Friday, July 06, 2007

Sarasehan Budaya: Strategi Kebudayaan Harus Dinamis

KOMPAS - Jumat, 06 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Strategi pembangunan kebudayaan tidak cukup sekadar jargon dan bersifat sektoral, tetapi harus holistik serta menjadi gerakan menyeluruh. Strategi kebudayaan itu juga perlu mengikuti dinamika masyarakat. Bagaimanapun, budaya merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat dibentuk.
Demikian terungkap dalam sarasehan budaya bertajuk "Dinamika Kebudayaan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" yang diadakan Paguyuban Puspo Budoyo, bekerja sama dengan berbagai pihak, Kamis (5/7) di Jakarta. Sarasehan menghadirkan sosiolog Ignas Kleden dan Paulus Wirutomo, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati, Nunus Supardi, artis Christine Hakim, dan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama.
Menurut Ignas, kebudayaan kerap kali masih dipahami secara ontologis. Dalam konteks ini, kebudayaan dan perkembangannya dilihat sebagai sesuatu yang berjalan sendiri sesuai hakikatnya, bukan dibuat oleh manusia, tetapi ia hadir begitu saja sebagai rujukan yang harus diikuti oleh pendukung kebudayaan.
Padahal, dalam konsep kebudayaan justru sebaliknya, kebudayaan juga dibentuk oleh pendukungnya. Keadaan masyarakat menjadi acuan pembentukan kebudayaan dan dapat memengaruhi kebudayaan itu. Kebudayaan dibuat oleh manusia secara bersama-sama melalui interaksi sosial.
Sebaliknya, dalam paham ontologis, kebudayaan bagaikan sesuatu yang diturunkan dari langit. Paham ini merupakan jebakan bagi munculnya apa yang disebut determinisme kebudayaan. Alhasil, orang menjadi percaya tidak dapat berbuat apa pun terhadap kebudayaan dan hanya menyesuaikan diri dengan kebudayaan tempatnya lahir dan dibesarkan.
"Ini terlihat dalam sikap kita menghadapi krisis, misalnya, atau ungkapan bahwa kita tidak dapat mengatasi korupsi karena kebudayaan kita belum memungkinkan transparansi dan akuntabilitas," ujarnya.
Ignas juga memberikan contoh, betapa marahnya orang ketika ada yang tidak membayar kepada bank terkait kredit macetnya dan tidak dihukum. Diskusi tentang impunitas atau kebal hukuman pun muncul, tetapi lupa bahwa impunitas itu dipupuk dalam kehidupan sehari-hari.
"Orang yang membuang sampah sembarangan walaupun sudah ada larangan, misalnya, juga tidak diberi sanksi. Setelah impunitas besar yang dianggap kejahatan muncul, mendadak orang lalu terkejut. Padahal, kita ikut membentuknya setiap hari dengan sikap budaya kita yang deterministik," ujarnya.
Menurut Ignas, apa yang dinamakan halangan-halangan mental dalam pembangunan—atau sikap budaya yang tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi— bertolak dari konsep kebudayaan ontologis. "Kita bergantung pada kebudayaan tanpa dapat berbuat sesuatu pun," katanya.
Politik kebudayaan
Oleh karena itu, suatu politik kebudayaan hanya mungkin dilakukan jika berangkat dari asumsi dasar bahwa kebudayaan itu diproduksi oleh manusia dan melalui konstruksi sosial. Politik kebudayaan yang dimaksud Ignas adalah kebijakan yang diambil terkait arah perkembangan budaya dan syarat yang harus dipenuhi untuk suatu tujuan tertentu.
Terkait politik kebudayaan, bidang kebudayaan tertentu, seperti kesenian, memang umumnya lahir dari kreativitas spontan sehingga sulit direncanakan berdasarkan kebijakan tertentu. Namun, beberapa bidang, seperti rencana pengembangan teknologi, pembakuan bahasa nasional, atau rencana jangka panjang tentang pengembangan kebudayaan fisik, dapat direncanakan.
Faktor yang ikut menentukan kebudayaan di masa depan antara lain sektor pendidikan nasional. Nilai dan kepandaian yang telah dikembangkan dalam suatu kebudayaan dapat dipertahankan dan diteruskan ke generasi berikutnya melalui pendidikan. Pendidikan juga diharapkan dapat mendorong perkembangan daya cipta setiap peserta didik untuk memajukan perkembangan budaya melalui apresiasi budaya.
Bagi Paulus Wirutomo, saat ini yang diperlukan ialah strategi budaya yang menyeluruh dan holistik. Untuk itu, yang pertama kali harus dilakukan ialah mencapai konsensus prioritas nilai budaya yang akan ditanamkan.
"Begitu nilai itu sudah ditentukan, semua lini dan sektor harus mendukung internalisasi nilai tersebut," ujarnya.
Jakob Oetama juga sepakat bahwa kebudayaan sangat berinteraksi dengan perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Budaya dapat dalam artian sikap dasar, falsafah, orientasi nilai, atau hal-hal praksis seperti perilaku dan perbuatan sehari-hari.
Menurut dia, budaya dalam artian lebih praksis tak kalah aktual untuk dijadikan bahan pemikiran dan komitmen bersama. Tekanan atau orientasi tidak selalu kepada masa lalu, tetapi masa depan.
Nilai-nilai tradisi yang telah dimiliki bangsa Indonesia perlu terus diuji dan disesuaikan relevansinya dengan kondisi aktual. "Kita harus pandai mengamati dan menangkap perubahan tersebut," ujarnya. (INE)

0 comments: