KOMPAS - Senin, 18 Juni 2007
FAISAL BASRI
Paket kebijakan terbaru yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 diumumkan tatkala pemerintah belum juga kunjung mampu menjawab persoalan kenaikan harga minyak goreng. Masalah lain yang terus menggantung tanpa kerangka penyelesaian yang menyeluruh dan tuntas adalah kasus lumpur Lapindo.
Banyak pula kebijakan dan program, ataupun proyek yang telah dicanangkan, tetapi hingga kini terbengkalai. Pengadaan benih padi hibrida untuk meningkatkan produksi beras sebesar dua juta ton secara instan dan bibit untuk tanaman perkebunan, seperti karet, dan kelapa sawit.
Kita pun tak tahu lagi nasib penanaman pohon jarak jutaan hektar untuk menghasilkan bahan bakar nabati. Berbagai peraturan yang sudah lama ditunggu-tunggu, tetapi belum juga dikeluarkan, adalah peraturan presiden tentang pengaturan pasar modern dan pasar rakyat.
Di tengah penantian panjang akan harapan terjadinya perbaikan nyata yang betul-betul bisa dirasakan masyarakat dan dunia usaha dengan cepat, Inpres No 6/2007 terasa hambar. Inpres ini juga tak bisa diharapkan terlalu banyak untuk mengobati perasaan fatigue, masyarakat, dunia usaha, dan mungkin juga jajaran birokrasi.
Kalau benar bahwa dewasa ini yang tengah terjadi mengarah pada kondisi ketaktertataan (ungoverned), sudah barang tentu Inpres No 6/2007 tidak bisa dijadikan obat mujarab. Inpres ini akan menjadi hanya sebatas upaya mengatasi persoalan-persoalan kekinian. Tantangannya adalah bagaimana mengelola semua sumber daya yang kita miliki untuk menjamin kesinambungan pertumbuhan jangka panjang yang menyejahterakan rakyat pada era dunia datar (the world is flat).
Dalam situasi demikian, ada dua faktor kunci yang menjamin keberhasilan. Pertama, memacu daya saing nasional. Dalam arti, bukan sekadar membuat produk barang dan jasa bisa bersaing di pasar luar negeri dan domestik, tetapi juga bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperluas lapangan kerja. Kedua, mengoptimalkan secara simultan peran pasar dan negara, bukan justru mendikotomikan atau mempertentangkan keduanya.
Cakupannya lebih luas
Akan tetapi, dengan segala kekurangannya, harus diakui bahwa Inpres No 6/2007 lebih padat dan terukur dibandingkan dengan Inpres No 3/2006, terutama pencantuman sasaran pada setiap tindakan walau masih sangat bersifat kualitatif. Inpres No 6/2007 juga menunjukkan saling keterkaitan di antara empat unsur utama paket ini, yaitu iklim investasi, reformasi sektor keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dalam kelompok kebijakan perbaikan iklim investasi terdapat dua sasaran kuantitatif yang cukup ambisius. Pertama, waktu proses pendirian perusahaan dan izin usaha menjadi maksimal 25 hari. Kedua, percepatan proses pelayanan perpajakan yang jauh lebih singkat dengan prosedur yang lebih ringkas.
Selain itu, proses pengeluaran barang melalui jalur hijau menjadi rata-rata 30 menit dan jalur merah menjadi rata-rata tiga hari. Timbul pertanyaan, mengapa digunakan istilah rata-rata, bukan maksimal seperti dalam proses pelayanan perpajakan. Bukankah penggunaan kata rata-rata mempersulit penilaian pencapaian?
Berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan Inpres No 3/2006, evaluasi atas pencapaian di bidang kepabeanan terkendala karena istilah yang multitafsir. Persoalan serupa tampaknya berpotensi muncul kembali karena dalam kondisi sekarang amat sulit untuk mencapai target tersebut, mengingat keterbatasan infrastruktur penunjang yang ada di pelabuhan.
Di bidang reformasi sektor keuangan, titik berat diarahkan untuk mengoptimalkan mobilisasi semua potensi sumber pendanaan domestik dengan meningkatkan efisiensi, serta memperkuat tata kelola yang baik, dan jaring pengaman sektor keuangan. Hasilnya tidak bisa dicapai dalam jangka pendek mengingat hampir semua rencana tindak baru sebatas penyusunan konsep umum dan kerangka regulasi.
Dengan penguatan fondasi sektor keuangan dan diversifikasi sumber pendanaan, diharapkan dalam jangka menengah struktur industri keuangan akan lebih tangguh. Dengan demikian, tak lagi terlalu bergantung pada perbankan konvensional. Serupa dengan paket kebijakan di bidang keuangan, paket percepatan pembangunan infrastruktur pun sarat dengan agenda penguatan kelembagaan.
Hal ini sangat penting agar proyek-proyek infrastruktur tak lagi jadi sasaran "bancakan" kelompok-kelompok kepentingan, pada gilirannya membuat marak kembali praktik ekonomi biaya tinggi. Pembangunan infrastruktur yang sehat dan efisien menjadi salah satu penopang kesinambungan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kita patut prihatin, sejauh ini belanja untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat rendah dengan kecenderungan yang menurun. Tahun 1998 porsi belanja untuk pembangunan infrastruktur sebesar 3,1 persen dari produk domestik bruto dan turun menjadi 2,7 persen tahun 2003.
Bandingkan dengan China untuk periode yang sama yang melonjak dari 2,6 persen menjadi 7,3 persen, Vietnam dari 9,8 persen menjadi 9,9 persen, dan Thailand dari 5,3 persen menjadi 15,4 persen (Bank Dunia, An East Asian Renaissance, 2007).
Kemerosotan ini ditengarai merupakan salah satu penyebab terpenting dari kemerosotan daya saing perekonomian Indonesia pascakrisis. Oleh karena itu, pada era dunia datar sumber daya saing bergeser dari biaya variabel ke biaya tetap. Unsur kedua ini sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur yang andal dan efisien.
UMKM dan amanat konstitusi
Selama ini sudah banyak produk undang-undang dan kebijakan pemerintah untuk memajukan UMKM. Paket kebijakan baru masih berkutat pada persoalan sumber pembiayaan, penjaminan kredit, akses pasar, peningkatan sumber daya manusia, dan kerangka regulasi. Dalam konteks regulasi hanya termaktub dua tindakan, yakni insentif perpajakan dan RUU tentang UMKM.
Banyak kalangan makin meyakini bahwa yang lebih mendesak untuk memajukan UMKM ialah menjamin mereka terlepas dari praktik-praktik yang merugikan karena posisi tawarnya yang lemah. Bagaimana bisa memenuhi hak ekonomi mereka sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara. Di antaranya perlindungan dari praktik persaingan usaha tidak sehat dan perlakuan dari pelaku-pelaku usaha besar yang tidak patut.
Apa yang baru dari Inpres No 6/2007?
Tampaknya pemerintah terobsesi pemikiran Hernando de Soto tentang nestapa pelaku ekonomi kecil yang sebenarnya memiliki kekayaan atau aset, tetapi tak bisa mendayagunakannya sebagai penopang modal usaha. Untuk menerabas rintangan ini, pemerintah akan memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM, antara lain mempercepat penerbitan sertifikat tanah bagi UMKM.
Apabila dilihat dari penetapan target sertifikasi tanah UMKM sebanyak 23.240 untuk tahun 2007, tampaknya tak akan banyak berarti, apalagi yang menjadi sasaran diperkirakan terbatas pada UMKM tertentu yang berada di kota saja.
Sepatutnya yang menjadi sasaran utama program sertifikasi tanah adalah puluhan juta petani dan perkebunan rakyat. Namun bukan dengan cara sebagaimana dianjurkan De Soto dan Bank Dunia, melainkan dengan model sertifikasi kolektif tanpa membuat kepemilikan individu hilang. Dengan model ini kita membangun kekuatan ekonomi rakyat secara nyata. Rakyatlah yang dipacu untuk mengakumulasi kekayaan dan modal, bukan kekuatan kapitalis semata.
Yang tak kalah mendesak ialah mencabut segala bentuk kebijakan pemerintah yang justru merugikan usaha rakyat. Misalnya pemberlakuan kenaikan bea keluar (pungutan ekspor) CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen tanpa ada rencana menyisihkan sebagian dana yang didapat pemerintah dari kebijakan itu untuk petani rakyat.
Pembukaan UUD 1945 dan para pendiri Republik secara tegas mengamanatkan terbentuknya perekonomian pasar sosial, yang mengacu pada kesejahteraan yang merata ke seluruh rakyatnya. Bukan kesejahteraan orang per orang atau didominasi kaum kapitalis.
Monday, June 18, 2007
ANALISIS EKONOMI: Paket Kebijakan dan UMKM
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:00 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment