Monday, June 25, 2007

Mengurai Benang Kusut PLTN

REPUBLIKA - Senin, 25 Juni 2007

Kegagalan teknologi dalam mengatasi luapan lumpur Lapindo membuat warga Semenanjung Muria, Jateng skeptis, bahkan resisten, terkait rencana pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di wilayahnya. Tapi, di sisi lain, penolakan PLTN bagai embusan angin dingin di tengah animo negara dunia ketiga yang berebut ingin memiliki teknologi canggih itu.
''Warga ragu akan kemampuan pemerintah mengelola PLTN,'' kata koordinator Forum Warga Jepara, Lilo Sunaryo. Jika ditarik ke lapis yang lebih dalam, warga ragu akan teknologi keselamatan nuklir itu sendiri. Peristiwa meledaknya reaktor nuklir Chernobyl, Rusia (1986) dan kebocoran reaktor Mihama, Jepang (2004), memberi indikasi teknologi ini relatif berada di luar jangkauan.
Indonesia bukannya tak berpengalaman mengoperasikan reaktor nuklir. Ada tiga reaktor nuklir yang dikelola Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang tersebar di Yogyakarta, Bandung, dan Serpong. Namun Lilo mengingatkan ketiga reaktor ini merupakan reaktor skala kecil dengan tingkat suhunya 100 derajat celcius hingga 150 derajat celcius. Reaktor-reaktor ini merupakan jenis reaktor air biasa yang digunakan semata-mata untuk kepentingan penelitian, seperti riset tanaman pangan.
''Itu bukan reaktor pembangkit listrik,'' kata Lilo. Reaktor pembangkit listrik memerlukan 2,5 juta liter air per menit sebagai pendingin, sebab suhu di dalamnya antara 400 derajat celcius hingga 600 derajat celcius. Jika bocor, air yang meluber bisa bersuhu hingga 3.000 derajat celcius yang ampuh melelehkan besi. Belum lagi paparan zat radioaktif ke lingkungan.
Limbah nuklir adalah isu lain yang paling dicemaskan warga. Data dari Badan Atom Internasional (IAEA) menyebutkan radiasi dari limbah reaktor nuklir akan terus memancar selama 24 ribu tahun. Katakanlah limbah tersebut disimpan rapat dalam sebuah bangunan. Musykil, kata Lilo, ada bangunan yang mampu bertahan hingga ribuan tahun. Di Chernobyl, 10 tahun setelah kebocoran reaktor, ribuan orang meninggal akibat paparan zat radioaktif.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Batan, Hudi Hastowo, meyakinkan seluruh teknologi dan manajemen yang akan diterapkan pada PLTN di Jepara mengacu pada standar internasional. Studi kelayakan pembangunan PLTN di Indonesia bahkan sudah dilakukan sejak 30 tahun lalu. Di antaranya pada 1976 dengan IAEA, 1980 dengan konsultan NIRA/ENEL (Italia), 1984 bersama konsultan BECHTEL (AS, dan 1994 bersama konsultan NEWJEC (Jepang) dengan penekanan masalah alternatif lokasi.
Anggapan reaktor yang dimiliki Indonesia seluruhnya merupakan reaktor riset skala kecil adalah keliru. Kecuali reaktor di Bandung dan Yogyakarta, reaktor di Serpong tergolong reaktor skala besar. Reaktor ini mampu membangkitkan listrik hingga 30 megawatt (MW). Para teknisi di Batan dengan sendirinya sudah berpengalaman mengelola reaktor nuklir skala besar selama 20 tahun.
Hudi mengungkapkan, masa kritis sebuah reaktor adalah saat fase menyalakan (start-up) dan mematikan (shut down). Sejak reaktor GA Siwabessy di Serpong berdiri pada 1983, teknisi Batan sudah berkali-kali melewati fase itu. Hudi menyatakan shut down di reaktor Serpong dilakukan setiap 1,5 tahun dan masa kritis reaktor sudah berlalu pada 1987.
Teknologi reaktor yang akan diterapkan di PLTN Semenanjung Muria, menurut dia, dipersiapkan untuk memberi jaminan keselamatan tingkat tinggi. Meski belum diputuskan, reaktor yang bakal digunakan kemungkinan besar jenis pressurized water reactor (PWR). Reaktor ini memiliki kemampuan melawan reaksi fusi berantai tak terkontrol yang lazim diistilahkan Sindrom Cina. Reaktor bisa secara otomatis mati ketika Sindrom Cina terjadi.
Bagi pemerintah, mengulur-ngulur waktu pendirian PLTN bukanlah pilihan. Krisis pasokan listrik Jawa-Bali dan bencana lingkungan tinggal menunggu waktu andai PLTN tak segera dibangun. Berdasarkan hitungan PLN, kata Hudi, jumlah batu bara yang dibutuhkan untuk memasok pembangkit listrik pada 2026 akan mencapai 142 juta ton per tahun atau tiga kali lipat jumlah saat ini. Angkanya akan terus meroket pada tahun-tahun berikutnya.
Menurut koordinator Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Asia Tenggara, Nur Hidayati, untuk mengatasi ancaman defisit listrik, pemerintah dan swasta seharusnya tak bergantung sepenuhnya pada batu bara. Tetapi juga menggiatkan pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif seperti angin, gelombang laut, atau panas bumi.
Jerman, misalnya, sudah memanfaatkan energi angin hingga 6 GW. Di Kanada, energi angin telah memasok kebutuhan 12 persen energi nasional. Indonesia sendiri adalah surga energi gelombang laut. Taruhlah satu kilometer garis pantai mampu menghasilkan 7,5 MW listrik, maka 81.290 km garis pantai yang dimiliki Indonesia bisa membangkitkan 60 hingga 70 GW listrik. Ini berkali-kali lipat dari total listrik yang dihasilkan PLN pada 2004 yakni 24 GW atau pada 2010 yang diprediksi masih berkisar pada angka 38 GW. imy

0 comments: