Monday, June 25, 2007

ANALISIS EKONOMI: Tuntutan Pembangunan Infrastruktur

KOMPAS - Senin, 25 Juni 2007

FAISAL BASRI

Sudah dua kali Infrastructure Summit digelar selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Beberapa paket kebijakan juga telah dikeluarkan untuk mempercepat pembangunan berbagai proyek infrastruktur.
Namun, tampaknya sejauh ini perbaikan berlangsung sangat lamban. Perkembangan pembangunan infrastruktur sangat boleh jadi sudah mencapai suatu titik kritis, yang mana investasi baru lebih kecil dari tingkat penyusutan. Stok infrastruktur yang ada bukannya bertambah, melainkan justru menyusut.
Padahal, untuk menopang percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, peningkatan stok infrastruktur merupakan salah satu persyaratan mutlak.
Perbaikan infrastruktur juga menjadi faktor sangat penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dan memadukan berbagai potensi sumber daya sehingga daya saing perekonomian terus meningkat.
Bahkan, tuntutan dewasa ini bukan sekadar nominal dari perbaikan kuantitas dan kualitas semata, melainkan juga kecepatan perbaikannya paling tidak harus sama dengan rata-rata negara tetangga, dan negara-negara berkembang yang menjadi pesaing kita.
Berdasarkan World Competitiveness Yearbook 2007 keluaran International Institute for Management Development (IMD), peringkat daya saing Indonesia berada di urutan kedua terbawah dari 55 negara yang disurvei.
Peringkat Indonesia
Posisi kita hanya lebih baik daripada Venezuela. Dalam empat tahun terakhir peringkat Indonesia terus-menerus menurun, dari ke-49 pada tahun 2003 dan 2004 menjadi ke-50 pada tahun 2005, ke-52 pada tahun 2006, dan ke-54 pada tahun 2007.
Data yang digunakan IMD dalam menghitung daya saing keseluruhan dikelompokkan ke dalam empat faktor utama, yakni kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Peringkat terbaik yang bisa dicapai Indonesia adalah pada faktor kinerja ekonomi, sedangkan yang terburuk adalah pada kelompok infrastruktur. Hal ini mencerminkan betapa keadaan infrastruktur kita yang buruk memberikan sumbangan besar bagi kemerosotan daya saing keseluruhan.
Keterbelakangan kondisi infrastruktur di Indonesia boleh dikatakan terjadi di segala bidang. Sebagai contoh, di bidang kepelabuhanan, tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia berada pada urutan keempat terbawah setelah Vietnam, Filipina, dan Peru (Wilson, Mann, dan Otsuka, 2004).
Sementara itu, negara-negara tetangga kita berada di peringkat "terhormat", misalnya Singapura di urutan pertama, Malaysia di urutan kedelapan, dan Thailand di urutan kesepuluh.
Rendahnya tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia ditambah dengan praktik persaingan tidak sehat dan beragam praktik ekonomi biaya tinggi yang legal maupun ilegal menyebabkan ongkos angkutan laut, khususnya untuk kontainer, relatif sangat mahal.
Kalangan pengguna Pelabuhan Tanjung Priok sudah berulang kali mengeluh. Sudah sering pula para pejabat menunjukkan respons positif untuk menanggulangi aneka hambatan tersebut, antara lain dengan melakukan inspeksi mendadak.
Kita berharap kunjungan Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan minggu lalu ke Pelabuhan Tanjung Priok betul-betul dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan menyeluruh dan sistemik.
Bukan hanya sebatas pembenahan di dalam pelabuhan, melainkan juga penataan sistem transportasi terpadu yang efisien untuk menunjang kelancaran arus barang.
Kelancaran arus barang kian penting untuk meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai bagian dari sistem jaringan produksi global sehingga tak hanya menjadi penonton dalam proses integrasi ekonomi regional.
Berbagai kajian terbaru menunjukkan bahwa kawasan yang paling dinamis di dunia adalah Asia Timur. Perusahaan-perusahaan multinasional menyemut di kawasan ini dengan mendirikan pabrik yang menghasilkan barang jadi maupun suku cadang dan komponen.
Kinerja ekspor yang sangat cemerlang dari negara-negara Asia Timur tak lepas dari keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional ini.
Lebih dari separuh ekspor China, misalnya, adalah hasil produksi perusahaan-perusahaan multinasional. Adalah keberadaan perusahaan multinasional pula yang membuat komposisi ekspor negara-negara Asia Timur menghasilkan nilai tambah yang kian tinggi dan berkandungan teknologi tinggi pula.
Yang cukup mencengangkan adalah Filipina. Selama ini Filipina seolah tersisih dari kancah persaingan di Asia Tenggara. Namun, kenyataannya, dewasa ini lebih dari separuh ekspor Filipina disumbangkan oleh produk-produk permesinan.
Semakin tersingkir
Padahal, pada paruh pertama 1990-an, sumbangan permesinan terhadap ekspor total Filipina masih sekitar 20 persen saja. Hal serupa juga dialami Malaysia. Tentu sangat ironis menyaksikan keberadaan Indonesia yang ekspor permesinannya hanya menyumbang belasan persen saja.
Hal serupa dijumpai pula dari sumbangan ekspor suku cadang dan komponen terhadap ekspor total yang lagi-lagi ternyata Indonesia jauh tertinggal dari Filipina, Malaysia, dan Thailand (World Bank, An East Asia Renaissance, 2007).
Kondisi itu menyebabkan Indonesia semakin tersingkir dari dinamika regional. Tatkala negara-negara Asia Timur menunjukkan proses konvergensi sebagaimana ditunjukkan oleh komposisi ekspor yang kian serupa dan semakin bernilai tambah dan berteknologi tinggi, Indonesia masih saja berkutat dengan ekspor yang didominasi produk-produk yang berbasis sumber daya alam yang bernilai tambah dan berteknologi rendah.
Memang tak ada salahnya komposisi ekspor kita jauh berbeda dengan negara-negara tetangga yang tak dikaruniai sumber daya alam sekaya kita. Namun, jika komposisi ekspor dan struktur ekonomi yang terbentuk justru menghasilkan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan yang jauh lebih lambat dibandingkan negara-negara tetangga, pasti ada yang salah pada diri kita. Salah satu penyebab dari kesalahan tersebut ialah karena kita abai membangun infrastruktur.
Betapa tidak. Bagaimana mungkin akan bermunculan pabrik-pabrik baru yang menghasilkan suku cadang, komponen, permesinan, dan produk lain yang menuntut sentuhan teknologi kian tinggi dalam jalinan sistem jaringan produksi global, jika ketersediaan infrastruktur tak mendukung.
Pelabuhan dan transportasi darat yang buruk menyebabkan pengiriman barang dengan kontainer dari pabrik ke pelabuhan hanya bisa dilakukan sekali dalam sehari.
Kesemrawutan penanganan kontainer di pelabuhan dan pelayanan yang buruk dari berbagai instansi terkait kerap menyebabkan keterlambatan pengiriman dan ketibaan. Padahal, faktor ketepatan waktu merupakan persyaratan terpenting bagi sistem kanban atau just in time dalam jaringan produksi global.
Belum lagi persoalan listrik yang tak memadai dari segi jumlah pasokan dan keandalan. Juga pasokan gas dan air bersih. Kesemua inilah yang pada akhirnya menyebabkan kos tetap (fixed cost) dalam berusaha di Indonesia menjadi sangat mahal dan pada gilirannya mengikis daya saing perekonomian.
Yang paling menderita dari keadaan infrastruktur yang buruk adalah sektor industri manufaktur dan sektor pertanian. Tak heran jika kinerja kedua sektor ini tetap saja jauh tertinggal dari sektor-sektor jasa (non-tradable).
Mengandalkan pada Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 saja tentu tak cukup karena sebagian besar isinya yang menyangkut infrastruktur masih terbatas pada aspek kelembagaan.
Dengan kerangka regulasi yang inovatif dan mengetengahkan skala prioritas yang tajam, pembangunan infrastruktur niscaya akan banyak berperan untuk mendongkrak daya saing dan memacu pembangunan wilayah yang lebih merata, dan menyejahterakan rakyat kebanyakan.

0 comments: