Monday, June 18, 2007

Izin 9 HPH Grup Jayanti dicabut

BISNIS - Senin, 18/06/2007

JAKARTA: Izin sembilan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan milik Grup Jayanti dicabut pemerintah, karena menunggak dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan. Kelompok usaha itu tercatat memiliki usaha yang paling banyak izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang dicabut Departemen Kehutanan (Dephut) dari total 15 perusahaan. Mereka dinilai telah menunggak dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH) sebesar Rp40,7 miliar dan US$13,4 juta.Menteri Kehutanan M.S. Kaban mengemukakan ke-15 perusahaan itu sudah mendapat tiga kali peringatan. Namun, mereka tidak memberikan tanggapan dan menyelesaikan kewajibannya."Jadi, tinggal dieksekusi saja. Kami juga akan menuntut secara pidana," tegasnya pekan lalu.Selain sembilan perusahaan milik Grup Jayanti, enam perusahaan yang izinnya dicabut adalah PT Risana Indah Forest milik Grup KLI (Papua), PT Kayu Perkasa Bumi Makmur milik Grup Alas Kusuma (Papua), PT Digul Dayasakti (Papua), PT Damai Setiatama Tbr (Papua), dan PT Kebun Sari Putra (Papua).Menhut tidak menjelaskan secara terinci tentang proses pidana dan perdata yang akan dilakukan terhadap perusahaan penunggak PSDH dan DR itu. "Langkah hukum yang akan diambil masih dibahas Biro Hukum Dephut."Langkah berikutnya yang akan dilakukan, menurut Kaban, adalah mengambil alih izin HPH itu. Dia menampik kemungkinan perusahaan yang izinnya dicabut untuk beroperasi kembali bila mereka mampu menyelesaikan kewajibannya. "Mereka tidak ada niat baik menyelesaikan kewajibannya. Jadi, kami tetap cabut izinnya."Bisnis berusaha mengkonfirmasi soal pencabutan izin HPH itu ke Grup Jayanti. Namun, sejumlah eksekutif perusahaan itu tidak bersedia memberi komentar. Begitu pula dengan Direktur Kehutanan Grup Jayanti Nindyo Prantoro yang menolak memperjelas soal tersebut.Utang macetSelain tidak membayar PSDH dan DR, perusahaan milik kelompok Jayanti tercatat memiliki kredit macet. PT Artika Optima Inti, misalnya, masih memiliki kewajiban dengan kategori utang macet di Bank Mandiri sebesar Rp623,2 miliar.Sementara itu, total kewajiban Grup Jayanti ke Bank Mandiri per 31 Maret 2006 tercatat mencapai Rp826,96 miliar. Bank BUMN itu menilai kelompok tersebut selama ini tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya. Selain di PT Artika Optima, utang mereka tersebar di Biak Mina Jaya (Rp129,85 miliar), Djajanti Plaza (Rp9,72 miliar), Djarma Aru (22,07), Hasil Tambak Ambonia (Rp12,16 miliar), Kinantan Sena Putra, dan Nusa Prima Pratama Industri (Rp13,61 miliar).Direktur Bank Mandiri Riswinandi mengungkapkan pembekukan izin HPH Grup Jayanti mungkin akan berpengaruh terhadap pengembalian utang kelompok usaha itu. "Kredit Jayanti sudah tidak mungkin direstrukturisasi. Kami berupaya ada pembayaran tunai dari penjualan aset-aset noninti mereka," katanya kepada Bisnis, kemarin.Menurut Riswinandi, Grup Jayanti telah memberi komitmen untuk segera menjual aset yang tidak dijaminkan guna memenuhi sebagian kewa-jiban. "Perhatian kami adalah bagai-mana agar mereka segera bayar. Pencabutan izin HPH Jayanti tentu akan berpengaruh terhadap pengembalian utang itu."Dirjen Bina Produksi Kehutanan (BPK) Dephut, Hadi Susanto Pasaribu, menjelaskan usulan pencabutan izin 15 perusahaan penunggak PSDH dan DR diajukan sejak awal 2007. "Penilaian kami sudah final. Perusahaan itu tidak punya niat baik menyelesaikan kewajibannya membayar PSDH dan DR."Namun, saat ditanya soal legalitas pencabutan izin itu, Hadi mengelak menjawabnya. "Soal legalitas pencabutan izin operasional berada pada Sekjen Dephut, atau paling tidak biro hukum."Berbeda dengan Menhut Kaban dan Dirjen BPK Hadi Susanto Pasaribu, Sekjen Dephut Boen Poernama tidak mengetahui soal pencabutan izin HPH itu. "Mungkin masih di meja Pak Menhut atau biro hukum. Berkas soal itu belum sampai ke meja saya," ujar Boen. Berdasarkan data yang diterbitkan Direktorat BPK Dephut, tunggakan PSDH 2006 tercatat sebesar Rp75,4 miliar dan DR sebesar Rp18,5 miliar serta US$26.000. Pada 2005, tunggakan PSDH tercatat Rp95,1 miliar, turun Rp19,6 miliar.Total tunggakan pinjaman DR untuk pembangunan HTI sejak 1990 oleh 97 perusahaan pemegang HPH-HTI mencapai Rp1,05 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pokok pinjaman Rp939,6 miliar, bunga pinjaman komersial Rp8,7 miliar, denda pokok pinjaman Rp104,3 miliar, dan denda kapitalisasi Rp868.000.Menurut Hadi, penurunan nilai tunggakan membayar PSDH dan DR disebabkan harga kayu belakangan ini semakin baik menyusul langkah pemberantasan pembalakan liar yang merata ke seluruh Indonesia. "Data yang kami peroleh ada beberapa perusahaan mulai aktif beroperasi dan beberapa perusahaan mulai mampu membayar kewajibannya secara bertahap."
(Aprika R. Hernanda/ Hery Trianto/Martin Sihombing/ Firman Hidranto) (erwin.tambunan@ bisnis.co.id)
Oleh Erwin Tambunan
Bisnis Indonesia

0 comments: