Tuesday, June 19, 2007

POLITIKA: Bredel Itu "Jadul"!

KOMPAS - Selasa, 19 Juni 2007

Budiarto Shambazy

Harian ini edisi 16 Juni memberitakan kebebasan pers terancam karena pemerintah ingin memberlakukan lagi pembredelan terhadap media. Itu tertuang dalam naskah rancangan undang-undang atau RUU tentang perubahan atas UU No 40/1999 tentang Pers yang disiapkan pemerintah.
Materi itu, antara lain, tertuang di Pasal 4 Ayat 5. Disebutkan, pers yang memuat materi yang merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan antaragama, bertentangan dengan susila, membahayakan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional, dibredel.
Perubahan lain, frase "kebebasan pers" diganti dengan "pembangunan nasional yang berkesinambungan". Orang langsung ingat kenangan pahit pada masa lalu.
Jika merujuk pada Four Theories of the Press (1963) karya Siebert/Peterson/Schramm, RI penganut pers bertanggung jawab sosial. Ada karakteristik lain (otoriter, libertarian atau ala Uni Soviet), tetapi pers nyaris tak pernah bersikap anarkis.
Pers manut dilarang memberitakan peristiwa Tanjung Priok 1984, dibredel saat menginvestigasi pembelian 39 kapal perang. Pers mengerti tak perlu memanas-manasi konflik SARA yang merugikan. Justru pemerintah mengekang lewat surat izin terbit atau surat izin usaha penerbitan pers. Kata pepatah, "Buruk rupa cermin yang dibelah".
Sikap dewasa pers berbanding terbalik dengan perilaku kekuasaan. Jika pers mengalah, kekuasaan makin mencengkeram—itu yang biasa terjadi.
Jika pemerintah minta menerapkan embargo rencana serangan terhadap musuh dalam perang, misalnya, itu OK. Tetapi, kalau dilarang memberitakan penembakan terhadap rakyat, itu enggak OK.
Pers the fourth estate yang menopang rumah demokrasi bersama pemerintah, the ruling elite, dan masyarakat. Setiap estate mempunyai akses ke ruang publik yang disediakan pers yang beropini.
Kekuatan (power) tak bisa dimonopoli lagi. Kini banyak aktor "bukan negara", seperti lembaga internasional, entitas bisnis, institusi politik, sampai komunitas mini yang berhak memperoleh akses dalam ruang publik.
UU No 40/1999 sudah jelas, termasuk menyangkut hak koreksi dan hak jawab publik serta hak tolak pers. Pasal 4 Ayat 2 menyatakan, "Terhadap pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran".
Tanggung jawab sosial ada di Pasal 6 yang mengatakan pers melaksanakan peranan memenuhi hak masyarakat mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, serta menghormati kebhinnekaan. Juga disebut, pers wajib mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang akurat dan benar. Juga ada peranan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran pers terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Lalu, pers memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam bahasa Inggris ada istilah "what more could you ask for?" (mau minta apa lagi?).
Saat ini ada ratusan media cetak dan penyiaran. Betul, masih banyak media yang layak introspeksi, misalnya televisi yang menyajikan korban berdarah atau jenazah.
BBC tak pernah menayangkan darah setetes pun waktu London jadi korban peledakan bom teroris, Juli 2005.
Stasiun-stasiun besar di Amerika Serikat (AS) berulang kali minta maaf menayangkan gambar korban melompat dari Menara Kembar di New York dalam Tragedi 9/11, tetapi tak satu mayat pun dipertontonkan.
Demi mengejar eksklusivitas, kadang kekerasan ditayangkan secara berlebihan.
Megawati Soekarnoputri dan Akbar Tandjung pernah mengajukan sebuah harian ke pengadilan yang memuat karikatur yang mengolok. Ada perbedaan antara mengolok pejabat dan mengkritik kebijakan si pejabat.
Pers AS bebas mendukung calon presiden. Pers Indonesia bukan libertarian, calon pejabat publik dapat tempat sama rata dan sama rasa. Jika 20 tahun lagi pers di sini mendukung parpol atau capres tertentu, itu sah-sah saja.
Sekali lagi, demokrasi ya demokrasi. Elite yang memerintah di ASEAN hanya mau menerapkan demokrasi setengah hati. Mereka enggan demokratis 100 persen karena membahayakan posisinya. Mereka bilang kebablasan, padahal demokrasi ya harus bablas, tanpa perlu anarkis.
Demokrasi setengah hati mendatangkan bahaya, yakni terulangnya krisis moneter tahun 1997. Pasar tak bersahabat dengan rezim yang tak jujur.
Rezim yang tak jujur mencicipi, mengunyah, lalu melepéh demokrasi. Parpol ditertawakan, politisi dipinggirkan, kaum sipil disepelekan, rakyat dilupakan, dan pers dikorbankan.
Mari kita tegaskan beramai-ramai, "Bredel Itu Jadul!"

0 comments: