REPUBLIKA - Senin, 18 Juni 2007
Subuh baru saja beranjak. Sinar matahari masih temaram. Sambil menengadahkan kepala, Abdul Somad (53 tahun) mengitari kebun kelapa sawitnya yang berlokasi di Desa Sido Bangun, Kecamatan Padangtualang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara (Sumut), sekitar 65 km dari Medan.
Di bawah sebatang pohon sawit setinggi sekitar tiga meter, laki-laki ini berhenti. Ia lalu mengambil sebuah alat terbuat dari kayu yang pada ujungnya tertancap besi tajam yang disangkutkan di atas sepedanya. Setelah mengatur posisi, Abdul kemudian mulai mengarahkan alat sepanjang satu setengah meter yang biasa disebut dengan istilah dodos itu ke tandan buah sawit (TBS), di celah-celah pelepah sawit pada tanaman jenis palma itu. Dan, brug, seuntai TBS jatuh dari pelepahnya, tak lama setelah Abdul menghentakkan dodosnya.
Setelah itu ia berpindah ke pohon lain. Tak begitu lama, sudah belasan jenjang TBS berhasil didodosnya. ''Mudah-mudahan harga sawit terus bertahan seperti sekarang ini ya,'' kata ayah lima anak ini sambil mengelap peluhnya dengan selembar handuk kecil. Menurut dia, hampir dua bulan ini harga TBS cukup menggairahkan bagi petani sawit kecil seperti dirinya.
Saat ini dia bisa menjual sawitnya dengan harga sekitar Rp 1.050/kg diambil di tempat. Dia memandang, harga ini benar-benar sangat memberi keuntungan bagi para petani sawit. Bahkan, menurut Abdul, inilah harga terbaik yang pernah dialami, sejak dia menjadi pengelola kebun sawit dalam lima tahun terakhir. Dengan kebun seluas 10 rante atau sekitar 4.000 meter persegi, Abdul mengaku kebun sawitnya dalam dua minggu bisa menghasilkan sekitar 500 kg TBS. Itu artinya uang yang diperolehnya sekitar Rp 1 juta setiap bulan.
Sebelum harga sebagus sekarang, Abdul hanya memperoleh pengasilan Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per bulan. Ketika harga rendah, yakni sempat menyentuh Rp 250/kg, Abdul pernah berniat untuk mengganti tanaman sawitnya dengan tanaman lain. Pasalnya, hasil yang didapat sering tidak bisa menutupi biaya perawatan, seperti untuk membeli pupuk. Dengan kata lain, hasil kebun sawitnya selama ini tidak bisa diandalkan untuk hidup bersama kelurganya.
Untunglah dia bersama dengan istrinya bisa menutupi kekurangan dengan menjadi buruh lepas di kebun sawit milik PTPN II. Kini, masa pahit itu sudah berlalu. ''Kalaulah harga sawit terus membaik seperti sekarang ini, saya bisa menabung dan membeli macam-macam,'' ujar Abdul berangan-angan. Menurut dia, dengan keuntungan yang kini diperolehnya, dia bisa menyisihkan penghasilan dari penjualan sawit untuk disimpan sekitar Rp 500 ribu. Ia pun kemudian berencana untuk membeli sepeda motor bila simpanannya kelak mencukupi. Memang sudah cukup lama dia bermimpi untuk bisa membeli sepeda motor.
Abdul bukannya mau untung sendiri dan tidak mau tahu dengan jeritan banyak orang akibat naiknya harga minyak goreng. Tapi, menurut pandangannya, orang tetap bisa hidup kendati tidak mengonsumsi minyak goreng. Posisi minyak goreng bagi kehidupan masyarakat dinilainya berbeda dengan beras atau minyak tanah. ''Berikanlah kepada kami petani sawit ini untuk menikmati harga yang tinggi ini. Sudah lama kami menderita,'' tutur dia.
Beda halnya dengan Samad, petani sawit yang lain. Menurut warga Desa Tanjungselamat, Kecamatan Padangtualang, Langkat itu membaiknya harga sawit sekarang ini memang memberi nilai tambah. Cuma, tambahan penghasilan yang diperolehnya kini baru bisa impas dengan kebutuhan hidupnya. Pasalnya, selama ini ia sudah terjerat utang, karena penghasilan dari kebunnya seluas 17 hektare tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan hidup dan biaya operasional kebunnya. ''Hanya sedikit yang bisa saya tabung,'' ujarnya. Ia berharap membaiknya harga sawit ini bisa berlangsung lama. Pasalnya, tanaman sawitnya yang sudah berusia 28 tahun, sudah waktunya untuk diremajakan (replanting).
Sampai sekarang ia tidak tahu dari mana biaya peremajaan akan didapatnya. Padahal, untuk peremajaan 1 hektare kebun sawit, diperlukan dana sedikitnya Rp 20 juta, sampai kebun menghasilkan panen pada usia tahun tahun. Gara-gara kerugian itu pula banyak di antara pemilik kebun sawit kecil yang mengontrakkan kebunnya ke pemajak. Biasanya kontrak dilakukan untuk jangka waktu 2 tahun sampai 5 tahun.
Kontrak lahan sawit seluas dua hektare selama dua tahun, misalnya, bisa bernilai Rp 18 juta. Pemilik lahan yang mengontrakkan lahannya kepada orang lain, tentu tidak bisa menikmati kenaikan harga sawit yang terjadi saat ini. Sebaliknya, para penyewa lahanlah yang saat ini banyak menikmati keuntungan. Namun, seorang pengontrak lahan bernama Ahmad mengaku kondisinya tidak seperti itu karena pihak pabrikan kini hanya mau menerima TBS yang sudah betul-betul matang. ''Jadi banyak TBS yang terbuang karena tidak diterima pabrik,'' kata Ahmad.
Pihak pabrikan kelapa sawit mengaku terpaksa menerapkan kebijakan hanya membeli sawit berkualitas yang memang usianya sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan rendemen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang tinggi. Dengan TBS yang cukup tua, rendemen akan didapat sekitar 23 persen per ton TBS. Itu artinya, nilai jual CPO dengan harga yang lebih tinggi akan dinikmati para pabrikan. Secara signifikan, rendemen yang tinggi akan lebih menguntungkan, di tengah harga bahan baku minyak goreng ini terus membubung di pasaran internasional saat ini. Hanya, di antara senyum para pemilik kebun sawit itu terdapat sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini yang menjerit karena melambungnya harga minyak goreng. (nian poloan )
Monday, June 18, 2007
Di Balik Senyum Petani Sawit
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:11 PM
Labels: HeadlineNews: Republika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment