Friday, August 24, 2007

Kesehatan: Insentif Pelayan Harus Ditingkatkan

KOMPAS - Jumat, 24 Agustus 2007

Palembang, Kompas - Pemerintah harus memberikan insentif yang menarik kepada tenaga kesehatan jika ingin meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah terpencil. Sarana primer, seperti pusat kesehatan masyarakat, dan bidan desa juga harus diperbaiki.
Demikian diutarakan Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Kemal Siregar di sela-sela Kongres Nasional X IAKMI di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (23/8). Kongres diikuti ratusan ahli kesehatan masyarakat dari seluruh Indonesia.
Menurut Kemal, persoalan mendasar pada pelayanan kesehatan di Indonesia adalah tidak ada insentif yang menarik bagi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil. Padahal, mereka hanya memerlukan kebutuhan dasar, seperti tempat tinggal yang layak, air bersih, dan sarana transportasi untuk memudahkan pekerjaan.
"Pemerintah daerah juga harus memberikan insentif. Kalau semua dibebankan ke pusat akan memberatkan. Kalau insentifnya menarik, orang asing pun mau jadi tenaga kesehatan di daerah terpencil," ujar Kemal. Dokter di daerah terpencil juga memerlukan kesempatan berkembang setelah mengabdi beberapa tahun di daerah terpencil.
"Masa depan dokter di daerah terpencil masih gelap. Seharusnya dokter yang telah bertugas tiga tahun dapat kesempatan mengambil spesialis atau pindah ke rumah sakit besar," kata Kemal. Dia menambahkan, semangat pengabdian para tenaga kesehatan di daerah terpencil tak perlu diragukan, tetapi tanpa insentif, semangat tidak cukup. Menurut Kemal, sistem pelayanan kesehatan di puskesmas dan bidan desa juga memprihatinkan.
Honor Rp 50.000
Kartini, bidan yang mengampu Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Sungai Nipah, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), mengatakan, pemerintah memberikan honor Rp 50.000 per bulan kepada dua kader kesehatan yang membantunya. Padahal, mereka bekerja lima jam per hari di poskedes dan harus siap 24 jam untuk membantu persalinan.
Selain itu, ada kader kesehatan di pos pelayanan terpadu yang diberi biaya transportasi Rp 10.000 per bulan. "Dengan honor yang tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan, kader kesehatan poskesdes sulit bertahan lama," kata Kartini.
Kader kesehatan di Sungai Nipah yang merupakan desa siaga percontohan di Kalbar juga tidak pernah memperoleh pelatihan mengenai perilaku hidup sehat maupun pengelolaan kesehatan masyarakat. Sejak direkrut, dua kader kesehatan hanya bekerja membantu bidan dalam persalinan dan pengelolaan administrasi poskesdes.
Kepala Dinas Kesehatan Kalnar Oscar Primadi mengakui, insentif untuk kader kesehatan yang dialokasikan dari APBN sangat minim. Oleh karena itu, kader kesehatan diberi insentif berupa pelayanan kesehatan gratis.
Sementara itu, 300 dari 1.336 desa di Kalimantan Tengah belum memiliki sarana pelayanan kesehatan, seperti pondok bersalin desa dan puskesmas pembantu beserta tenaga kesehatannya. Diperkirakan, semua kekurangan itu baru terpenuhi pada 2011.
Adapun sejumlah puskesmas di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, harus menyediakan obat secara swadaya karena cadangan obat, terutama antibiotik, habis.
Seperti diutarakan Kepala Puskesmas Sumbang II Dwi Mulyanto, Kamis, cadangan obat dipastikan habis akhir Agustus ini. "Biasanya pasokan obat ke puskesmas dilakukan setiap tiga bulan sekali. Tapi, sampai sekarang, sudah tiga bulan lebih, tak ada pengiriman," ujarnya.
Puskesmas dimungkinkan menyediakan obat secara swadaya. Hanya saja, pagu harga obat yang ditentukan oleh pemerintah kabupaten sangat rendah.
Secara terpisah, Kepala Gudang Farmasi Kabupaten Banyumas Sony Arsanto membenarkan, cadangan tiga macam antibiotik, yaitu amoxicillin, kotrimoxasole, dan tetrasiklin sudah habis. Ketiganya adalah kebutuhan vital puskesmas karena efek sampingnya relatif lebih sedikit. "Karena kosong, kami menggantinya dengan antibiotik jenis lainnya, seperti kloraphenicol, ciprofluxacin, dan eritromisin," kata Sony.
Untuk sementara, setiap puskesmas dapat memenuhi kekurangan pasokan dengan memanfaatkan 40 persen dana retribusi karcis puskesmas.
Sony mengakui, pengadaan obat yang menurut jadwal pada Mei 2007 belum dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Banyumas Gempol Suwandono juga mengatakan, jika terjadi keterlambatan pengadaan obat, puskesmas diperbolehkan membeli sendiri.
"Dana di setiap puskesmas cukup banyak, apalagi kami baru mengucurkan dana askes miskin Rp 4 miliar untuk seluruh puskesmas," katanya.(WAD/WHY/CAS/MDN/WIE)

0 comments: