BISNIS - Jumat, 24/08/2007 10:28 WIB
oleh : Anthony Dio Martin
Director HR Excellency
Ada kejadian menarik. Seorang pelawak terkenal Indonesia dicegat serombongan wartawan. Ia ditodong dengan pertanyaan seputar privasinya. Awalnya ia mengelak. Tapi, saking kesal dan jengkelnya, ia tidak bisa menahan diri. Lalu, dengan gesit ia menarik pistol dari balik bajunya, menarik pelatuk, dan melepaskannya ke udara. Akibat ulahnya itu, ia pun harus berurusan dengan polisi.
Di lain cerita, seorang pelawak lain lantaran hidungnya pesek disudutkan dalam sepotong talkshow. Ia ditanya seputar hidungnya. Acara yang dipandu oleh presenter pelawak juga itu penuh acara ejekan, sindir menyindir. Tapi tetap hangat dan menghibur.
Dengan enteng, pelawak berhidung pesek itu berkomentar. "Hidungku memang pesek. Tapi ada manfaatnya. Kalau tidak ada yang pesek, kamu tidak tahu mana yang indah kan?" jawabnya ringan. Jawaban filosofis yang memukau. Di sisi lain, percakapan tetap berlangsung dengan nyaman dan penonton merasa senang.
Dua contoh kecil itu menggambarkan bagaimana reaksi orang bisa berbeda dalam menanggapi situasi sosial yang tidak mengenakkan. Satu pelawak sangat emosional. Satu lagi bisa mengendalikannya dengan santai. Nah, kemampuan orang untuk mampu merasakan, mengelola dengan bijak sebuah situasi sosial itulah yang kita namakan kecerdasan sosial.
Ada cerita lain. Seorang pejabat sedang menjamu tamu dari luar negeri. Jamuan resmi itu dihadiri banyak undangan terhormat. Sang tamu tidak begitu familiar dengan makanan dan minuman yang disajikan. Sampai dirinya meminum air yang disediakan untuk cuci tangan.
Sontak tamu lain heran. Ini agak memalukan. Demi menghormati tamu agung itu, si pejabat ikutan meminum air cuci tangan itu. Menurut si pejabat, sang tamu tidak boleh kehilangan muka. Ia mencoba menunjukkan empatinya. Lagi pula air itu juga bukan air yang kotor. Nah, kemampuan bereaksi cepat menghadapi situasi sosial yang tidak menyenangkan juga membutuhkan kecerdasan sosial yang tinggi.
Bicara soal kecerdasan sosial, kita tidak bisa lepas dari pemikiran Daniel Goleman. Setelah sukses dengan buku Kecerdasan Emosional pada 2006, Goleman membuat terobosan baru seputar kecerdasan sosial. Ada yang menarik. Ada indikasi kemampuan sosial kita semakin melemah.
Banyak persoalan di seputar korosi sosial (social corrotion) maupun diskoneksi sosial (social diconnection) terjadi di era sekarang. Survei mengatakan, 40% anak-anak di AS rata-rata menonton TV selama 3 jam sehari. Rata-rata di dunia, pada 2004 (survei di 72 negara) adalah 3 jam 39 menit per hari.
Sekarang juga muncul Ipod, yang membuat orang semakin terisolasi. Mereka lebih doyan mendengarkan musik ketimbang melihat, mendengarkan dan merasakan dunia sekelilingnya.
Hal yang menarik. Berbagai temuan neuroscience justru menunjukkan bahwa otak dirancang untuk menjadi makhluk yang gemar bergaul. Beberapa penelitian mutakhir menjelaskan dalam otak kita terdapat banyak sekali neuron cermin (mirror neuron).
Ini berfungsi untuk ikut merasakan orang lain dengan seksama. Celakanya, neuron cermin ini seringkali dimatikan dengan sengaja lantaran dua alasan, yakni takut terlibat jauh dan merasa kekurangan waktu.
Ada sifat mimikri pada manusia. Mirip bunglon yang beradaptasi dengan bergonta-ganti warna. Manusia mampu beradaptasi secara emosional. Turut untuk merasakan. Hal ini merupakan insting untuk bertahan hidup, yang khas diberikan pada manusia.
Dengan mimikri, manusia mampu menilai apakah seseorang berhati tulus atau tidak, berbahaya atau aman. Otak menyesuaikan diri lalu mengirimkan sinyal.
Kecerdasan sosial muncul dalam interaksi sosial, manusia mampu saling memengaruhi. Kita bisa memengaruhi orang lain. Orang lain mampu memengaruhi emosi kita. Contohnya, seorang kasir di sebuah gerai swalayan selalu bersikap ceria. Keceriaan si kasir mampu membuat para pengunjung bahagia dan nyaman berbelanja.
Cegah diskoneksi
Ada beberapa catatan penting sebagai kesimpulan terkait dengan kecerdasan sosial dari Daniel Goleman ini.
Pertama, jangan biarkan terjadi diskoneksi sosial pada anak kita. Anak yang demikian akan bermasalah di kemudian hari.
Hati-hatilah dengan Play Station dan over menonton TV. Anak yang minus dalam relasi sosial di masa kecil, kemungkinan besar akan punya masalah dalam hidup sosialnya.
Kedua, pada dasarnya emosi kita selalu dalam kondisi 'on' (menyala) dan kita senantiasa menerimanya dari lingkungan maupun dari orang di sekitar kita. Jadi, kelilingi diri kita dengan suasana maupun orang yang positif. Mulai dari pengaturan ruangan, baik lukisan, sofa, dan pernik interior lainnya. Bila Anda bosan dengan situasi mood yang buruk, hindari mereka yang sedang ber-mood negatif. Energi negatif bisa menulari Anda kalau Anda tidak kuat.
Ketiga, bayangkan energi kita itu senantiasa mengalir. Dalam interaksi, terjadilah pertukaran energi. Bayangkan bagaimana energi kita keluar dan memengaruhi orang lain dan bagaimana orang lain memengaruhi kita. Bayangkanlah hal itu terjadi saat kita berkomunikasi. Ada saran menarik dari Nicholas Boothman dalam bukunya How to Connect in Business in 90 Seconds or Less.
Boothman mengatakan bukalah sikap tubuh kita. Lakukan kontak mata Lihat warna matanya. Dahului dengan senyum. Bicaralah dengan suara yang hangat dan lakukan penyelarasan suara maupun bahasa tubuh yang Anda berikan. Kembangkan, latih dan tingkatkan terus kemampuan interaksi sosial Anda. Terapkan dan rasakan buah-buahnya!
Friday, August 24, 2007
Kecerdasan sosial
Posted by RaharjoSugengUtomo at 1:27 PM
Labels: MOTIVASI: Kolom BISNIS Minggu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment