KOMPAS - Rabu, 30 Mei 2007
Neli triana
"Jur...ajur....kabeh. Wong Porong ajur kabeh." (Hancur...hancur semua. Orang Porong hancur semua). Demikian nyanyian warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, di depan patung Soekarno dan Mohammad Hatta di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (29/5), bertepatan dengan "ulang tahun" satu tahun kasus lumpur Lapindo.
Sejak Senin (28/5), warga Porong kembali berdatangan ke Jakarta. Untuk kedua kalinya, mereka "mengadu" ke pendiri negeri, patung para proklamator Soekarno-Hatta. Patung proklamator "menjadi pemimpin upacara" peringatan tenggelamnya kehidupan mereka karena luberan lumpur PT Lapindo Brantas.
Selasa itu sekitar pukul 12.30, mundur hampir tiga jam dari jadwal yang dijanjikan, upacara baru dapat dimulai. Upacara serupa juga dilakukan perwakilan warga di Porong, Sidoarjo, pada waktu yang bersamaan. Para peserta upacara mewakili lebih dari 20.000 jiwa warga Porong yang terpaksa dicabut dari tempat tinggal dan hidup dalam pengungsian sejak 29 Mei 2006, persis satu tahun.
Di Tugu Proklamasi, kali ini warga korban lumpur tidak sendirian. Hadir pula sekitar 20 orang perwakilan masyarakat yang empat tahun terakhir hidup terombang-ambing, mirip korban lumpur. Mereka berasal dari Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT Dirgantara Indonesia (DI).
Total peserta upacara tersebut 80 orang. Mereka sengaja datang dari Porong dan Bandung.
Zulkifli (50), koordinator aksi memulai upacara yang unik, serba terbalik.
Para peserta tidak berbaris menghadap pemimpin upacara. Mereka memilih berada di depan patung pemimpin, proklamator. Doa yang biasanya dilakukan pada akhir upacara, sengaja dibacakan terlebih dahulu. Mereka pun kembali mempertanyakan sebab belum tuntasnya masalah yang dihadapi.
Selanjutnya, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan mengacungkan kepalan tangan ke udara, penuh semangat dipompa amarah.
Agus (39), warga Porong, berkesempatan memberikan kesaksian, menggantikan pidato pemimpin upacara. Menurut dia, selama ini setiap kelompok masyarakat yang ditimpa masalah sengaja dikotak-kotakkan. Padahal mereka sama-sama terkatung-katung dan dibohongi pemerintah. "Kami sudah muak. Kami bersama dan bersatu menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah," teriak Agus.
Teriakan Agus disambut acungan tangan terkepal korban lumpur dan mantan karyawan PT DI.
Dedi Supriyatna (45), mantan Kepala Bidang Product Cost PT DI turut memberi kesaksikan. Menurut dia, keikutsertaan karyawan PT DI korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 11 Juli 2003 dalam peringatan satu tahun lumpur Lapindo, untuk menunjukkan solidaritas sebagai sesama warga yang teraniaya.
Dedi menguraikan, hingga kini masih tersisa sekitar 3.500 mantan karyawan PT DI yang terkatung-katung hidupnya. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah dua kali menjanjikan penyelesaian kasus PT DI secepatnya. Kasus PT DI pun sudah masuk ke pembahasan DPR RI, bahkan sudah ada pencanangan adanya anggaran khusus bagi mereka dalam APBN Perubahan tahun 2006. Namun semua hanya sebatas wacana.
Kondisi serupa dialami korban lumpur. Zulkifli mengungkapkan, Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 yang memberikan batas akhir pembayaran ganti rugi oleh Lapindo Brantas Inc hingga Maret 2007, tidak terealisasi. Begitu pun dengan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Pembayaran yang dibatasi hingga April 2007, kembali terlewat.
Terakhir, risalah 24 April 2007, khususnya menyangkut warga lumpur yang berasal dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perutas) I. Target dua minggu realisasi risalah yang dibuat di hadapan Jusuf Kalla serta direstui Presiden, juga tidak terwujud.
Akan terus beraksi
Para korban bencana tersebut kini tak mau lagi hanya bergantung pada pemerintah. Mereka berjanji akan terus beraksi menuntut keadilan, sebagai hak mereka sesama warga negara.
Hilangnya rasa percaya itu ditandai dengan pembakaran semua dokumen, termasuk Keppres, undang-undang terkait, risalah, maupun keputusan yang dibuat bersama pemerintah.
Tabur bunga
Satu tahun semburan lumpur di Porong yang jatuh pada Selasa kemarin, juga diperingati korban lumpur dari Perumtas I Desa Renokenongo. Peringatan juga dilakukan 1.000 warga empat desa di luar peta terdampak lumpur yaitu Desa Mindi (Kecamatan Porong), Desa Pejarakan, Besuki dan Kedungcangkring ( Kecamatan Jabon).
Warga korban lumpur Perumtas I memperingati semburan lumpur dengan menabur bunga dan berdoa di kawasan bekas rumah mereka, diiringi isak tangis.. Sebagian warga juga pergi ke bekas rumah mereka hanya untuk melihat. Beberapa warga sempat mengambil genteng di bekas rumah mereka untuk dijadikan kenang-kenangan.
Di samping berharap ganti rugi segera dibayarkan agar warga bisa menata kembali kehidupannya, warga juga berharap lumpur yang telah menyengsarakan ribuan warga segera berhenti menyembur. “Kami berharap, Allah segera menghentikan lumpur yang menyengsarakan warga," tutur Nyonya Narno, seorang warga korban lumpur Lapindo, sambil menangis.
Sekitar 1.000 warga empat desa yang berunjuk rasa ini sempat menghentikan seluruh aktivitas penanggulangan lumpur di kanal pembuang lumpur dan jalur pembuangan lumpur.
Di posko pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo, warga korban lumpur dari Renokenongo yang masih bertahan di pengungsian mengadakan istighotsah. Setelah istighotsah, ibu-ibu dari Renokenongo menyanyikan lagu berjudul Ibu Pertiwi Menangis yang diciptakan sendiri oleh pengungsi dari Renokenongo di Pasar Baru Porong.
Masih dalam kaitan satu tahun lumpur, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Barisan Nasional, di antaranya Shalahuddin Wahid, mantan Gubernur Jawa Timur M Noer, dan penyanyi Acil Bimbo mendatangi acara refleksi satu tahun semburan lumpur lapindo yang diadakan di posko pengungsian. Mereka juga mendengarkan keluhan pengungsi.
Di Makassar, aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dan warga di Kota Makassar melakukan aksi solidaritas untuk korban lumpur Lapindo. Selain mengecam lambannya penanganan pemerintah dan pihak Lapindo Brantas atas bencana lumpur ini, mereka juga mengumpulkan bantuan untuk para korban. Aksi solidaritas ini dilakukan di ujung jalan Tol Reformasi.. (apa/che/ren)
Wednesday, May 30, 2007
Lumpur Lapindo: Ketika Pemerintah Tak Lagi Dipercaya
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:26 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment