Tuesday, June 19, 2007

Ekspedisi: Hidup Berkat Lumpur dari "Benawi"

KOMPAS - Selasa, 19 Juni 2007

Pascal S Bin Saju

Setelah mengambil sejumput pasir halus dari sebuah karung plastik, Umini (50) menaburkan rata pada permukaan roda pelarik. Ia lalu meraih segumpal lumpur pasir dan meletakkannya pada taburan pasir itu. Itulah salah satu prosesi kerja Umini membuat cobek.
Umini adalah salah seorang perempuan perajin gerabah tradisional. Saat ditemui Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di rumah sederhananya di tepi Bengawan Solo, Dusun Rendeng, Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Sabtu (16/6), nenek lima cucu itu sedang asyik dengan pekerjaannya.
Kedua tangannya bergerak bersamaan. Sesekali jari telunjuk kanannya dicelupkan pada segelas air untuk membasahi gumpalan lumpur pasir agar tetap lunak dan mudah dibentuk. Dalam tempo lima menit, gumpalan itu telah berubah menyerupai cobek setelah dihaluskan dengan secarik kain basah.
"Setelah terbentuk, layah (cobek) akan dikerik lagi agar lebih halus. Pada musim kemarau seperti saat ini, layah dapat kering dengan dianginkan seharian. Pada musim hujan butuh tiga hari. Proses pengerjaan semua gerabah hampir sama sebelum akhirnya dibakar," kata ibu empat anak ini.
Pekerjaan Umini beragam. Selain sebagai ibu rumah tangga, kesibukan utamanya memang membuat gerabah khusus untuk peralatan dapur. Kadang-kadang, ia juga sekaligus menjadi pengepul dan penjual gerabah.
Sehari-hari Umini membuat gerabah di salah satu ruang rumahnya yang reyot. Bangunan rumah 10 meter x 20 meter itu sudah tua. Sebagian dinding papan sudah lapuk. Atapnya dari genteng kusam berlumut, selalu bocor pada musim hujan.
Rumah berlantai tanah itu separuhnya disekat memanjang menjadi tiga kamar tidur, yakni untuk Umini dan suaminya Mustaqin (60), satu anaknya yang masih bujang, dan satu kamar lagi dibiarkan kosong. Separuh dari seluruh luas tanahnya dibiarkan kosong seperti los.
Pekerjaan membuat gerabah dijalankan di ruang mirip los itu, yang juga menyatu dengan dapur. Di sana-sini ruang itu berserakan kayu bakar serta bahan baku pembuat gerabah, yakni karung berisi pasir dan gumpalan-gumpalan lumpur pasir. Di antara serakan itu terdapat satu roda pelarik sebagai salah satu alat pembuat gerabah.
Gumpalan lumpur pasir adalah hasil adukan lumpur dan pasir yang diambil dari Bengawan Solo. Untuk menjadi gumpalan, terlebih dahulu pasir dan lumpur diaduk jadi satu dalam molen. Gumpalan itu bisa bertahan hingga dua atau tiga bulan asal terjaga kelembabannya.
Ia memulai pekerjaan itu sekitar 25 tahun silam. Ia belajar dari perempuan lain di dusun ini. "Gerabah yang saya buat semuanya untuk peralatan rumah tangga, seperti layah, kuali, wajan, pot bunga, pengaron (mirip baskom), dan keren (tungku pembakar)," tutur Umini.
Pekerjaan mengambil lumpur dan pasir, atau menyediakan bahan baku, dilakukan kaum pria atau para suami, sedangkan membuat gerabah, menjemur, sampai membakar dilakukan kaum perempuan.
Saat ini harga gerabah sangat murah. Contohnya, harga satu keping layah hanya Rp 500. "Kalau di pasar bisa laku Rp 1.000-Rp 1.500," ujar Umini.
Turun temurun
Kerajinan gerabah ini merupakan warisan tradisi para buyut dahulu. "Bahan bakunya dari dulu diambil dari benawi (bengawan)," katanya.
Sebutan benawi atau bengawan tidak lain adalah Bengawan Solo.
"Sejak masa perundagian, pada zaman prasejarah, pekerjaan merajin gerabah adalah spesialisasi perempuan," kata arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono MHum, yang ikut dalam ekspedisi.
Rendeng satu-satunya dusun yang hingga kini masih melanjutkan tradisi pembuatan gerabah yang dirintis sejak berabad- abad lalu di Kabupaten Bojonegoro. Wilayah ini pada masa lampau termasuk dalam teritori Kerajaan Majapahit. Produk gerabahnya lebih dikenal sebagai gerabah Malo.
Dahulu kerajinan gerabah itu luas dikenal dengan nama gerabah malo.
Namun, kini warga di Bojonegoro lebih mengenal Dusun Rendeng sebagai sentra kerajinan gerabah.
Hanya saja, hingga kini para perajin tetap miskin. Potret kehidupan Umini merupakan wajah umum di Dusun Rendeng. Pada musim kemarau mereka menganggur karena kehabisan lumpur dan pasir. Saat kemarau, bekerja serabutan merupakan keseharian mereka lagi. (Gesit Ariyanto)

0 comments: