Thursday, August 30, 2007

Macet di Merak: Sopir Truk Pun Kehabisan Ongkos

KOMPAS - Kamis, 30 Agustus 2007

Anita Yossihara

Tiga sopir truk berdiri mengelilingi dua pedagang minuman dan penganan kecil di tepian jalan, tepat di atas Pintu Tol Cilegon Barat. Hari Rabu (29/8) siang itu jam menunjukkan waktu tepat pukul 14.00.
Ketiga sopir tersebut memesan satu gelas kopi hitam dan dua gelas kopi susu. Mereka juga membeli tahu dan tempe goreng tepung yang dijajakan seorang nenek tua.
Sesekali mereka berteriak, "Suruh balik saja.… Jangan boleh lewat," saat melihat satu-dua truk pengangkut barang yang nekat keluar Pintu Tol Cilegon Barat, mencoba menerobos masuk Pelabuhan Merak melalui jalan negara. Maksudnya, mereka ingin semua sopir truk turut merasakan susahnya mengantre masuk pelabuhan.
Tiba-tiba dari arah barat seorang lelaki kurus berlari sambil berteriak, "Ada yang bagi-bagi nasi, ya?" Lelaki yang kemudian diketahui bernama Yanto itu mengira para sopir berkerumun karena ada yang sedang membagikan nasi bungkus gratis. Ternyata ia keliru.
"Saya pikir ada yang bagi-bagi nasi. Lapar nih… siang ini belum makan," kata sopir truk pengangkut barang kelontong itu.
Yanto kemudian bercerita, ia sudah kehabisan ongkos untuk makan. Maklum saja, ia sudah dua hari satu malam menunggu giliran masuk pelabuhan. Ayah dua anak itu mulai terjebak macet saat memasuki Kilometer 91 Jalan Tol Jakarta-Merak, Selasa siang lalu. Selama dua hari truk yang dibawanya baru bisa berjalan sekitar 3 kilometer saja.
"Nanti malam juga belum tentu bisa sampai pelabuhan. Masih sekitar 8 kilometer lagi sampai pintu. Jadi ya sudah hampir dua malam ini tertahan di sini," katanya.
Ongkos makan yang diberikan pemilik truk sudah habis sejak Selasa malam lalu. Maklum saja, ia hanya diberi Rp 50.000 untuk makan selama perjalanan Jakarta-Bandar Lampung yang membutuhkan waktu lebih kurang satu hari satu malam.
Satu hari terakhir ia terpaksa memakai uang jatah upah angkut dari pemilik truk Rp 100.000 untuk makan dan minum selama mengantre. Itu artinya, keluarga di rumah tidak akan kebagian hasil kerjanya selama satu hari satu malam.
"Bisa-bisa sampai ke Lampung malah ngebon (berutang) sama yang punya truk. Bukan dapat upah, tetapi malah dapat utang lebih banyak. Kalau dihitung kondisi sekarang, bisa sampai Rp 200.000 utang saya," katanya.
Pengalaman serupa dialami Ismail, sopir truk lain, meski tidak separah yang dialami Yanto. Sopir pengangkut barang kelontong dari Bandung menuju Banda Aceh itu pun mulai kehabisan ongkos.
Pergi-pulang Bandung-Aceh selama 12 hari, ia mendapat upah Rp 700.000 saja. "Kalau kondisinya seperti ini, mana bisa dapat utuh. Sekarang saja sudah berkurang buat makan-minum di sini, semuanya mahal. Belum lagi ongkos untuk bayar polisi di sepanjang jalan dari Lampung sampai Aceh. Bisa sampai 20 orang sekali jalan," katanya.
Dua hari terakhir rata-rata dia mengeluarkan uang Rp 50.000 per hari untuk membeli nasi bungkus, air mineral, kopi, rokok, dan jajanan lain. Jadi jika ditotal, saat ini uang jatah upah Ismail sudah berkurang Rp 100.000.
Begitu pula upah Dulham, sopir truk pengangkut tepung terigu dan gula pasir yang parkir di dekat truk yang dikemudikan Ismail. Upah kerja selama 10 hari pergi-pulang Jakarta-Medan sebesar Rp 600.000 juga sudah berkurang Rp 100.000.
"Pastilah kalau buat keluarga sudah tak utuh lagi Rp 600.000. Padahal kami-kami ini kebutuhannya banyak. Belum lagi, anak pasti minta mainan pas kami datang ke rumah. Kalau macet seperti ini, mana dapat uang buat beli mainan," tutur Dulham sambil tertawa.
Nasib Agus, sopir truk asal Bengkulu, lebih memprihatinkan lagi. Ia terpaksa harus menombok hingga Rp 400.000, untuk mengantar truk berukuran besar yang dipesan seorang pejabat tinggi di Polda Bengkulu.
"Saya ini disuruh mengambil truk ke Jakarta, saya bawa ke Bengkulu. Sudah tiga hari dua malam mesin truk terus-terusan saya hidupkan. Soalnya kalau dimatikan, tidak bisa jalan lagi," katanya, yang saat itu sudah berada di Pintu Tol Merak.
Selama terjebak macet, bahan bakar seharga Rp 450.000 yang dibelinya di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) Karang Tengah, Tangerang, sudah hampir habis.
Dalam kondisi lalu lintas macet seperti itu, Agus memperkirakan tangki bahan bakar truk yang dibawanya akan habis tepat di pintu masuk dermaga. Jadi, ia harus kembali membeli bahan bakar paling tidak Rp 450.000 di SPBU yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Pintu Tol Merak. Padahal uang di tangan hanya cukup untuk beli tiket kapal.
Serba mahal
Ada saja yang mengambil keuntungan saat para sopir sengsara karena berhari-hari terjebak kemacetan sejak enam hari terakhir. Warga di sekitar Jalan Tol Merak hingga Cilegon Timur pun beramai-ramai beralih profesi menjadi pedagang keliling. Tidak tanggung-tanggung, mereka memasang harga tinggi untuk minuman dan penganan yang dijajakan.
Satu gelas kopi hitam dijual dengan harga Rp 2.000 hingga Rp 5.000. Adapun kopi susu dijual beragam, Rp 3.000-Rp 7.000 per satu gelas berukuran 250 mililiter. Jauh di atas harga pada hari-hari biasa, yaitu Rp 1.000- Rp 1.500 untuk satu gelas kopi hitam dan Rp 2.000-Rp 3.000 untuk satu gelas kopi susu. Harga satu gelas es cendol juga naik, dari biasanya Rp 2.000 menjadi Rp 4.000.
Harga satu potong tahu-tempe tepung dan bakwan juga naik dua kali lipat. Jika biasanya sepotong gorengan dijual Rp 250, pada saat macet harga gorengan menjadi Rp 500 per potong.
Begitu pula harga nasi bungkus. Nasi bungkus dengan lauk telur pun dijual Rp 6.000 per bungkus atau naik Rp 1.000 daripada harga pada hari-hari biasa. Harga nasi bungkus dengan lauk sepotong kecil ayam juga dinaikkan dari yang biasanya Rp 6.000 per bungkus, menjadi Rp 7.000 per bungkus. Nasi bungkus dengan lauk daging sapi dijual Rp 8.000, dari yang biasanya seharga Rp 7.000.
Belum lagi harga air mineral, yang biasanya dijual dengan harga Rp 3.000-Rp 3.500 per satu botol ukuran satu liter, dalam hari terakhir dijual Rp 6.000- Rp 8.000 per botol.
Jika ingin sedikit murah, para sopir membeli air isi ulang yang dijajakan keliling lokasi kemacetan. Satu liter air isi ulang, dijual Rp 3.000-Rp 8.000.
Belum lagi jika ingin mandi atau buang air. Para sopir harus membayar Rp 2.000 untuk mandi dan Rp 1.000 untuk buang air di sejumlah toilet umum milik warga sekitar.
Lonjakan harga minuman dan makanan itulah yang juga ikut memberatkan para sopir. Jika Pelabuhan Merak tetap macet, berarti para sopir terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk keperluan makan dan minum.

0 comments: