Saturday, July 28, 2007

"Indy..., Indy..."

KOMPAS - Sabtu, 28 Juli 2007

Tak ada alasan menolak kehadiran caper (calon perseorangan) pada Pemilu/Pilpres 2009. Soalnya, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan Nomor 5/PUU-V/2007 yang membolehkan caper ikut pilgub. Terbuka pulalah peluang bagi para caper untuk ikut pilpres.
Banyak caper berminat mengajukan diri jadi capres, calon wapres, dan calon anggota DPR/DPRD tahun 2009. Pemilu/Pilpres 2009 akan meriah seperti pasar malam.
Masih ada waktu dua tahun untuk bersiap agar capres, calon wapres, dan calon anggota DPR/DPRD kategori caper beraksi tahun 2009. Kini saja telah banyak caper siap bertarung di pilgub berbagai provinsi.
Agar lebih afdal, ada caper mau membentuk partai lokal, bahkan ada yang minta Pilgub DKI ditunda agar Sarwono Kusumaatmadja (mantan Golkar) atau Faisal Basri (bekas PAN) bisa ikut.
Eksekutif maupun legislatif pusat dan daerah, KPU dan KPUD, wajib bekerja kayak "semut hitam". Ingat, jajak pendapat membuktikan mayoritas rakyat muak kepada partai dan rindu kehadiran caper.
Hanya sekitar seperempat negara di dunia yang membentuk Mahkamah Konstitusi (MK). Inilah the court of last resort yang berwibawa jika mengeluarkan "fatwa" berdasarkan, antara lain, pengaduan rakyat yang hak konstitusionalnya diabaikan.
Sukses caper ikut pilgub diawali permintaan uji materi oleh Lalu Ranggalawe, anggota DPRD di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia ingin ikut Pilgub NTB karena partainya, Partai Bintang Reformasi, ogah mencalonkan dia.
Kutipan Putusan MK memuat naskah "Pendirian Mahkamah" 24 butir yang memperkuat dalil bahwa Lalu boleh ikut pilgub. Dari 24 butir itu, 11 butir menyebut "UU Pemerintahan Aceh" sebagai rujukan.
Mengapa Aceh? Pasalnya, pilgub di Aceh dimenangi caper Irwandi Yusuf, bekas pemberontak GAM yang kabur dari bui saat tsunami.
Pilgub di Aceh "proyek percontohan" yang sukses yang patut ditiru 32 provinsi lainnya. UU Pemerintahan Aceh ibarat asam di gunung, uji materi Lalu garam di laut, dan mereka bersua di kuali MK di Ibu Kota.
Di lain pihak putusan MK tak memakai cara berpikir deduktif atau kurang logis. Kekhasan kondisi di Aceh pascatsunami yang hanya bersifat sementara malah dijadikan referensi—bukannya diralat.
Andaikan uji materi diajukan puluhan caper "murni" (bukan yang bété' pada partai) yang ingin ikut pilgub di mancaprovinsi, ceritanya akan lain. Di republik ini banyak politisi pengeluh, pura-pura jadi korban, atau gemar tebar pesona.
"(Lalu) tak yakin akan dicalonkan karena, menurut dia, partai jadi komoditas yang diperjualbelikan," kata Hakim Konstitusi Dewa G Palguna yang mengajukan pendapat beda (dissenting opinion).
Keputusan MK yang berdasarkan inductive reasoning kurang mendidik. Saya khawatir rakyat makin apatis karena caper tak berideologi, tanpa program, tak punya laporan keuangan, enggak ada pengurus atau anggota resmi, tak pernah bikin kongres, dan tak mempraktikkan akuntabilitas.
Saya yakin capres yang memakai jalur caper tahun 2009 eks politisi-politisi "obralan" yang tak laku lagi di partai. Lima pasang capres/calon wapres tahun 2004 sudah bikin puyeng kepala, apalagi ditambah sepuluh dari jalur caper.
Mereka akan memobilisasi massa mengambang yang tak terorganisasi, seperti petani, guru, atau pengendara motor. Golongan yang terakhir ini, menurut data 2004, jumlahnya mencapai tiga juta di Ibu Kota.
Pada Pilgub DKI tahun 2012 pengendara motor, jika diorganisasi, jadi lumbung suara bagi cagub jalur caper. "Motor tak perlu masang lampu lagi, boleh naik trotoar, dan saya ganti busway dengan ’motorway’," kata cagub versi caper waktu kampanye.
Soal lainnya, para saksi ahli uji materi jangan cuma dari akademisi yang procaper kayak Harun Alrasyid, Ibramsyah, Syamsudin Haris, dan Arbi Sanit. Pada masa datang MK mengundang pula mereka yang berseberangan supaya fatwa yang dikeluarkan lebih adil.
Cerita sepihak cuma jadi ajang penudingan terhadap partai sebagai kambing hitam. Padahal, PNI (1927) nenek moyang PDI-P, cikal bakal Golkar telah ada sejak akhir 1950-an, dan Sarikat Dagang Islam jadi pelopor perjuangan nasional pada awal abad ke-20.
Entah kenapa kebiasaan menyalahkan makin merajalela. Kalah main bola menyalahkan wasit, pesawat enggak aman menyalahkan Uni Eropa, "fenomena alam" jadi penyebab banjir di Jakarta Februari lalu.
Sekali lagi, "Tangkaplah tikusnya, jangan bakar rumahnya". Partai, ya, partai meski banyak politisi tak tahu malu—termasuk politisi jalur caper.
Belakangan ini MK sering menganulir UU yang dirumuskan susah payah oleh eksekutif dan legislatif. Berapa miliar rupiah uang diboroskan gara-gara uji materi, amandemen, pansus, sampai lobi dalam proses hukum selama zaman edan ini.
Satu lagi, saya bingung dengan istilah "perseorangan" karena politisi, dengan atau tanpa partai, memang berujud orang yang nama atau fotonya dicoblos di TPS. Itu istilah olahraga yang membedakannya dengan "beregu". Misalnya "kuda-kuda lompat perseorangan putri" di senam atau "gaya punggung perseorangan putra" di renang. Saya baru dengar "perseorangan" karena dunia politik cuma kenal "independen" yang disingkat "indie".
Ada musik indie, fashion indie, atau film indie. Saya suka berkhayal jadi Indiana "Indy" Jones yang ganteng, bercambuk, berpistol, dan jago berkelahi.
Apalagi kalau cewek-cewek berteriak minta tolong, "Indy..., Indy...." Wuih, keren abis!

0 comments: