Tuesday, June 19, 2007

Menperin janji harga minyak goreng normal Juli

BISNIS - Selasa, 19/06/2007

Legistalif usul PE CPO 13,5%

JAKARTA: Menteri Perindustrian Fahmi Idris menargetkan harga minyak goreng pada awal Juli kembali ke level Rp6.500-Rp6.800 per kg, seiring dengan penetapan kenaikan pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (crude palm oil) menjadi 6,5% sejak 15 Juni 2007. Namun, jika target tersebut tidak tercapai, kalangan anggota DPR mendesak pemerintah menaikkan kembali pungutan ekspor CPO menjadi 13,5%-20% seperti yang diterapkan Malaysia. Menperin menjelaskan kenaikan PE sekecil apapun tetap akan meng-hambat ekspor CPO. "Walaupun kenaikannya hanya 5 poin, pasti kembali lagi dan itu berpengaruh pada harga. Jadi, dua minggu [dari 15 Juni] lah, harga minyak goreng berada di level Rp6.800-Rp6.900 per kg," katanya saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, kemarin. Apalagi berdasarkan proyeksi Depperin, produksi CPO mulai Juli meningkat tajam. Hal ini karena memasuki masa panen, yang berlangsung hingga Desember 2007. (lihat tabel)Fahmi menjelaskan kenaikan PE dari 1,5% menjadi 6,5% akan dipantau secara periodik, sehingga masih membuka peluang dinaikkannya kembali pungutan tersebut jika gagal menurunkan harga MGS. "Salah satu kebijakan yang akan ditempuh pemerintah adalah kebijakan DMO plus yang tidak berupa imbauan lagi tapi regulasi yang baku."Dia juga berjanji kepada anggota DPR untuk memperjuangkan kembali penerapan PE secara progresif (dikenakan pada selisih kenaikan harga) dan retroaktif (berlaku surut) kepada para produsen yang enggan memberikan pasokan CPO. Dalam rapat kerja itu, Menperin sempat dihujani interupsi oleh anggota Komisi VI DPR. Mereka mempertanyakan alasan pemerintah yang lebih memilih opsi kenaikan PE ketimbang DMO untuk menggantikan pelaksanaan program stabilisasi harga (PSH) yang dalam 1,5 bulan terakhir ini gagal menstabilkan harga minyak goreng. Sempat terjadi ketegangan antara Menperin dan Efiyardi Azda, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PPP. "Pernyataan bahwa pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa diterima. Pemerintah mestinya menerapkan regulasi yang jelas, jangan sekadar imbauan," kata Efiyardi.Tenggat satu bulanSebagian anggota Komisi VI DPR memberikan tenggat waktu satu bulan kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakan kenaikan tarif dan perluasan PE CPO sebagai upaya menekan gejolak harga minyak goreng di pasar. "Batas waktunya satu bulan. Jika tidak berhasil, pemerintah harus segera memberlakukan DMO yang diatur dalam sebuah regulasi," ujar Ketua Komisi VI DPR Didik J. Rachbini.Jika kebijakan yang ditempuh pemerintah tetap tidak bisa menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri, maka pemerintah harus mencabut PE tersebut dan memberlakukan DMO. Namun demikian, anggota Komisi VI DPR Aria Bima menjelaskan kenaikan PE menjadi 6,5% dipastikan tidak akan mampu menghambat laju ekspor CPO. "Malaysia saja menerapkan PE 20%. Artinya, kalau Indonesia menerapkan 10%-12% pun, eksportir CPO masih untung, karena lonjakan harga internasional mencapai 43%," jelas anggota Fraksi PDIP itu. Aria menjelaskan PE CPO harus minimal 13,5% dan maksimal 20%, sehingga pasokan dalam negeri tercukupi. "Perlu dirumuskan skim terbaik, sehingga tidak langsung dialokasikan ke anggaran [APBN] tapi untuk subsidi petani."Dia mengungkapkan dugaan kartel di industri CPO terjadi karena dampak oligopoli para pemain besar yang bisa menentukan harga internasional dan pasokan di dalam negeri demi keuntungan kelompoknya. "Ada kongkalikong antara para kartel dan pembuat kebijakan, sehingga masalahnya jadi ngambang. Perusahaan itu antara lain PT Lonsum Tbk, PT Sinar Mas, Indofood Agri, PT Bakrie Plantation, dan PT Astra Agro. Mereka menguasai lahan sawit 40% dari total 6 juta hektare," ungkap Aria.Secara terpisah, Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional, Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan pemerintah masih membahas alokasi PE CPO dan turunannya untuk subsidi stabilisasi harga minyak goreng, menyusul adanya desakan pengusaha kelapa sawit agar dana PE tidak dimasukan ke APBN.Menurut dia, instansinya masih mencari landasan hukum dan bagaimana mekanisme penyaluran subsidi itu agar tidak masuk ke dalam APBN. Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat antara asosiasi CPO dan minyak goreng dan Komisi VI DPR, kemarin malam, Irmadi Lubis, anggota Komisi VI DPR, berpendapat kebijakan PE justru kontraproduktif terhadap tujuan stabilisasi harga maupun pengembangan industri CPO dan industri pengolahannya. Akmal Hasibuan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengungkapkan kenaikan PE telah mendongkrak harga CPO di luar negeri seperti di Rotterdam yang naik 26 basis poin kemarin.
(m02) (yusuf.waluyo@bisnis.co.id/ lutfi.zaenudin@bisnis.co.id)
Oleh Yusuf Waluyo Jati & Lutfi Zaenudin
Bisnis Indonesia

0 comments: