Saturday, July 28, 2007

Revisi UU Harus Jadi Prioritas Pemerintah Akan Temui DPR

KOMPAS - Sabtu, 28 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Dibukanya peluang calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah berpotensi memicu sengketa dan konflik horizontal. Karena itu, Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus jadi prioritas, bahkan harus lebih diprioritaskan ketimbang pembahasan rancangan undang-undang paket bidang politik.
"Potensi konfliknya luar biasa. Salah satu calon yang kalah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa menggugat karena, misalnya dalam Pilkada DKI Jakarta, calon perseorangan belum diberi kesempatan," ujar pengamat politik dari Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, pada "Diskusi Dialektika Demokrasi" di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (27/7).
Untuk mencegah konflik dan menghindari kekosongan hukum yang terlalu lama, kata Maswadi, DPR harus membahas revisi UU No 32/2004 dengan cepat. Jangan lebih dari satu bulan, apalagi yang diubah hanya dua pasal. "Kalau DPR mau, satu minggu pun bisa selesai," ucapnya.
Aturan lebih teknis dan rinci bisa dalam peraturan pemerintah (PP) yang juga harus diselesaikan segera. Pemerintah juga perlu membuat penegasan, selama calon perseorangan belum diatur, pilkada berjalan seperti biasa.
Di Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan, untuk tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang adanya calon perseorangan dalam pilkada, pemerintah akan membahasnya dengan DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Saya sudah berjumpa dengan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Dari dua agenda yang kami bicarakan, satu di antaranya adalah tentang putusan MK. Posisi pemerintah sangat jelas, kami tidak dalam kapasitas untuk menolak putusan itu karena diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945," kata Hatta.
Keberanian Presiden
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR Lukman Hakim Saifuddin tak habis pikir dengan putusan MK itu. Sebab, katanya, MK tak memberi tenggang waktu bagi pembuat UU untuk merevisi UU, seperti saat memutuskan dalam soal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq menambahkan, revisi UU No 32/ 2004 lebih baik dilakukan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Jika melalui mekanisme revisi UU, ia memperkirakan hal itu memakan waktu sekitar satu tahun.
Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan tidak setuju pengaturan calon perseorangan itu melalui perpu karena tidak ada sesuatu yang bersifat memaksa dan mendesak.
Namun, di sela-sela peringatan Hari Lahir Ke-9 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Jumat, Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB Muhaimin Iskandar menilai persoalan calon perseorangan dalam pilkada akan memicu konflik dan persoalan baru di daerah kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera mengeluarkan perpu untuk memfasilitasinya.
"Calon independen harus ditindaklanjuti dengan perpu karena tuntutan yang muncul nanti dalam pilkada di beberapa daerah akan menciptakan suatu kondisi (kegentingan) memaksa. Tetapi, kalau Presiden enggak berani, ya, terpaksa menunggu revisi UU," ujar Muhaimin.
Keberadaan perpu terkait calon independen mendesak. Namun, Muhaimin mengakui pula, ketentuan soal penentuan hal ihwal kegentingan memaksa untuk prasyarat melahirkan perpu itu tetap ada di tangan Presiden.
Seperti diberitakan, masa jabatan Gubernur Maluku Utara berakhir 25 November 2007. Proses pilkada saat ini berlangsung dengan tanpa calon perseorangan. Sejumlah kalangan menghendaki adanya calon perseorangan, seperti juga dalam pilkada di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang digelar 9 September mendatang. Namun, KPU Maluku Utara dan KPU Cilacap menutup peluang calon perseorangan itu.
KPU bertanggung jawab
Di Jakarta, Jumat, ahli hukum tata negara A Irmanputra Sidin mengingatkan, KPU adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menindaklanjuti putusan MK. Putusan MK jelas menegaskan KPU bisa menjembatani pengaturan calon perseorangan dalam pilkada itu dengan mengacu pada UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Jika KPU mau, peraturan KPU bisa dibuat cepat dan dapat langsung diimplementasikan tanpa harus menunggu revisi UU Pemerintahan Daerah atau penerbitan perpu. "Jangan diarahkan ke Istana (Presiden) atau Senayan (DPR), tetapi ke Imam Bonjol (KPU Pusat)," ungkap Irmanputra, yang juga asisten hakim konstitusi itu, dalam diskusi di Gedung DPD, Jakarta.
Mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan UU tentang Penyelenggara Pemilu Saifullah Ma’shum berpendapat, dalam konteks tindak lanjut putusan MK, lembaga paling berkompeten membuat aturan adalah KPU. Perpu bisa saja ditolak DPR. Karena itu, KPU harus didorong untuk mengambil peran membuat aturan tersebut.
Namun, baik Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti maupun anggota KPU Valina Singka Subekti berpendapat, pengaturan persyaratan calon perseorangan dalam pilkada adalah substansi UU sebagaimana pengaturan calon dari partai politik atau gabungan parpol. KPU adalah pelaksana UU dan peraturan KPU dibuat dalam rangka implementasi UU.
KTP menyulitkan
Ketua KPU Sumatera Utara Ilham Buana menilai, meski putusan MK menyebut KPU bisa mengambil kewenangan mengatur calon perseorangan dalam pilkada, jika pemerintah lamban, KPU pasti berpikir dua kali untuk melakukannya. KPU lebih baik menunggu pemerintah.
Ilham juga memperkirakan calon perseorangan di Sumut akan bermunculan. Dalam diskusi beberapa saat lalu muncul wacana agar syarat calon perseorangan sama dengan calon dari partai, yakni 15 persen dari suara yang sah dalam pemilu. Kalau ini dilakukan, calon perseorangan dan KPU bakal kerepotan mencari dan memverifikasi dukungan yang berupa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP). "Itu usulan tak rasional," katanya.
Merujuk pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mewajibkan calon perseorangan memiliki dukungan minimal tiga persen dari jumlah penduduk, di Sumut setiap calon perseorangan akan membawa sekitar 350.000 lembar fotokopi KTP, dengan asumsi 8,2 juta pemilih. Proses verifikasinya sangat merepotkan. (SUT/DIK/DWA/OSD/WSI)

0 comments: