Thursday, August 02, 2007

Kasus Magelang: Riwayat Gembus, Riwayat Kita...

KOMPAS - Kamis, 02 Agustus 2007

Regina Rukmorini dan Atika Walujani Moedjiono

Untuk memastikan adanya Pseudomonas cocovenenans sebagai penyebab kematian 10 warga Desa Kanigoro, Kabupaten Magelang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan kini membiakkan sisa tempe gembus yang ditemukan di sekitar rumah korban.
Di sisi lain, korban dan keluarga menolak dugaan bahwa kematian warga disebabkan keracunan tempe gembus. Mereka menyatakan sudah lama tidak mengonsumsi makanan dari ampas tahu yang berbahan dasar kedelai itu.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan I Nyoman Kandun, Rabu (1/8) di Jakarta, dugaan keracunan itu didasari hasil otopsi laboratorium forensik Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan Universitas Diponegoro (Undip) yang memperlihatkan korban mengalami nekrosis (kematian sel jaringan) multiorgan akibat kerusakan mitokondria sel.
"Hal ini umumnya disebabkan oleh racun akut dari logam berat atau mikroba. Penelitian terhadap cemaran logam berat, pestisida, ataupun gas beracun menunjukkan hasil negatif sehingga kecurigaan mengarah pada racun mikroba," tutur Kandun.
Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan, tanggal 21 Juli—sehari sebelum musibah-- sejumlah penduduk membeli tempe gembus dari seorang pedagang. "Mereka tidak mengaku waktu ditanya petugas, tetapi ada saksi mata yang mengungkapkan hal itu. Petugas juga memperoleh sisa tempe gembus di sekitar rumah korban. Saat ini laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan sedang membiakkan sisa tempe gembus," tutur Kandun.
Sejumlah warga Dusun Beran, Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang sebelumnya dirawat akibat menderita pusing, mual, dan muntah mengaku sudah lama tidak mengonsumsi tempe gembus. "Saya dan keluarga tidak mengonsumsi tempe gembus hampir 2,5 bulan," ujar Mursidah, salah seorang korban, saat ditemui di rumahnya, Rabu.
Mursidah bersama anaknya, Ardani (11), sempat dirawat. Mursidah dirawat di Rumah Sakit Umum (RSU) Tidar, Kota Magelang, sedangkan Ardani di Puskesmas Grabag.
Sebelum mengalami pusing dan sakit perut, Mursidah mengaku hanya makan nasi dengan mi goreng. Bahkan Ardani yang muntah-muntah di sekolah, menurut Mursidah, belum makan sejak pagi. Karena itu, Mursidah tidak percaya dirinya sakit karena tempe gembus. "Barangkali ada penyebab lain yang belum diketahui," ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Asmuni, suami salah seorang korban meninggal, Aslamiyah. Menurut Asmuni, sudah dua bulan istrinya tidak memasak tempe gembus.
Saat kejadian, tutur Asmuni, Aslamiyah yang baru bangun pagi mengaku pusing, lemas, dan berkeringat dingin. Ibu enam anak itu lantas minum segelas air hangat, tetapi kemudian ia tidak sadarkan diri. Aslamiyah kemudian meninggal dunia di Puskesmas Grabag.
Penduduk lain, Nariyah (25), mengatakan, seminggu lalu dia memang memasak tempe gembus. Namun, Nariyah, suami dan dua anaknya sehat-sehat saja.
Tumini (30), ibu salah seorang korban, Waludi (13), juga tidak memercayai tempe gembus sebagai penyebab. Menurut penjual makanan di kantin sekolah itu, tempe gembus merupakan salah satu jenis makanan yang biasa dijajakannya. "Jika memang benar karena tempe gembus, penyakit ini semestinya diderita banyak siswa di SD Kanigoro," katanya. Waludi mengaku tidak makan tempe gembus selama sebulan terakhir.
RSU Tidar, Kota Magelang, hingga Rabu siang sudah memulangkan tujuh pasien dengan gejala misterius. Empat pasien masih dirawat di bangsal dan satu orang lagi, Nuryati, masih di ruang unit gawat darurat.
Menurut salah seorang anggota tim medis dr Tri Maria SpPD, Nuryati yang masih koma menderita penyakit lain. Adapun pihaknya masih menunggu keempat pasien yang dirawat benar-benar sehat. "Dalam satu- dua hari ini, mereka mungkin bisa dipulangkan," ujarnya.
Sebenarnya, nama bakteri Pseudomonas cocovenenans diganti menjadi Burkholderia cocovenenans sejak tahun 1990-an, demikian Ratih Dewanti, ahli mikrobiologi pangan dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, yang juga peneliti pada South East Asia Food Science and Technology Centre.
Menurut Ratih, umumnya bakteri itu tumbuh di ampas kelapa karena memerlukan kadar lemak tinggi untuk pertumbuhannya. "Perlu segera dilakukan penelitian untuk memastikan apakah benar B cocovenenans tumbuh dalam ampas kedelai (maksudnya pada gembus tadi). Hal itu untuk kewaspadaan masyarakat. Jika dugaan itu benar, ada risiko tempe yang sehari-hari kita konsumsi bisa tercemar B cocovenenans," ujar Ratih.
Menurut peneliti dari Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo, pada kondisi tertentu bakteri itu memang bisa tumbuh di produk lain. Penelitian Meng dkk di China menunjukkan, B cocovenenans ditemukan di tepung jagung yang difermentasi serta jamur putih (Tremella faciformis) yang membusuk.
Herawati menjelaskan, racun B cocovenenans, yaitu asam bongkrek dan toksoflavin, menghambat rantai respirasi pada mitokondria sehingga produksi Adenosine triphosphate (ATP) terganggu dan energi bagi sel tidak terbentuk. Akibatnya, sel jaringan tubuh rusak. Hal itu tampak dari hasil otopsi korban yang menunjukkan kegagalan multiorgan. Gejala klinis keracunan asam bongkrek sama seperti yang diderita para korban, yaitu pusing, mual, muntah, kemudian meninggal.
Kasus keracunan gembus atau bongkrek, dalam sejarah sosial kita, mengindikasikan satu kecenderungan yang konstan: kemiskinan.
Namun, supaya tetap ilmiah, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman masih akan mengidentifikasi DNA bakteri itu.

0 comments: