Wednesday, July 11, 2007

IPTEK: Di Manakah Rasa Krisis Itu?

KOMPAS - Rabu, 11 Juli 2007

YUNI IKAWATI

Maskapai penerbangan nasional Indonesia, Jumat (6/7), dicekal beroperasi di Eropa selama tiga bulan. Keputusan Komisi Uni Eropa itu diambil berdasarkan berbagai laporan yang dibuat lembaga otoritas penerbangan internasional, yang menyebutkan bahwa standar keselamatan penerbangan Indonesia tidak terpenuhi.
Keputusan Komisi Uni Eropa ini juga dapat dilihat secara tidak langsung sebagai perlambang hilangnya kepercayaan masyarakat benua maju itu akan kemampuan bangsa kita mengelola sarana transportasi udara berteknologi itu, setelah serangkaian kejadian bencana penerbangan, terutama yang terjadi pada sepanjang paruh tahun ini.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan burung besi tersebut. Namun, bukti-bukti yang dihimpun menunjuk pada kesalahan manusia, baik ketika mengemudikan maupun pada aspek kelalaian dalam pemeliharaan.
Belum lagi keputusan mengoperasikan pesawat terbang komersial yang telah tergolong lewat masa pakai. Ini juga menjadi faktor yang mengundang risiko kecelakaan.
Semua produk berteknologi, baik yang tergolong sederhana sekalipun, apalagi pesawat terbang modern yang berteknologi canggih, tentu memiliki serangkaian aturan, baik dalam penggunaan maupun pengendaliannya, pada pemeliharaan ataupun aspek pengamanannya.
Ketika serangkaian kecelakaan pesawat terbang terjadi, patut dipertanyakan apakah maskapai penerbangan nasional tidak melakukan pengabaian aspek teknik tersebut?
Rasa krisis
Tentang kedisiplinan dalam menggunakan dan memelihara sarana transportasi massal dan kepedulian akan nasib banyak penumpang memang menjadi pertanyaan yang dilontarkan banyak orang akhir-akhir ini kepada pihak pengelola, bukan hanya kepada maskapai penerbangan, tetapi juga kepada perusahaan kereta api, kapal laut, dan bus.
Mengapa kecelakaan di sektor transportasi masih terus terjadi dan semakin banyak korban jiwa yang harus terenggut? Mereka itu bukan hanya anggota keluarga yang ingin pulang kampung untuk berlebaran, tetapi juga anak-anak sekolah yang ingin pergi liburan sekolah.
Ke manakah sense of crisis atau rasa krisis itu?
Apakah pengemudi yang mengantuk tetapi tetap memacu kendaraannya itu tidak sadar bahwa keselamatan puluhan penumpang di belakang berada di tangannya.
Mengabaikan periodisasi pemeliharaan, perbaikan rutin mesin, dan penggantian komponen kendaraan sesuai standar juga bisa mengundang maut. Namun, hal ini dijalani juga demi ingin meraih keuntungan. Begitu murahkah harga sebuah nyawa di negeri ini?
Bagi bangsa maju yang begitu menghargai aset sumber daya manusia, kehilangan satu nyawa tentulah menjadi kerugian yang besar. Oleh karena itu, mereka yang notabene merupakan pencipta teknologi begitu ketat dalam mengoperasikan produk berteknologi, yang bagaimanapun mempunyai dua sisi, negatif dan positif.
Namun, di Indonesia, sebagai negeri berpenduduk padat yang kini tengah terpuruk, demi mengejar keuntungan ekonomi, faktor keselamatan terabaikan. Padahal, kehilangan sebuah nyawa adalah aset yang tak ternilai daripada kerugian material dan fisik.
Apakah rasa krisis itu melekat pada budaya iptek, akses, atau penyebaran informasi yang masih lemah di negeri ini? Jika dilihat dari tingkat budaya yang dicapai, masyarakat Indonesia saat ini masih sebatas pada budaya melihat dan mendengar. Oleh karena itu, sarana televisi dan radio serta reklame luar ruang sepatutnya menjadi jalur yang perlu lebih banyak dimasuki untuk membangkitkan rasa krisis tersebut.
Beberapa upaya ini, misalnya, telah ditempuh dengan memajang monumen kendaraan-kendaraan yang mengalami kejadian naas di lokasi strategis.
Penyampaian informasi tentang bahaya melanggar perlintasan kereta api, misalnya, telah dilakukan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan lewat tayangan di layar televisi tiap gerbong kereta api eksekutif di Pulau Jawa.
Namun, tampaknya itu saja tidak cukup untuk menggugah para pengemudi ataupun perusahaan jasa angkutan umum. Diperlukan strategi dan penegakan hukum yang memberi efek jera bagi pihak terkait, misalnya, dengan penerapan sanksi pencabutan izin mengemudi dan pidana yang berat.
Upaya perbaikan
Di Indonesia selama ini orang yang menghargai keselamatan penerbangan rela membayar mahal untuk jasa angkutan yang lebih baik. Mereka, misalnya, terbang menggunakan maskapai penerbangan terkemuka milik pemerintah. Meskipun mengenakan tarif dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan maskapai penerbangan swasta nasional, maskapai pemerintah ini mengoperasikan pesawat terbang yang relatif lebih baru dan memiliki fasilitas pemeliharaan yang bertaraf internasional.
Sayangnya, perusahaan penerbangan yang selama ini diandalkan pun terjerembab oleh peristiwa naas di Yogyakarta, 7 Maret lalu.
Keputusan mencekal 51 maskapai penerbangan tentunya bisa dicabut apabila ada upaya perbaikan yang nyata. Komisi Uni Eropa menyatakan akan mengevaluasi keputusan tersebut tiga bulan mendatang.
Kini yang menjadi pertanyaan lagi, apakah dalam waktu sesingkat itu segalanya bisa membaik mengingat yang perlu diubah adalah perilaku ribuan orang, terutama pihak operator dan sikap manajemen yang menjalankan jasa angkutan umum, di darat, laut, dan udara.
Memperbaiki layanan jasa transportasi bukan hanya menyelamatkan ribuan nyawa dan aset bangsa, tetapi terlebih lagi citra bangsa Indonesia di mata dunia.
Pencanangan pembangunan masyarakat berbasis pengetahuan oleh Pemerintah Indonesia belum lama ini juga akan sejalan dengan penyebaran dan peningkatan akses informasi tentang ancaman bencana. Bukan hanya bencana yang disebabkan fenomena alam, tetapi juga bencana oleh manusia sendiri ketika mengoperasikan sarana angkutan, yang merupakan produk buatan manusia sendiri.

0 comments: