KOMPAS - Rabu, 01 Agustus 2007
BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Indonesia pekan ini akan mendapat dampak dari ekor badai Usagi dan dari munculnya bibit badai di barat daya di sebelah selatan Jawa (Kompas, 31/7).
Ada dua kemungkinan, sebagian Indonesia akan mengalami hujan besar, atau sebaliknya udara di Indonesia akan kering karena massa udara yang memuat uap air tersedot. Badai Usagi diperkirakan baru akan berakhir sekitar enam hari lagi. Sementara itu, perkembangan bibit badai masih harus dipantau.
Berita lain menyebutkan realitas meningkatnya jumlah badai di Pantai Teluk Atlantik dalam 100 tahun terakhir. Jumlah badai di kawasan tersebut tercatat rata-rata hanya enam siklon tropis, empat di antaranya tumbuh menjadi badai pada periode 15 tahun (26 tahun). Jumlah rata-rata ini naik menjadi 10 badai tropis dan 5 hurricane (topan) pada rentang 64 tahun (1931-1994) dan pada tahun 2006, tahun tenang, terjadi 10 badai tropis.
Sistem iklim oleh para ahli meteorologi disebut sebagai sebuah sistem yang paling semrawut (the most chaotic system). Sistem ini tidak pernah dapat dibatasi menjadi sebuah sistem yang terkotak di sebuah wilayah. Apa yang terjadi di suatu wilayah akan memengaruhi wilayah lain. Apa yang terjadi di sebuah wilayah juga bukan hanya akibat dari pengaruh sistem di wilayah tetangganya, tetapi juga sistem di wilayahnya sendiri yang sifatnya bisa sangat lokal, misalnya, topografi setempat.
Karena demikian semrawutnya sistem iklim dan cuaca, untuk dapat menjelaskan sebuah fenomena iklim dan cuaca secara tepat dibutuhkan sebuah sistem komputer yang luar biasa besarnya. "Yang gigantic," kata Tim Palmer, ahli meteorologi lulusan Oxford, yang kini menjabat sebagai pimpinan Divisi Peramalan Musiman dan Probabilitas pada Peramalan Cuaca Rentang Tengah Pusat Eropa, dalam pembicaraan dengan Kompas. Pembicaraan berlangsung di sebuah hotel di Bandung, akhir Juli lalu, di sela-sela acara "The 10th Kyoto University International Symposium".
Parameter-parameter yang memengaruhi sebuah sistem cuaca tidak bisa dengan mudah dilepaskan dari parameter cuaca di wilayah lain. Untuk memahami sistem global dari cuaca dan iklim, dibutuhkan komputer yang dapat memuat data-data mengenai iklim dan cuaca secara global.
Wilayah Indonesia yang terentang di antara dua samudra besar dunia, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik, merupakan sebuah wilayah yang memiliki posisi unik dalam sistem iklim dunia. Wilayah ini disebut sebagai sebuah engine house (rumah mesin) dari sistem iklim (dunia) yang demikian semrawut.
"Kami di Eropa selalu menengok ke wilayah Indonesia untuk melengkapi analisis tentang apa yang terjadi di wilayah kami," ucap Palmer, yang juga anggota Royal Society di Inggris dan American Meteorological Society (ia mendapatkan penghargaan dari kedua organisasi tersebut).
Sebutan itu tidak mengada- ada, karena dua samudra utama itu merupakan penyuplai utama uap air, sementara jumlah uap air di atmosfer merupakan faktor utama dalam sebuah sistem cuaca.
Semakin banyak uap air di udara, panas laten yang dilepas akibat proses kondensasi pun meningkat. Perbedaan panas di atmosfer tersebut mendorong sirkulasi udara akibat adanya perbedaan tekanan udara.
Temperatur global pada tahun 2007 diperkirakan rata-rata meningkat 0,54 derajat Celsius dalam 100 tahun terakhir. Peningkatan temperatur tersebut mendorong rumah mesin iklim menjadi semakin aktif karena penguapan air laut menjadi semakin besar. Semakin panas udara, semakin banyak uap air di dalamnya. Semakin banyak uap air di udara, semakin banyak pula panas laten yang dilepas akibat proses kondensasi.
Kenaikan suhu udara juga mengakibatkan perbedaan temperatur udara dan suhu permukaan air laut lebih besar. Perbedaan tersebut juga mendorong pergerakan vertikal uap air.
Pergerakan horizontal dan pergerakan vertikal udara yang semakin aktif tersebut menyebabkan sistem cuaca semakin kompleks, yang pada akhirnya berpotensi melahirkan siklon tropis yang dalam skala lebih besar bisa menjadi badai.
Hasil penelitian Greg J Holland dan Peter J Webster yang menyebutkan jumlah badai yang semakin meningkat selaras waktu rasanya menjadi semakin masuk akal. Rumah mesin tersebut sekarang menjadi lebih panas.
Dengan posisi geografis di wilayah "rumah mesin" iklim dunia, Indonesia pun mendapat dampaknya, yaitu kecenderungan semakin tidak teraturnya pola cuaca dan pola iklim. Namun, kita harus kembali kepada karakteristik dasar sistem iklim, yaitu chaotic.
Di sisi lain, ada upaya "menyalahkan" Matahari sebagai faktor penyebab terjadinya pemanasan global. Namun, ternyata radiasi panas Matahari tidak meningkat. Dari penelitian didapati bahwa "suhu" Matahari justru cenderung menurun—secara tidak signifikan.
Sementara itu, para ahli meteorologi masih enggan untuk membuat relasi langsung pemanasan global dengan fenomena tertentu, misalnya gelombang udara panas di sejumlah negara Eropa baru-baru ini yang terpanas pada beberapa tahun terakhir.
"Masih perlu banyak bukti untuk langsung menghubungkannya dengan pemanasan global," kata Palmer, penulis utama dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Untuk setiap fenomena cuaca atau iklim, penjelasan yang dikemukakan para ahli memang mendukung adanya relasi tersebut, tetapi mereka memilih mengatakan, most likely (sangat mungkin).
Segala proses terjadinya hujan, badai, dan angin kencang dan yang lain memang tidak secara langsung menyentuh indra kita. Namun, seperti ajaran Immanuel Kant, di sana ada sejumlah kategori pengertian yang terkait ruang dan waktu, yang menjadikannya sebuah ilmu pengetahuan.
Wednesday, August 01, 2007
IPTEK: ”Rumah Mesin” Itu Semakin Kacau
Posted by RaharjoSugengUtomo at 11:04 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment