KOMPAS - Kamis, 02 Agustus 2007
Kondisi Wall Street Mulai Membaik Kembali
Jakarta, Kompas - Tidak satu pun bursa saham di seluruh penjuru dunia yang tidak bergejolak Rabu kemarin. Penjualan saham secara besar-besaran yang dimulai dari bursa Amerika Serikat, Wall Street, membuat harga berjatuhan, menekan indeks anjlok. Bahkan bursa tangguh China pun ikut rontok.
Kejatuhan pasar saham di belahan Eropa dan Asia, Rabu (1/8) mengikuti kinerja Wall Street sehari sebelumnya, yang kembali mencatat penurunan signifikan lebih dari 100 poin. Padahal, hanya dalam dua hari akhir pekan lalu, Jumat dan Sabtu, indeks terkemuka Dow Jones Industrial jatuh lebih dari 500-an poin.
Penjualan besar-besaran saham itu dipicu kekhawatiran investor akan semakin memburuknya masalah gagal bayar kredit perumahan di Amerika Serikat, yang disebut sub-prime. Jenis kredit ini diberikan kepada debitor yang sebenarnya berisiko tinggi gagal bayar, antara lain untuk menggenjot kredit. Kredit itu kemudian disekuritisasi dan dibeli investor, yang kebanyakan dari kalangan institusi keuangan yang juga menanamkan dananya di pasar keuangan global.
Bursa saham di London Inggris, Frankfurt Jerman, dan Paris Perancis mencatat penurunan rata-rata dua persen pada sesi pertama perdagangan, Rabu pagi atau Selasa malam di Jakarta.
Bursa saham di Jepang rata-rata jatuh lebih dari dua persen. Indeks Tokyo Nikkei 225 ditutup turun 377 poin (2,19 persen) ke level 16.870. Ini merupakan indeks di bawah 17.000 yang pertama kalinya dalam empat bulan terakhir ke level di bawah 17.000. Indeks Hang Seng Hongkong rontok 729 poin (3,15 persen) ke level 22.455.
Bursa saham China turun 3,81 persen, tetapi lebih karena investor merealisasikan keuntungan setelah harga saham secara umum naik lebih dari 14 persen hanya dalam delapan hari.
Pada penutupan perdagangan Bursa Efek Jakarta (BEJ) Rabu (1/8) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga meleleh 92,4 poin atau 3,93 persen ke level 2.256. Seiring jatuhnya pasar saham, nilai rupiah juga jatuh ke level Rp 9.285 per dollar AS, turun 65 poin dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. Dalam perdagangan kemarin bahkan rupiah sempat menembus level Rp 9.300 sebelum menguat lagi akibat intervensi Bank Indonesia (BI).
Kembali menguat
Pada pembukaan perdagangan Rabu pagi (tengah malam waktu Jakarta) di Wall Street, indeks saham pada bursa paling berpengaruh di dunia itu mulai merangkak naik kembali. Indeks harga Dow Jones Industrial dibuka naik 46,09 poin (0,35 persen) ke level 13.258.
Sejumlah analis mengatakan, kejatuhan bursa saham Wall Street awalnya dipicu oleh kerugian yang diderita sejumlah bank dan fund manager akibat kredit macet sektor perumahan (subprime) dalam jumlah besar.
Akibat gagal bayar debitor, seluruh transaksi sekuritisasi yang menggunakan aset dasar kredit perumahan pun rontok. Macquarie Bank dari Australia dikabarkan rugi 300 juta dollar akibat macetnya kredit mortgage di AS.
Investor pun ramai-ramai melepas saham karena khawatir bank, manajer investasi, dan institusi keuangan lainnya juga memiliki surat berharga hasil sekuritisasi kredit subprime di AS. Investor juga mengkhawatirkan kehancuran itu bakal merembet ke sektor-sektor lain, dan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang sahamnya mereka miliki.
Di pasar komoditas, harga minyak dunia sedikit menurun dibandingkan hari sebelumnya. Harga kontrak minyak mentah light sweet di New York untuk pengiriman bulan September turun 44 sen menjadi 77,77 dollar AS per barrel setelah menyentuh 78,28 dollar AS, Selasa. Rekor tertinggi harga minyak tercapai tahun lalu, pada posisi 78,40 dollar AS per barrel.
Pasar lokal
Kepala Investment Strategist IndoPremier Arianto Reksoprodjo kemarin mengatakan, selain imbas dari runtuhnya pasar saham global, jatuhnya IHSG, menurut Arianto juga disebabkan faktor lain, yakni kerugian investor yang bermain dalam transaksi margin (investor bertransaksi saham lebih besar dari dana yang dimiliki) serta angka inflasi yang sedikit di atas ekspektasi pasar.
Menurut Arianto, karena pasar terus tertekan dalam dua pekan ini, banyak investor margin yang menderita kerugian sehingga mereka harus melepas sahamnya untuk menutup kerugian.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin mengatakan, pelemahan kurs rupiah mutlak karena faktor eksternal. "Pelemahan nilai tukar tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Sebab, secara fundamental, kondisi perekonomian masih sangat bagus, apalagi inflasi Juli masih dalam kisaran yang ditargetkan BI," kata Aslim.
Menurut Aslim, pelemahan rupiah saat ini bersifat temporer. "Kendati demikian, kami akan terus memonitor perkembangannya. Jika diperlukan kami akan masuk pasar untuk mencegah agar pergerakan rupiah tidak terlalu volatil. Karena itu kita jangan terlalu khawatirlah," katanya.
Secara umum, kata dia, level rupiah masih berada dalam kisaran yang nyaman untuk eksportir maupun importir. Berdasarkan survei BI, kisaran rupiah yang nyaman untuk eksportir dan importir adalah Rp 8.500 - Rp 9.500 per dollar AS. (AFP/AFP)
Thursday, August 02, 2007
Bursa Saham Global Bergejolak
Posted by RaharjoSugengUtomo at 10:59 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment