KOMPAS - Rabu, 30 Mei 2007
Ketika menghadiri Forum Pembaca Kompas di Yogyakarta hari Minggu (27/5), seorang pembaca melontarkan kritik bahwa media seperti Kompas terlalu membesar-besarkan ancaman flu burung. Akibatnya, pasar burung di Yogyakarta pun sepi pembeli.
Terpaksa dijelaskan bahwa memang ancaman flu burung teramat sangat serius, terutama di Indonesia yang pemerintahnya tidak melakukan pekerjaan rumah sebaik di Thailand dan Vietnam. Jika sampai virus flu burung H5N1 bermutasi dan menular dari manusia ke manusia, tidak mustahil Indonesia dapat menjadi hot zone bagi merebaknya pandemi flu burung yang berpotensi menewaskan jutaan manusia.
Laurie Garrett, wartawati Amerika pemenang Pulitzer dan penulis buku The Coming Plague, di jurnal Foreign Affairs edisi Juli/Agustus 2005 menulis artikel utama tentang ancaman flu burung bagi umat manusia berjudul "The Next Pandemic?" Ia mengawali tulisannya dengan kalimat-kalimat profetik, "Para ilmuwan telah lama meramalkan munculnya suatu virus influenza yang sanggup menginfeksi 40 persen penduduk dunia dan membunuh jumlah yang tak terbayangkan. Akhir-akhir ini, sebuah strain baru, yaitu virus flu burung H5N1, telah menunjukkan semua tanda untuk menjadi penyakit tersebut. Kedahsyatannya dapat dibandingkan dengan pandemi flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menewaskan 50 juta orang selama 18 bulan."
Tak kunjung datang
Mungkin Garrett terlalu berlebihan khawatir karena hingga kini pandemi flu burung tak kunjung datang. Ketika mengikuti Konferensi Tahunan Ke-2 Jaringan Riset Klinis Influenza Asia Tenggara di Bangkok, 16-18 Mei lalu, memang diakui oleh Prof Jeremy Farrar, Direktur Network Coordinating Center (NCC) Unit Riset Klinis Universitas Oxford (OUCRU) di Vietnam, jumlah manusia yang meninggal karena flu burung sejak 1997 hingga saat ini tak sampai 200 orang. Sementara malaria menewaskan 20 juta, TBC 40 juta, HIV/AIDS 15 juta, diare 35 juta, dan penyakit kardiovaskuler 20 juta orang.
Namun, dikatakan, masyarakat dunia perlu waspada, walaupun korban flu burung masih amat sedikit, potensi merajalelanya penyakit ini masih tetap besar, terutama di wilayah Asia Tenggara.
Sepuluh tahun lalu, untuk pertama kali virus flu H5N1 menular dari ternak unggas ke manusia di Guangdong, China. Disusul pada tahun yang sama, 18 warga Hongkong terinfeksi dan enam di antaranya meninggal. Sejak itu virus tersebut telah bermutasi menjadi lebih ganas dan mematikan. Per 1 Mei 2005, sedikitnya 109 orang dilaporkan terinfeksi virus H5N1, 59 di antaranya (54 persen) meninggal. Per 24 Mei 2007 tercatat 307 kasus infeksi flu burung pada manusia, 186 orang (61 persen) meninggal.
Flu burung pertama kali berjangkit di Vietnam tahun 2003 pada tiga warganya dan menewaskan ketiganya. Berlanjut pada tahun 2004 dengan 29 kasus dan 20 kematian (49 persen), melonjak jadi 61 kasus namun hanya 19 kematian (31 persen). Tahun 2006 dan 2007 tidak terjadi sama sekali kasus flu burung pada manusia di Vietnam karena pemerintahnya amat ketat mengawasi perunggasannya. Total ada 93 kasus dan 42 meninggal (45 persen).
Sementara di Thailand, flu burung mulai merebak tahun 2004, dengan 17 kasus 12 meninggal (71 persen), disusul tahun 2005 dengan lima kasus dan dua meninggal (40 persen), dan tahun 2006 menewaskan semua dari tiga orang yang terinfeksi. Namun sejak Januari 2007 sama sekali tidak ada kasus flu burung pada manusia di Thailand. Total ada 25 kasus dan 17 meninggal (68 persen).
Bandingkan dengan Indonesia yang, walaupun baru mulai terjangkit flu burung tahun 2005, hingga kini memegang rekor dengan jumlah kasus (97 orang) dan jumlah yang meninggal (77 orang), terbanyak di dunia. Case fatality rate (CFR) flu burung di Indonesia tergolong amat tinggi, yaitu 79 persen, hanya di bawah Kamboja dan Laos, yang masing-masing mencapai 100 persen untuk tujuh dan dua kasus.
Resistensi obat
Tingginya CFR flu burung di Indonesia, menurut dr Santoso Soeroso dari Rumah Sakit Sulianti Saroso, Jakarta, karena kelambatan deteksi dan pemberian obat ketika pasien sudah dirawat di rumah sakit. Obat standar oseltamivir (Tamiflu) seharusnya digunakan ketika gejala muncul 48 jam sebelumnya, bahkan idealnya dalam tenggat 12 jam setelah penyakit mulai.
Dalam pertemuan di Bangkok, ada hal yang cukup mengecutkan hati, karena ternyata masalah resistensi virus H5N1 terhadap obat antivirus seperti oseltamivir justru mulai terjadi, walaupun masih jarang. Di antaranya pada awal tahun ini ditemukan pada dua pasien flu burung di Mesir, di mana terjadi mutasi genetik yang mengurangi efektivitas oseltamivir. Hal ini dipaparkan oleh Menno de Jong dari OUCRU, Ho Chi Minh City, Vietnam. Untunglah kebanyakan dari virus H5N1 yang resisten terhadap oseltamivir masih peka terhadap obat yang sekelas (golongan neuraminidase), yaitu zanamivir (Relenza).
Pertemuan jaringan riset klinis flu burung di Bangkok yang tahun lalu diadakan di Vietnam dan tahun depan di Bali merupakan manifestasi seriusnya perhatian dunia internasional terhadap ancaman pandemi flu burung, khususnya di Asia Tenggara. Belasan rumah sakit serta lembaga riset biomedis di Jakarta, Bangkok, dan Vietnam dilibatkan untuk meneliti berbagai aspek epidemiologi, penatalaksanaan pasien, hingga riset farmakologi dan virologi. Masalah resistensi dan efektivitas obat-obat seperti oseltamivir dan zanamivir akan terus dikaji.
Mudah-mudahan upaya para ilmuwan untuk berpacu dengan waktu melawan virus H5N1, termasuk mencegahnya dengan vaksin, akan membuahkan hasil. Dan yang terpenting, putra-putri Indonesia juga ikut berperan di dalamnya sehingga aib sebagai negara dengan rekor kasus dan korban flu burung dapat terimpaskan.
Wednesday, May 30, 2007
10 Tahun Virus H5N1 Memangsa Manusia
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:28 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment