Friday, July 06, 2007

Korban Lumpur: Tak Ada Senyum di Tahun Ajaran Baru

KOMPAS - Jumat, 06 Juli 2007

Maruli Ferdinand

Lilik (34) menatap kosong ke arah Yusri (14) yang tertidur pulas di dalam sebuah blok Pasar Baru Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (5/7) siang. Televisi yang menayangkan sebuah sinetron dibiarkannya menyala.
Sesekali Lilik menatap sepatu hitam bermotif gambar tengkorak warna merah milik Yusri. "Sepatu ini tidak boleh dipakai di sekolahnya," keluhnya.
Akibatnya, suatu hari ketika memakai sepatu yang katanya sedang jadi tren di sekolahnya itu, si guru menyuruh Yusri melepaskan sepatu itu. Yusri pun harus pulang ke pasar bertelanjang kaki, berjalan kaki. Padahal jarak dari SMP 2 Jabon, sekolah Yusri, ke Pasar Baru Porong cukup jauh. Esok harinya, ia memakai sepatu hitam lama yang butut dan hampir bolong di sana-sini, sampai sekarang.
Sepatu bukan satu-satunya keluhan Lilik menjelang tahun ajaran baru sekolah. Masih setumpuk masalah yang ada di benaknya untuk kebutuhan sekolah Yusri: seragam sekolah, buku pelajaran, juga uang pendaftaran. Totalnya, ia harus membayar Rp 163.000 saat hari pertama Yusri masuk sekolah. Tahun ini Yusri naik kelas II SMP.
Sejak lumpur panas menenggelamkan rumahnya di Desa Renokenongo, kehidupannya berubah, termasuk penghasilannya yang menjadi lebih rendah. Lumpur itu merembes beberapa hari setelah pipa gas Pertamina meledak akhir tahun lalu.
Lilik dan suaminya, Nasron (39), dulu boleh dibilang orang berada di desanya. Nasron menjalankan bisnis sebagai pemasok bahan material bangunan ke berbagai toko di Sidoarjo. Ia punya satu truk pengangkut bahan-bahan tersebut dari Pasuruan. Lilik punya setengah hektar sawah, warisan orangtuanya, yang digarap para tetangga.
Saat itu Nasron bisa mengantongi Rp 400.000-Rp 500.000 per minggu. Belum lagi penghasilan tambahan dari panen sawah. Dari hasil itu, mereka bisa menabung.
Namun, sejak tinggal di pengungsian, seluruh hidup mereka berubah total. Pesanan bahan material kepada suaminya turun drastis, seiring lesunya pembangunan di Sidoarjo. Lahan garapan milik Lilik juga sudah tergenang lumpur.
Lilik pun menangis ketika sebulan lalu Yusri dengan malu-malu minta uang Rp 30.000 ke ibunya untuk bisa ikut karya wisata bersama teman-teman sekolahnya ke Malang.
"Saya terharu karena anak saya mengerti kondisi kami sekarang," ujarnya. Untuk menyenangkan hati Yusri, Lilik menjual enam kardus air mineral yang dikumpulkannya setiap mendapat jatah makan dari dapur umum. Enam kardus itu terjual Rp 36.000. Yusri pun bisa ikut karya wisata ke Malang.
Putus sekolah
Dengan kondisi seperti itu saja, Lilik mungkin lebih beruntung dari Anis (32) yang benar-benar tidak punya tabungan. Kusnoto (37), suaminya, kehilangan pabrik kerajinan rotan miliknya karena terendam lumpur. Padahal, Andri (12), anak tertua pasangan itu, akan masuk SMP. Penghasilan Kusnoto yang kini menjadi juru parkir di Pasar Porong tak bisa memenuhi seluruh biaya sekolah anaknya. Belum lagi, biaya sekolah anak keduanya, Novita (4), yang naik ke kelas IV SD.
Kamis kemarin Andri sedang bermain dengan teman-temannya. Novita bersama ayahnya menonton televisi di "rumah pengungsian" berukuran 3 meter x 2 meter, yang hanya berdinding kain putih dan berpintu kain batik. Sesekali ia mengambil kerupuk yang ada di dalam kaleng biskuit bekas.
"Aku masih pengin sekolah," katanya malu-malu.
Terganggu
Belajar di pengungsian juga tidak senyaman di rumah sendiri. Selain nyamuk, anak-anak itu mudah sekali tergoda dengan suara televisi atau radio tetangga, apalagi kalau tiba-tiba ada teman yang mengajak bermain. Dalam sekejap, mereka keluar rumah dan meninggalkan buku pelajaran yang dibiarkan tergeletak. Suara televisi dan suara-suara gaduh lain dengan mudah bisa didengar para pengungsi yang setiap rumahnya hanya dibatasi kain putih itu.
Suasana seperti itu juga dirasakan Santi (12), yang naik kelas VI di SD Renokenongo II. Suara televisi dan radio dari tetangga membuatnya tak lagi nyaman belajar. Ketika masih tinggal di rumah sendiri, Santi punya kamar sendiri, lengkap dengan meja belajar. Setelah terendam lumpur, meja belajar miliknya bersama dengan perabotan rumah lain diungsikan ke Malang, rumah saudaranya.
Karena tak lagi nyaman, nilai rapor Santi turun. Kalau dulu ia mendapat nilai rata-rata 7, kini rata-rata 6 untuk semua mata pelajaran. Ibunya, Juma’ani (35), memahami kesulitan anak bungsunya itu.
Laiknya Lilik, Anis, dan ribuan ibu yang masih bertahan di pengungsian, Juma’ani merasakan pula masalah biaya sekolah yang membelit di tahun ajaran baru ini. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Juma’ani kini hanya berharap pada para donatur yang hendak menyumbangkan buku dan peralatan tulis, tas, dan seragam.
"Uang sekolah anak-anak dulu dari hasil saya membuka warung makan, tetapi kini saya tidak berjualan lagi," katanya. Suaminya, Sajad (40), yang bekerja sebagai buruh tambak di Kenjeran, Surabaya, hanya cukup memberi biaya makan sehari-hari.
Bagi kebanyakan siswa, tahun ajaran baru disambut dengan semangat baru. Namun, elan baru itu tak tampak di wajah para pengungsi. Tekanan yang tak kunjung henti membuat senyum itu tak melebar saat anak-anak akan merintis masa depan.

0 comments: