Friday, August 24, 2007

Urbanfest 2007: Gairah "Indie" di Panggung Licin Globalisasi

KOMPAS - Jumat, 24 Agustus 2007

Irma Tambunan dan Ester Lince Napitupulu

Independen ternyata tidak sekadar berani tampil beda. Untuk sebagian, tampil jadi tidak penting, tetapi sebagian lagi tampil masih penting karena yang hadir toh bisa berbeda dengan ideologi mereka. Namun mereka sebenarnya tengah berhadapan—menentang, atau "kucingkucingan"—dengan globalisasi.
Orang-orang indie paling banter hanya bisa men-drive 30 persen tren pasar. Pemilik modal dan media massa tetap akan menentukan," kata Kill the DJ, pemusik asal Yogyakarta yang mampu mengarahkan publiknya sejak tahun 1997, dengan proyek Parkinsound-nya saat itu.
Kalau di Jakarta dan di mana-mana, lagu-lagu The Upstairs yang ngerock disko, awalnya terdengar aneh di telinga sebagian orang. Momentumnya belum tiba saja. Radio Prambors Jakarta yang jeli melirik musik hits, mulai sering memasang lagu-lagu mereka. "Kualitas musik The Upstairs memang bagus, wajar kalau cepat jadi hits," ujar Imran Amir (50-an), mantan Music Director Prambors.
Sebagian publik pun sepakat The Upstairs layak jadi raja band indie. "Saat orang bertangis-tangisan, kami ingin berjingkrak-jingkrakan karena ingin beda. Akan tetapi, kami serius membuat setiap lagu sehingga orang jadi suka," tutur Jimi Upstairs, sang vokalis.
Bagi penganut indie, kebebasan bukan berarti asal-asalan. Logikanya jelas, yakni mereka berdiri di depan etalase budaya global. Jadi harus khas, artinya bisa beda, unik, berskala serba mega, atau berkualitas.
Ketika mengawalinya, personel The Upstairs jatuh-bangun menjalani proses penciptaan sampai rekaman. Mereka menjajakan sendiri CD lagu mereka, sampai penggemar mencari-cari CD mereka karena diproduksi terbatas.
Begitu juga White Shoes & The Couples Company. Awalnya mereka juga berusaha membangun jaringan dengan musisi dan situs musik dunia. Lagu-lagu White Shoes lalu masuk situs www.AllMusicGuides.com, yang me-review band-band dunia, sebagai yang direkomendasikan untuk didengar. Majalah Rolling Stone di Amerika Serikat akhirnya menempatkan lagu Tentang Kita dari White Shoes tadi dalam "25 Best Band in My Space". "Bener kan, cari saja ke myspace.com. Kami ini lahir di tengah kuasa-kuasa maya seperti itu. Kalau dibilang berideologi, ideologinya ya antara pasar dan kreativitas yang unik. Klik myspace.com, kita akan tahu globalisasi itu riil," kata Kill the DJ.
Pengertian tampil di situ itu tentu tidak selalu menegangkan. Varian genre, juga bunyi yang tampil, mirip belantara raya. Seperti teks SMS-lah, yang banyak menyalahi EYD, kosakatanya ngaco, dan sering tak bisa dimengerti artinya.
Jambronk n The Woles, band indie eksponen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan salah satu lagunya masuk album Kampus 24 Jam Hits, toh tetap setia bermusik meski tanpa sponsor. Latihan jalan terus. "Untuk nyewa studio dan beli peralatan, biayanya ya urunan. Dari hasil manggung, honor masuk kas untuk kegiatan operasional band," tutur Rengga, Manajer Jambronk.
Dalam konteks interaksi sosial, pengaruh-memengaruhi, budayawan Sardono W Kusumo, Rektor IKJ dan pemrakarsa gagasan pergelaran musik ala Woodstock ini mengemukakan, peradaban baru selalu hasil dari interaksi nilai-nilai berbeda.
Karena itu, kata Sardono di depan pers Rabu (22/8), peran anak muda sangat besar dalam proses terbentuknya peradaban karena mereka itu aktif, reaktif, dan tengah berusaha terus-menerus meneguhkan identitas mereka atau identitas komunitas mereka.
Situasi ini kian kuat, khususnya di wilayah perkotaan yang nyaris tak mendapat warisan budaya masa lalu. Jakarta jelas berbeda dengan kota Solo atau Yogyakarta yang publiknya memiliki warisan budaya klasik. Warga urban di Jakarta lalu mencoba mengadopsi berbagai nilai yang datang, diolah menjadi nilai-nilai baru yang sesuai dengan seleranya. Tapi Jakarta, Indonesia, atau sebutlah Asia pun, tidak bisa lepas dari interaksi global tadi.
"Argumentasi bahwa indie bertolak dari sebuah sumber kegelisahan yang sama tidak bisa dijual. Ada yang jujur mengakui niat menjadi grup yang top dan berlabel, ada yang merasa cukup dengan ’sekadar hadir sebagai alternatif’. Tapi tak sedikit yang hadir karena dalih yang ada pun tidak meyakinkan sebagai sejarah pergulatan kreatif mereka. Yang paling netral, sekali lagi, terhamparlah ekspresi dan konsep yang tidak seragam," kata musisi jazz Syaharani (Kompas, 11 Mei 2007).
Interaksi dan interrelasi yang "serba licin" dan "serba penuh perhitungan" dan bermuara dalam produk musik indie seperti itu bisa saja jadi tren. Tren baru itu diadopsi lagi, lalu membentuk hybrid culture baru lagi. Tapi Sardono tetap rada yakin bahwa setiap pribadi—oleh tuntutan kebutuhan identitas budayanya—bertanggung jawab dalam sumbangannya terhadap peradaban.
Mengapa tak bisa ditarik dalam satu argumentasi tunggal, jawabannya adalah karena globalisasi adalah kekuatan modal dan seluruh produk gaya hidup yang menyertainya mirip amuba: berganti-ganti selera dan nafsu, berganti-ganti moralnya, karena terus diarahkan kepentingan modal-kapital tadi. Ada pamrih global di sana. Karena itu, wajah globalisasi—misalnya kebutuhan megamal dan industri rekaman—juga harus licin.
Ketika minat dan kreativitas anak muda dalam berbagai ranah kebudayaan tadi diberi ruang, maka musik, busana, gaya, hobi, bahkan olahraga urban tadi terlihat ragamnya. Sebagian di antara budaya cangkokan itu akan kita lihat pada Urbanfest 2007 di Pantai Carnaval Ancol, Jumat-Minggu (24-26/8).
Urbanfest 2007 dengan semangat "all u can act!!!" akan menjadi wahana tempat kaum muda urban mengekspresikan dan menyelami macam-macam produk gaya hidup dan budaya dengan berbagai argumen tadi. Mulai dari band-band X-over indie music dengan gaya dan busana yang kebanyakan tak biasa, sampai puluhan stan urbantooth activities, seperti euro bungy, face painting, urban tattoo, dan uji nyali. Pencinta olahraga akan dipuaskan dengan urban futsal, urban 3 on 3, urban volley, soccer shooting contest. Ada juga kompetisi grafiti dan mural, kontes harajuku dan cosplay, serta kegiatan indie offroad dan modif bike.
"Kalau semua band yang berbeda ini dikumpulkan dalam Urbanfest, mungkin menjadi kejutan," ujar Jimi Upstairs.
"Orang mau pakai baju apa pun ke kampus, terserah saja. Mereka semua mencari, dan mereka bukannya sendiri, di tempat lain—dengan internet—itu sudah terjadi. Yo’i aja," kata John Malau, Koordinator Seksi Musik Urbanfest 2007.

0 comments: