Friday, August 10, 2007

Karnaval: Kreativitas Rakyat Jember

KOMPAS - Jumat, 10 Agustus 2007

SUSI IVVATY dan FRANS SARTONO

Fashion itu milik semua orang. Setiap orang berhak merancang fashion-nya sendiri. Itu kata Dynand Fariz, penggagas dan Presiden Jember Fashion Carnaval. Karnaval itu digelar untuk keenam kalinya hari Minggu (5/8) lalu.
Di Jember Fashion Carnaval (JFC) daya cipta itu dikembalikan ke rakyat. Dan dengan sukacita anak-anak muda Jember, kota kecil di Jawa Timur, bebas berkreasi membuat rancangan kostum yang mereka kenakan sendiri. Rancangan mereka itu dengan mudah dapat dinikmati masyarakat yang memadati sepanjang jalan kota.
Lihat kesibukan Thamrin (45) dan istrinya, Feni (43), yang menemani Kevin Akbar (10), anak mereka, yang tampil di JFC. Hari itu Thamrin dan Feni tidak berjualan nasi goreng dan tahu campur di Bursa Jajan, Talangsari, Jember. Jauh sebelum hari H mereka telah sibuk luar biasa.
"Seluruh keluarga kami terlibat. Saya yang menggambar model bajunya. Iseng-iseng saja saya menggambar sambil jualan. Bapaknya yang kasih ide-ide dan pasang kempyeng-kempyeng dari tutup botol," kata Feni.
Kempyeng-kempyeng jelas bukan istilah "ilmiah" di jagat mode. Namun, itulah mode ala rakyat. Yang dimaksud kempyeng-kempyeng adalah pernik-pernik pada kostum yang terbuat dari 200 tutup botol minuman ringan. Feni dengan mudah mengumpulkan tutup botol karena minuman ringan merupakan bagian dari jualannya di warung.
Nuansa China ini sesuai dengan delapan tema yang disodorkan JFC kali ini, yaitu Borneo, prison, predator, undercover, Amazon, Chinese opera, anime, dan recycle. Tema tersebut merupakan penjabaran dari tema besar JFC kali ini, Save Our World, Selamatkan Bumi Kita.
JFC memberi kebebasan seluas-luasnya pada imajinasi dan daya cipta. Elly yang memilih tema undercover—pekerja bawah tanah, membebatkan keset kain pada kedua betisnya. Seorang peserta yang memilih tema Borneo memasang kemoceng bulu ayam di kepala. Peserta lain membelitkan selang pancuran kamar mandi (shower) sebagai belenggu.
JFC memberi rangsang kreatif. Lewat kreativitas, kata Dynand Fariz, JFC ingin menumbuhkan rasa percaya diri pesertanya. Eko (21), lulusan Jurusan Busana SMK Sri Tanjung Banyuwangi ini, awalnya selalu gagap saat berdiri di depan publik. Sejak bergabung dengan JFC tahun 2004, Eko berubah. Ia mengenakan kostum serupa Kaisar China pada abad XIII. Ia memimpin 50 orang dalam defile barisan dan koreografi.
Untuk busananya yang fantastis itu, Eko menghabiskan biaya Rp 400.000, hasil kerjanya di Dynand Fariz Centre, lembaga yang didirikan Dynand Fariz. Ia pun memermak diri bak Kaisar China. "Enam hari saya tidak tidur untuk membuat baju ini," kata Eko.
Sebanyak 450 anak muda ambil bagian dalam JFC 2007. Berbagai warna mengepung kota. Arak-arakan itu menyedot puluhan ribu penonton. Sepanjang Jalan Sultan Agung serta jalan- jalan menuju gedung olahraga menjadi pagar betis penonton.
Kota karnaval
Hingga tahun keenam penyelenggaraannya, JFC makin diperkaya. Dynand Fariz berulang-ulang menyebut fashion sebagai kepribadian, dan lebih jauh lagi kehidupan. Tidak ada yang salah dalam fashion, bahkan di kota religius seperti Jember. Ia ingin menjadikan Jember sebagai kota karnaval yang bisa diperhitungkan dunia.
Fariz belajar dari karnaval bunga di Pasadena, AS. Juga Rio de Janeiro yang terkenal dengan sambanya. "Saya ingin bikin konsep karnaval yang beda, dengan kostum menutup seluruh tubuh. Ini dituntut kreativitas tinggi," ujarnya.
Lewat karnaval, fashion menjadi tidak berjarak dengan penonton. Peragaan busana yang umumnya hanya bisa disaksikan dari bawah catwalk, di JFC menjadi lain. Penonton bisa turut berinteraksi, berfoto bersama model, dan memotret dengan jarak sangat dekat. "Setiap kami berjalan beberapa langkah, ada saja penonton yang minta foto bersama," ungkap Fariz.
Sebagai kota karnaval, Fariz ingin membawa Jember ke dunia. Untuk itu, masih dalam rencana, dalam waktu tiga tahun ke depan, alun-alun akan disulap menjadi colosseum dengan kapasitas 6.000 orang. Pemerintah Kabupaten Jember, menurut Fariz, mendukung rencana itu.
Budaya hibrida
JFC menjadi semacam cara Jember dalam menyambut tren global. Meski selama ini dianggap sebagai kota religius, menurut budayawan Jember, Ayu Sutarto, Jember bisa menerima tren tersebut. Ratusan pesantren ada di Jember, banyak ulama ternama tinggal di Jember, tetapi, menurut Sutarto, mereka bisa menerima perubahan.
Dalam pandangan pengajar Folklor dan Pengantar Penelitian Kebudayaan Universitas Negeri Jember itu, Jember tidak mempunyai akar budaya Jawa dan Madura yang kuat. Tumbuhlah kemudian budaya hibrida, kultur silang.
"Karena akar budaya yang tidak kuat itu, masyarakat, terutama anak-anak muda, dengan mudah menerima fenomena peradaban global," paparnya.
Karnaval menjadi sangat mudah diterima masyarakat karena budaya agraris yang juga masih sangat kental. "Masyarakat agraris itu sangat suka dengan tontonan dan kerumunan. Ada tontonan fashion seperti ini, masyarakat langsung mengerubungi," ujar Sutarto.
Di luar kesan tontonan spektakuler itu, penyelenggara JFC ingin menanamkan rasa percaya diri pada saudara-saudara di kampung halamannya. Salah satunya dengan menumbuhkan keberanian berkreasi—sebuah keberanian yang mahal di tengah dunia yang dikuasai brand dan trend. "Lewat kreativitas, kami berharap JFC dan Jember bisa menjadi satu titik dalam peta fashion dunia," ujar Fariz, mengenai cita-cita yang terpendam sejak lama itu. (Syamsul Hadi)

0 comments: