengkan kepala, ia berkata, dirinya tidak membuat kesalahan fatal. Bahkan, sebelum dipecat, Dina mengajar 33 jam seminggu. Ia bahkan sempat dipercaya mewakili sekolah mengikuti pelatihan guru se-Sumut
Kalau bisa disebut kesalahan, Dina yang berasal dari Pangaribuan, Tapanuli Utara, itu menduga keterlibatannya dalam KAMG. Sebelum ujian nasional berlangsung, sekolah memintanya hadir saat ujian nasional. Permintaan itu dirasa aneh karena guru bidang studi yang diujikan tidak boleh hadir kala ujian berlangsung. Rupanya sekolah memintanya menjadi salah satu tim sukses. Dina menolak.
Sejak itu namanya masuk dalam "daftar hitam" guru di SMA Methodist Tanjung Morawa, Deli Serdang. Di sekolah tersebut, terdapat tujuh nama yang mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Mereka adalah Palti, Eflina, Roida, Naina, Natalius, Rive (Rivenaun Panggabean), dan Dina. Tujuh nama itu pula yang tersebar dalam SMS orang-orang yang harus disingkirkan di Yayasan Perguruan Methodist Tanjung Morawa.
Lain lagi yang dialami Rivenaun Panggabean (32), rekan kerja Dina. Rive kini hanya dijatah 10 jam mengajar dari yang sebelumnya 30 jam.
"Status wali kelas saya juga dicabut. Saya tidak pernah menerima alasan dari sekolah mengapa ada keputusan ini," tutur Rive yang mengajar selama tujuh tahun. Sama halnya dengan Dina, pada saat ujian nasional berlangsung Rive memberanikan diri bersikap jujur. Saat itu dia menarik dua lembar jawaban yang diedarkan guru di tempatnya mengawas di SMA Desa Maju, Desa Negara, Kecamatan Tanjung Morawa. Pihak sekolah diwakili Kepala Sekolah P Silitonga mengatakan, pengurangan jam mengajar bisa terjadi pada siapa pun, sesuai dengan standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Dina dan Rive merasa sendiri. Beban yang menimpa mereka hanya bisa disampaikan ke teman-temannya di KAMG.
Dina, Rive, dan guru yang tergabung dalam KAMG menunggu uluran tangan pemangku keputusan. DPRD Sumut, yang pernah memediasi pertemuan antara pihak yayasan, para guru, dan dinas pendidikan, diharapkan mencarikan solusi.
Dalam pertemuan yang berlangsung 4 Juli 2007 itu disepakati, tidak akan ada sanksi bagi guru pelapor kecurangan ujian nasional. Namun, hingga hari ini mereka belum bertindak. "Wakil rakyat yang berasal dari kampung kami mencibir kami ini komunitas air mata buaya," kata Rynaldi A Gultom, guru SMP Tri Murti Medan.
Ketua Komisi E DPRD Sumut Timbas Tarigan membenarkan adanya kesepakatan perlindungan bagi guru itu. Hanya saja, DPRD secara resmi belum menerima informasi soal guru yang menerima sanksi.
Dalam konteks ini, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyatakan tetap memberi perlindungan kepada sejumlah guru di Medan yang mengalami tekanan pascapembongkaran kasus ujian nasional beberapa waktu lalu.
Untuk perlindungan para guru tersebut, ia mengatakan, panduannya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. "Perlindungan itu kemudian merujuk pada aturan yang berlaku. Pegawai negeri sipil mengikuti ketentuan perundangan untuk pegawai negeri sipil. Untuk guru swasta disesuaikan dengan kontrak kerja yang mengikat hubungan kerja antara guru dan penyelenggara satuan pendidikan," ujarnya.
Fasli mengatakan, "Kami tidak akan membiarkan para guru itu sendiri. Pasti akan dilindungi. Departemen Pendidikan Nasional telah bekerja sama dengan LKBH di 33 provinsi," ujarnya. (INE)
Thursday, July 26, 2007
Harga Diri: Kejujuran yang Berujung Pemecatan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:12 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment